Segera sepotong imajinasi merangsek masuk ke kepala. Saya bayangkan, di salah satu sudut suburb Wembley atau Shenton Park, pasti ada seorang gadis mungil seumuran anak saya sedang menanti-nanti kado Natal-nya.
Dia sendiri menunggunya sebagai kejutan, sebab bapak-ibu-nya sudah menjanjikan. Malangnya, seminggu, empat hari, tiga hari, dua hari menjelang Natal, tak ada satu pun barang datang ke rumah mereka. Orang tua gadis kecil itu semakin cemas.
Hari Natal tiba. Di sudut kamar, si kecil menangis terisak-isak sambil membenamkan wajah di kasurnya. Hari istimewanya tidak dilengkapi kado Natal cantik yang sudah dia harapkan sekian lama.
Ya, Tuhan. Membayangkan adegan seperti itu saja membuat saya menangis sendiri.
Itu semua memang cuma imajinasi, tetapi sungguh bukan khayalan tanpa dasar. Dan, gara-gara bayangan itulah, saya rela bekerja lembur sampai malam, tanpa tambahan bayaran. Kebayang ada anak kecil di Indonesia tengah bersedih di hari Lebaran,
Tekanan yang keras sebelum Lebaran
Saya tidak hendak menyampaikan bahwa seharusnya para kurir di Indonesia punya imajinasi melow yang sama dengan saya. Bukan begitu. Tetapi saya juga yakin, mereka ditekan sangat keras di hari-hari menjelang Lebaran. Baik tekanan dari bosnya, maupun tekanan perasaan karena tidak tega kepada para pelanggan.
Di sisi lain, sebenarnya para pelanggan itu tidak semuanya akan sesedih orang tua pembeli meja Frozen, tokoh dalam imajinasi saya. Pasti banyak di antaranya yang sekadar mirip saya kalau berbelanja: impulsif, pencet saja mumpung nemu barangnya di marketplace, dan ya sudah mau datang kapan saja tidak masalah, toh nggak buru-buru.
Saya ingat, selain beberapa potong sarung dan baju koko untuk anak lelaki saya, barang yang kami check out sebelum Lebaran adalah dua buku dari dua toko yang berbeda. Ya, benar, saya beli buku! Padahal, siapa sih yang buru-buru mau membaca buku di hari Lebaran, coba? Bahkan kalau toh barang itu tiba, sampai dua pekan selepas Lebaran pun kiriman buku itu belum tentu akan tersentuh tangan saya.
Masalahnya, para kurir yang melihat paketan itu tidak akan tahu bahwa isinya buku. Bisa jadi mereka mengira itu sarung atau mukena, dan segera disusul imajinasi di kepala mereka tentang salat Ied yang gagal dan kepedihan yang merundung sebuah keluarga kecil. Sementara, di sini, yang memesan barang santai-santai saja. Kurang ajar, kan?
Sungguh tidak aneh kalau sampai-sampai nanti para kurir itu pasang baliho di simpang empat paling ramai, “Sudahi check out-mu, Kawan. Kurir juga butuh liburan!!!” Kali ini dengan tiga tanda seru.
Lebaran tidak untuk semua orang
Memang benar, Lebaran adalah hari kegembiraan. Yang sudah selesai puasa merasa gembira. Sementara itu, bagi yang kebanjiran pesanan nastar atau baju koko merasa gembira. Yang bikin-bikin hampers dan langsung habis diborong teman-teman medsosnya sendiri pasti juga merasa gembira. Namun, satu sisi mata uang bergambar kegembiraan harus diimbangi dengan lukisan ketidakgembiraan di sisi lainnya.
Di sisi sana itu, semua bisa berarti kerja lembur mati-matian. Juga berarti anak-anak di rumah yang terus melihat bapak mereka pulang larut malam di hari-hari menjelang Lebaran tanpa tambahan upah yang signifikan. Bahkan mungkin si bapak hanya bisa libur tiga hari, sebab harus segera masuk kerja lagi untuk membereskan tumpukan utang pekerjaan. Selalu harus ada tumbal dalam setiap kegembiraan.
Dilema yang terjadi
Saya jadi ingat, di pertengahan pandemi, beberapa gerai pakaian di sebuah mal menggelar diskon besar-besaran. Kami sekeluarga yang melintas di depannya pun mampir dengan mata berbinar. Waah, anak-anak bisa dapat baju-baju branded cantik dengan sepertiga harga normal!
Hingga beberapa detik kemudian saya sadar, kegembiraan kami karena bisa belanja murah meriah itu harus berjalan seiring dengan tatapan sayu dari para penjaga toko itu. Bisa jadi itu adalah hari-hari terakhir mereka bekerja di situ, sebab toko tempat kerja mereka akan tutup permanen, karena bos mereka tak kuat lagi bertahan di masa pagebluk dan krisis ekonomi.
Saya juga ingat bagaimana seorang kawan yang rajin nongkrong sendirian di sebuah kafe ditanyai oleh si pemilik kafe, “Mbak, mbaknya sering sekali ke sini ya. Kok suka di sini kenapa, Mbak? Bisa cerita?” Tentu si pemilik kafe bertanya dengan wajah cerah, hingga kawan saya itu menjawab dengan jujur tapi polos campur bodoh: “Iya, Om. Enak banget di sini, Om. Sepi hehehe.”
Dia lupa, kesunyian yang syahdu bagi seorang pelanggan kafe berarti malaikat maut bagi orang yang ngos-ngosan membangun usahanya.
Ah, ngelantur. Selamat Lebaran aja lah ya, buat Anda semua yang merayakan. Selamat bergembira. Namun jangan pernah lupa, kegembiraan Anda bisa jadi harus dibayar mahal dengan pengorbanan orang-orang di sana, lalu di sana, dan juga di sana.
Penulis: Iqbal Aji Daryono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Lebaran: Menanti Ibu Bertanya Kapan Nikah dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.