Adalah Muadz bin jabal, salah seorang sahabat terdekat Nabi yang tergolong sebagai assâbiqunal Awwalûn (golongan pertama masuk Islam). Ayahnya adalah Abu Abdirrahman. Ia dikenal dengan Imâmul Fuqahâ: Pemimpin para ahli agama. Nabi pernah menjulukinya dengan seorang yang paling paham soal halal & haram. Ia juga dijuluki dengan Kanzul Ulamâ (gudangnya ilmu/ memiliki wawasan sangat luas). Ada pesan yang terkenal dari Muadz bin Jabal, berikut pesannya: “Ilmu itu ialah mengenal dan beramal. Pelajarilah segala ilmu yang kalian sukai, tetapi Allah tidak akan memberikan manfaat dengan ilmu itu sebelum kalian mengamalkannya lebih dulu…”
Alkisah, Mu’adz bin Jabal mengimami shalat isya’ di kampungnya. Kemudian di dalam shalatnya, ia membaca surat-surat yang panjang sekali. Salah seorang sahabat ada yang merasa kesal karena bacaan suratnya terlalu panjang. Akhirnya, sahabat yang tidak diketahui namanya itu berhenti menjadi makmum dan shalat sendirian. Setelah semuanya selesai, seorang sahabat yang lain menceritakan peristiwa itu kepada Muadz.
Mendengar peristiwa itu, Muadz langsung berkata, “Sesungguhnya ia adalah orang munafik!”
Sahabat yang dituduh munafik oleh Muadz tidak terima dan mengadu kepada Rasulullah dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Barulah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memanggil dan menegur Muadz dengan berkata cukup lantang.
“Apakah kamu ingin menjadi tukang fitnah Muadz?” tanya Rasulullah kepada Muadz.
“Tidak ya Rasul” Jawab Muadz.
“Jika engkau mengimami manusia, bacalah surat wassyamsyi wa dhuhahâ (surat al-Syams), dan surat sabbihisma Rabbikal a’la (surat al-A’lâ), wallaili idzâ yaghsyâ (surat al-Laîl). Sesungguhnya di belakangmu itu ada orang yang lemah, orang yang terburu-buru karena memiliki hajat”
Pembaca yang budiman, jika anda menemukan imam yang membaca bacaan shalatnya panjang sekali sampai ada jamaah yang komplain, maka tidak ada salahnya jika anda menjelaskan hadis ini kepada imam tersebut. Hadis ini menjelaskan bahwa dalam mengimami shalat, seorang imam tidak boleh egois dengan membaca surat yang panjang semisal surat al-Nisa’ atau surat al-Baqarah yang dibaca sampai selesai. Sang imam boleh jadi menikmati bacaannya karena paham dan merenungi maknanya sebagaimana yang dirasakan oleh sahabat Muadz. Namun, seorang imam yang bijak harus menyadari posisinya yang sedang mengimami orang yang beragam keperluannya. Ada makmum yang barangkali sakit perut karena ingin buang hajat, ada makmum yang barangkali sedang terburu-buru karena ada tugas atau kewajiban penting lainnya; begitu seterusnya.
Kisah Muadz ini memiliki banyak pelajaran, tetapi yang paling penting untuk disampaikan saat ini adalah tentang pelabelan sifat munafik, karena dalam masyarakat kita, sekarang banyak sekali ditemukan fenomena betapa mudahnya seseorang melabeli orang lain dengan kata-kata munafik hanya karena satu parameter tertentu, atau yang lebih buruk, karena perbedaan pemahaman terhadap agama. Padahal kalau mau berkaca pada kisah Muadz di atas, Nabi sangat tidak suka sikap mudah melabeli orang lain, sebab pelabelan negatif kepada orang lain hanya akan mendatangkan fitnah. Mungkin tersebab itulah, Buya Hamka tetap mau menshalati jenazah Bung Karno meski oleh sebagian orang dikatakan sebagai orang munafik sebab ia pernah menjebloskan Hamka ke penjara. Karena menurut Hamka, yang berhak melabeli munafik hanyalah Rasulullah yang mendapatkan petunjuk langsung dari Tuhan, sedangkan Buya merasa ia tidak diberi petunjuk oleh Allah kalau Bung Karno munafik.
Kisah lain, ada seorang yang bertanya kepada Syaikh Muhammad Al-Ghazali, seorang tokoh inteletual kontemporer asal Mesir, tentang hukumnya orang yang meninggalkan shalat. Dengan enteng beliau menjawab, “Hukumnya adalah kamu wajib mengajaknya ke masjid untuk shalat, jadilah orang yang mengajak jangan jadi orang yang suka menghakimi”. Ini artinya, para ulama dengan kedalaman ilmunya tidak pernah gampang melabeli orang lain dengan label negatif.
Sebelum melabeli orang lain munafik, coba kita tengok dulu ciri-ciri orang munafik yang diantaranya adalah suka bohong, tidak amanah, tidak menepati janji, malas-malasan shalat, pengen dialem orang lain, sedikit eling kepada Tuhan. Apakah ada di antara kita yang tidak pernah sedikitpun melakukan tindakan-tindakan ini? saya bantu jawab ya, ‘tidak ada’. Nah, kalo kalau begitu, sifat-sifat kemunafikan sedikit-banyak pasti ada di dalam diri kita meskipun kita harus berusaha menghilangkan sifat-sifat kurang baik ini.
Nah, Konsekuensinya, jika ada sifat kemunafikan dalam diri kita dan kemudian kita meneriaki orang lain dengan kata munafik, maka itu sama halnya dengan lirik lagu dangdut kesukaan saya yang dipopulerkan pedangdut kondang Nita Thalia yang berjudul ‘Maling’; Maling Kau Maling Jangan Teriak Maling; Bila Kau Maling Jangan Berisik; Maling Kau Maling Jangan Teriak Maling Melempar Batu Sembunyi Tangan.
Oalah, Maliiiing… maliiiing… munafiiiik… munafiiiiik…