MOJOK.CO – Ketika negara tak bisa memonopoli informasi lagi, ada usaha-usaha untuk membungkam para agen informasi baru. Cara-cara licik kerap dipakai. Kritik dilawan dengan intrik, argumen dijawab dengan sentimen.
Pernah ada orang-orang menuduh media sebagai pro-pemerintah karena tidak memberitakan demonstrasi di Monas. Ada juga orang-orang yang mencurigai media sebagai antipemerintah karena memberitakan demonstrasi. Dua kelompok itu punya aspirasi politik berbeda, bahkan pernah dan masih bertengkar dengan sengit hingga sangit, tapi mereka diikat oleh sebuah hasrat purba: mengendalikan pers, juga ruang publik, sesuai kemauan politik mereka.
Dalam kasus terakhir, delegitimasi kerja-kerja jurnalistik juga dilakukan dengan meminta “pers bertanggung jawab” atas kematian demonstran. Mereka menganggap pers, juga orang-orang yang mendukung demonstrasi, sebagai provokator.
“Pers yang bertanggung jawab” bukan sekadar frasa, melainkan juga konsep, dan itu bukan barang baru. Puluhan tahun lalu, “bertanggung jawab” berarti “pers dilarang mengkritik”. Pers yang terang-terangan melancarkan kritik adalah pers yang tidak bertanggung jawab. Bertanggung jawab kepada apa dan siapa? Stabilitas nasional. Apa arti stabilitas? Tatanan, kemapanan—singkatnya: status quo.
Jalan pikiran itu telah jatuh tempo karena pers, juga negara, tak lagi mengendalikan informasi. Kendali atas informasi terdistribusi ke banyak agen dan para agen itu bertumpu bukan kepada kredensial (pendidikan jurnalistik, misalnya) atau kekuasaan (lembaga sensor, misalnya), melainkan teknologi. Berkat media sosial, semua orang menjadi “reporter” dan tiap grup WhatsApp menjadi “newsroom”.
Antidot atas kemunculan agen-agen baru informasi ini bukanlah lembaga sensor (entah itu Departemen Penerangan atau politik keredaksian), melainkan teknologi pula: jumper, throtling, internet shutdown, pemblokiran.
Tentu saja usaha-usaha lain masih bisa dilakukan, salah satunya dengan membungkam para pembawa pesan. Kill the messenger. Metodenya macam-macam, tapi hampir pasti selalu menggunakan ad hominem.
Segala yang relevan dan irrelevant dari si pembawa pesan dikorek-korek, disunting ulang, digambar kembali, lalu diedarkan dengan bungkus baru. Lagi-lagi hal itu juga dilakukan dengan memanfaatkan teknologi: bot, algoritma viral, dll. Tiap kali usaha itu menjadi masif dan sistematis, tidak jarang ia melibatkan kapital pula.
Beberapa nama sudah mengalaminya. Dian Sastro diberi label “bodoh”, tentu dengan usaha menghidupkan stereotip para selebritas yang kerap dianggap hedon (baca: illiterate). Foto lama Najwa Shihab dengan Tommy Soeharto untuk keperluan wawancara dikaitkan dengan status ayah dan suaminya. Presiden BEM UI dikaitkan dengan pendirian politik orang tuanya yang dianggap anti-Jokowi.
Yang dialami oleh tiga nama di atas adalah: kritik dilawan dengan intrik, argumen dijawab dengan sentimen. Yang terburuk dari itu semua, dan sedihnya hal itu sudah mulai terjadi kepada nama-nama lain: mereka dibungkam dengan pasal-pasal.
Disinformasi bisa dilakukan siapa saja. Pers bisa dan pernah melakukannya. Yang bisa kita lakukan adalah terus-menerus melakukan uji informasi di mana pun dan kapan pun. Ruang publik hendaknya diisi oleh pertarungan uji informasi itu. Fakta, gagasan, dan pendirian politik boleh dan pantas diuji secara terbuka di ruang publik.
Sebaik-baiknya pertarungan uji informasi adalah tidak melakukan: (1) doxing, (2) pembunuhan karakter/kill the messenger, dan yang terutama dan paling penting (3) tak merengek membujuk negara masuk ke arena dengan membawa pasal-pasal.
Negara tak perlu dibujuk melakukan itu, mereka sigap melakukannya, karena sudah gawan bayi, insting asali, di segala masa dan zaman. Bujuk rayu warga agar negara masuk ke arena akan membuat publik menjadi defisit dan negara menjadi surplus.
BACA JUGA Masih Ada Waktu untuk Presiden Jokowi atau artikel Zen RS lainnya.