Sikap yang membuat pengunjung sebuah pasar tradisional Jogja menjadi tidak nyaman
Mereka mendesak dengan nada-nada yang mengganggu. Sikap yang membuat saya dan ibu malah menjadi tidak nyaman. Apakah Anda pernah menonton acara televisi yang bernama “Uang Kaget”? Nah, di salah satu sesi di mana sasaran harus menghabiskan uang dalam waktu singkat. Suasananya persis seperti itu. Saya dan ibu malah jadi terburu-buru. Semakin malas mendengar desakan mereka, saya hanya memilih lauk di warung yang ada tepat di depan saya.
Terburu-buru, saya jadi tidak sempat melihat tulisan menu brongkos yang baru saya sadari setelah membayar. Malas, saya jadi tidak menghiraukan warung lain yang ada di belakang. Padahal, sebagai konsumen, saya memilik kesempatan untuk membayar lebih murah di warung lain. Saya juga terlanjur malu oleh teriakan pedagang di pasar tradisional Jogja itu yang membuat hampir semua pasang mata tertuju pada kami.
Namun, yang terjadi biarlah berlalu. Saya langsung move on dengan membayar dan mencari tempat lesehan. Suasana hati saya agak membaik setelah gabung satu karpet dengan ibu-ibu yang ramah. Di sela-sela obrolan, kami baru tahu ternyata ibu-ibu itu juga merasakan pengalaman yang sama.
“Iya, Mbak. Bakul e marakke kesusu. Ra penak milih lauk e,” kata si ibu. Artinya seperti ini: “Iya, Mbak. Penjualnya bikin (saya) terburu-buru). Bikin nggak nyaman untuk memilih lauk.”
Saya semakin merasa tervalidasi dan percaya diri. Pengakuan si ibu menjadi bukti bahwa bukan saya saja yang menjadi korban di pasar tradisional Jogja itu. Perasaan lega ini saya tutup dengan keputusan untuk tidak datang lagi. Namun, saya juga memutuskan untuk bijaksana menanggapi kejadian ini sebagai sebuah trik marketing yang “jenius”.
Mantra “ajaib” marketing para pedagang menyebalkan
Inti kasus yang saya hadapi adalah usaha pedagang di sebuah pasar tradisional Jogja untuk menjual barang dagangannya. Meski menggunakan trik mendesak dan memaksa, cara itu berhasil.
Para pedagang itu berhasil mendapatkan pundi-pundi dari kehadiran saya. Namun, menurut saya, yang akan rugi justru mereka sendiri. Bayangkan saja ada banyak pengunjung seperti saya; kesal dan kecewa. Artinya, mereka membuat banyak calon langganan lari dan enggan kembali. Setiap hari, mereka mengulangi trik yang sama, maka hanya “warung sepi” yang akan mereka dapat.
Secara logika, konsumen lama tidak akan lagi “tersihir”. Mereka paham bahwa para pedagang di sebuah pasar tradisional Jogja itu hanya memainkan emosi pelanggan. Istilah kerennya adalah “pemasaran emosional”. Mudahnya, pedagang memanipulasi perasaan konsumen agar tidak sempat berkata “tidak” atau menolak melalui suasana hiruk-pikuk yang diciptakan oleh para pedagang itu sendiri.
Ingat, saya dan ibu sempat merasa malu dan gugup ketika teriakan pedagang mengundang tatapan mata seluruh pengunjung. Namun, tidak dengan konsumen lama. Alih-alih merasa gugup, konsumen lama berani bersikap bodo amat dan tidak terpengaruh. Konsumen lama sudah sangat mengenal dan paham akan kondisi yang sebenarnya. Mereka tidak terombang-ambing arus yang diciptakan pedagang.
Sadar atau tidak, para pedagang di sebuah pasar tradisional Jogja itu seakan “menyeret” konsumen untuk masuk ke dalam persaingan. Para pedagang bersaing untuk dapat cuan, tetapi malah konsumen yang dikejar deadline menghabiskan uang. Arus persaingan seperti ini yang saya maksud di paragraf sebelumnya.
Dari seluruh penjelasan di atas, saya yakin bahwa para pedagang melakukan trik marketing ini tanpa perencanaan, alias spontan. Walaupun begitu, saya mengakui mereka berhasil. Sesuatu yang kelihatannya sederhana, ternyata bisa sangat kompleks dan jenius. Iya, jenius, sampai bikin calon pelanggan lari dan kapok.
Penulis: Sekar Pitutur Arum Jati
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Pasar di Jogja yang Sudah Ada Sebelum Indonesia Merdeka dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.