MOJOK.CO – Kerajaan Arab Saudi menetapkan peraturan baru untuk meniadakan sistem mahram dalam keberangkatan haji perempuan. Wah, ini kabar gembira.
Sebagai seorang perempuan Muslim, kalian mungkin pernah merasakan ribetnya mau pergi haji atau umroh tapi terhambat karena tidak ada mahram yang bisa menemani.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena kamu seorang lajang yang tidak memiliki pasangan, bapakmu sudah tua dan sakit-sakitan, sedangkan kakak laki-lakimu pun sudah sibuk dengan keluarganya sendiri.
Suatu ketika, ibumu yang sudah menjadi orang tua tunggal sejak kamu kecil akan pergi haji. Secara fisik dan spiritual, sesungguhnya kamu sangat ingin menemani Ibu pergi berziarah ke makam Rasulullah Saw., tapi, pada akhirnya Ibu hanya bisa pergi bersama adik laki-lakimu, yang kondisi batinnya sungguh tak siap-siap amat untuk pergi ke Mekkah.
Meski begitu, adikmu itu laki-laki. Dan sebagai perempuan, kamu tetap merasa gagal menjadi mahram ibumu, meskipun selama puluhan tahun, dirimulah yang memastikan segala keperluan ibu secara lahir dan batin untuk kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, terkadang, ibadah juga bisa diakali oleh agen travel. Ibumu dinyatakan tidak lagi perlu mahram karena usianya sudah di atas 70 tahun, sedangkan kamu tetap wajib punya mahram.
Tiba-tiba, agen travel menawarkan mahram jadi-jadian kepadamu dalam wujud surat mahram yang mesti ditebus dengan membayar sejumlah uang. Dengan surat mahram itu, kamu tiba-tiba dipasang sebagai adik salah satu jamaah yang ada dalam keberangkatan agen yang sama. Dari peristiwa itu, kamu makin bingung.
Jika fungsi mahram adalah perlindungan bagi jamaah haji perempuan, bukankah seharusnya kamu yang lebih siap secara fisik? Secara finansial juga kamu lebih mengerti kebutuhan ibu, jadi seharusnya kamu lebih layak jadi mahram.
Ada banyak laki-laki lemah secara fisik, penakut, dan juga tidak punya kualitas agama yang baik. Tak semua laki-laki dalam sistem kekerabatan siap jadi mahram. Dan oleh sebab itu, seharusnya, mahram adalah perkara kemampuan, bukan semata jenis kelamin.
Lalu kabar baik itu tiba. Bulan ini, untuk pertama kalinya Kerajaan Saudi Arabia menetapkan peraturan baru untuk meniadakan sistem mahram dalam keberangkatan haji perempuan. Bahasa kerennya sih, Male Guardianship System (MGS).
Sejak tahun 2019, MGS di Arab Saudi memang mulai longgar, dimulai dari perizinan perempuan yang bepergian ke luar negeri dan pembolehan perempuan menyetir mobil sendiri. Kini, setelah ruang publik dan moda transportasi, giliran Kakbah memberikan ucapan selamat datang kepada perempuan Muslim.
Banyak orang berpendapat bahwa “kebaikan” Arab Saudi kepada perempuan ini semata karena ekonomi mereka yang bergantung kepada sumber daya minyak mulai bangkrut, oleh sebab itu Raja Saudi kini mulai mengoptimalkan sektor pariwisata.
Pada banyak kepentingan, sektor pariwisata memang menuntut keterbukaan. Pariwisata dari dunia global tak akan berkembang jika sebuah negara tidak menjadi ruang yang terbuka kepada keberagaman. Hal ini bisa jadi benar, namun jelas bukan satu-satunya alasan.
Perjuangan melawan MGS di Arab Saudi sudah dimulai lebih dari 10 tahun lalu oleh para aktivis kesetaraan hak perempuan. Pencapaian hari ini bukan harga cuma-cuma, melainkan hasil pergulatan intelektual pengetahuan dan aktivisme perempuan di hadapan otoritas pengetahuan dan kekuasaan laki-laki.
Loujain Al Hathloul dan Samar Badawi adalah sedikit dari puluhan aktivis perempuan yang masuk penjara Saudi karena mengampanyekan petisi perizinan menyetir dan partisipasi perempuan dalam politik elektoral.
Terminologi mahram pada masa lalu, lahir karena Islam menyadari pengalaman biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Mari kembali kepada ribuan tahun lalu, di daratan Arab yang berupa gurun pasir, cuaca amat ekstrem, tanpa listrik, tanpa ketersediaan toilet umum, dan toilet khusus perempuan yang higienis.
Bagaimana perempuan menjalankan pengalaman menstruasi? Bagaimana perempuan menjalankan pengalaman hamil sepanjang sembilan bulan? Bagaimana perempuan menjalankan pengalaman melahirkan lalu dilanjutkan dengan aktivitas menyusui sepanjang dua tahun?
Laki-laki lalu mendapat mandat sebagai “pelindung” perempuan karena ia tak menjalankan pengalaman biologis yang berat dalam bentang alam yang berat pula. Laki-laki secara alamiah dianggap dapat menjadi qawwam karena ialah yang dapat pergi keluar rumah kapan pun untuk mencari bahan makanan dan menciptakan ruang politik dan sosial dalam sistem kesukuan.
Entah bagaimana prosesnya, interpretasi atas perlindungan itu jadi berbeda. Male Guardian yang dijalankan oleh seorang bapak, seorang suami (jika menikah) atau seorang kakak laki-laki seringkali berubah jadi sistem kekuasaan yang membuat anak perempuan tidak bisa punya keputusan apapun dalam hidupnya sejak lahir hingga mati.
Aplikasi untuk memilih pendidikan, bepergian, transaksi belanja, mesti mendapat persetujuan kerabat laki-laki. Apalagi untuk urusan yang lebih serius, seperti menikah, memilih bidang pekerjaan, dan mengakses fasilitas kesehatan, selalu ada surat yang harus ditandatangani kerabat laki-laki.
Pertanyaannya, bagaimana isi kepala para kerabat laki-laki ini? Bagaimana mereka memandang perempuan?
Banyak anak perempuan yang menjadi korban pemaksaan perkawinan. Banyak anak perempuan yang tak bisa memilih pendidikan serta pekerjaan yang mereka inginkan. Ratusan tahun berjalan, MGS lebih banyak mendiskriminasi perempuan dan menyulitkan perempuan untuk punya pilihan terbaik terkait hidup mereka.
Bagaimana otorisasi pengetahuan hukum Islam mengalami perubahan makna “perlindungan kepada perempuan” menjadi “kekuasaan laki-laki untuk mengambil alih semua keputusan dalam hidup perempuan”?
MGS adalah sistem hukum Islam di Arab Saudi yang bersumber dari fikih klasik dan syariat. Semua negara muslim punya sistem hukum Islam (Islamic Law). Di Indonesia, misalnya, sistem hukum Islam paling masyhur ada dalam hukum keluarga yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dari peristiwa pelonggaran aturan mahram untuk perempuan ini, semakin jelas bahwa sistem hukum Islam dapat berubah interpretasinya. Yang dulu tak boleh, sekarang jadi boleh. Syariat tidak berubah, tapi Islamic law yang bersumber dari nilai syariat di sebuah negara sangat bisa berubah dengan dinamis.
Syariat adalah jalan, prinsip. Jalan Islam adalah memanusiakan perempuan. Jalan Islam adalah kesetaraan hamba Allah untuk dapat meluaskan potensi kemanusiaannya untuk kemaslahatan.
Fitrah perempuan yang seharusnya dapat berpendidikan dan bermanfaat seluasnya kepada masyarakat justru terbatasi oleh kuasa laki-laki dengan dalih syariat, tentu harus dipertanyakan ulang.
Tujuan dari aturan mahram adalah memberi perlindungan kepada calon haji perempuan, bukan membatasi gerak perempuan. Hari ini, mahram itu adalah negara dengan kebijakan publik yang berpihak kepada perempuan dan seperangkat sistem keamanan dan alat penegak hukum yang adil.
Mahram adalah bagaimana negara menciptakan ruang yang aman dan nyaman di ruang publik buat perempuan. Syariat dapat hadir lewat Negara, dengan membangun ruang publik dan fasilitas umum yang ramah perempuan dan juga kebijakan publik untuk penghapusan kekerasan seksual.
Kini, perempuan yang tidak menikah dan tidak punya mahram karena kondisi ayah yang sakit-sakitan bisa pergi menjalankan rukun Islam ke lima itu sendiri. Mereka berhak punya pilihan pribadi sebab perempuan adalah manusia dewasa yang berakal.
Saudi, sebagai negara yang paling telat dalam memberikan hak-hak perempuan akhirnya sudah mau maju satu langkah.
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.