Kalau dalam beberapa waktu terakhir ini begitu santer istilah “komisaris jalur relawan” yang kemudian dikait-kaitkan dengan pemerintahan Jokowi, tentu saja hal tersebut adalah wajar belaka.
Bayangkan, dalam satu bulan terakhir, setidaknya sudah ada empat orang relawan atau pendukung atau timses Jokowi yang ditunjuk menjadi komisaris BUMN. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berturut-turut menunjuk Eko Sulistyo, Dyah Kartika Rini, Ulin Yusron, dan yang paling gres, Kristia Budiyarto atau yang lebih dikenal dengan nama Kang Dede sebagai komisaris.
Netizen di media sosial tentu saja langsung memberikan komentar bernada negatif. Bagi mereka, apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dalam memberikan jabatan komisaris kepada orang-orang yang memang beririsan dengan relawan Jokowi adalah bentuk nepotisme yang sangat nyata.
Penunjukkan para relawan Jokowi sebagai komisaris BUMN, tak bisa tidak, semakin menambah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap Jokowi yang dianggap tidak memperjuangkan komitmen anti KKN yang dulu pernah ia dengung-dengungkan sejak kampanye Pilpres 2014.
Lantas, apakah pemerintahan Jokowi salah atas apa yang sudah mereka lakukan? Bisa jadi iya, sebab itu memang tidak sesuai dengan komitmen awal. Namun kalau mau melihat lebih jernih, penunjukkan para relawan menjadi komisaris tersebut tentu bisa dimaknai sebagai sebuah upaya nyata Jokowi dalam memperkenalkan kembali konsep “balas budi”, konsep yang sekarang mulai banyak dilupakan oleh orang-orang seiring dengan hilangnya mata pelajaran PMP dan PPKN di sekolah.
Kita, utamanya generasi muda, mulai tak akrab dengan istilah-istilah seperti balas budi, tenggang rasa, kerukunan beragama, dan yang sebangsanya.
Nah, Jokowi tampaknya ingin menghidupkan kembali romantisme pelajaran moral pancasila itu. Tujuannya apa? Tentu saja agar di tengah kondisi masyarakat yang semakin keras, brutal, dan penuh pengkhianatan seperti sekarang ini, orang-orang masih tetap menjunjung tinggi balas budi.
Memberikan jabatan komisaris BUMN kepada relawan atau tim sukses tentu saja bukan hanya dilakukan oleh Jokowi. Hal tersebut sudah ada sejak presiden-presiden sebelumnya. Namun, yang melakukan hal tersebut berturut-turut dalam waktu yang berdekatan sehingga kentara sekali, rasanya baru Jokowi yang melakukannya.
Tentu saja hal tersebut sudah dipikirkan matang-matang oleh Jokowi. Jokowi paham betul bahwa ia pasti bakal dinyinyiri sebab pemerintahannya bisa dengan ringannya memberikan jabatan komisaris kepada relawan atau tim sukses yang pernah membantu dirinya. Dan Jokowi tetap melakukannya.
Hal itulah yang membuat saya yakin, bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi adalah sebuah langkah besar yang harus diambil demi satu tujuan: memasyarakatkan balas budi.
Di periode kepemimpinannya yang terakhir ini, Jokowi tentu saja ingin meninggalkan legacy yang harus dikenang. Selain upaya pemindahan ibukota, legacy lainnya yang tampaknya memang ingin diwariskan oleh Jokowi adalah soal memasyarakatkan “balas budi” ini. Kalau perlu, bukan hanya dimasyarakatkan, tapi juga dibudayakan.
Jokowi bukan hanya ingin meninggalkan warisan fisik, namun juga mental dan spriritual.
Jokowi sudah memulai usaha memasyarakatkan balas budi secara frontal ini sejak ia menunjuk Prabowo sebagai menteri pertahanan. Prabowo, yang notabene adalah saingan beratnya dalam dua edisi pilpres, oleh Jokowi tetap diberikan jabatan di dalam pemerintahan. Tak bisa dimungkiri, sekeras apa pun persaingan antara keduanya, tetap saja Prabowo adalah sosok yang punya andil besar untuk menaikkan Jokowi. Dialah yang membawa Jokowi ke arena Pilgub DKI yang kelak kemudian menjadi trek awal Jokowi untuk menuju kursi presiden.
Maka, ketika Prabowo ditunjuk menjadi menteri pertahanan, Jokowi seperti ingin memberikan pesan penting: balas budi adalah hal yang sangat besar dan harus diperjuangkan. Begitu pula yang terjadi saat para relawan atau pendukung Jokowi diberikan posisi sebagai komisaris, berturut-turut, dalam waktu yang berdekatan.
Jokowi, berpikir sangat jauh. Ia tak hanya memikirkan urusan masa depan rakyatnya di dunia, melainkan juga di akhirat nanti.
Jokowi paham betul, bahwa hutang emas boleh dibayar, hutang budi dibawa mati. Hutang negara bisa diwariskan, namun hutang budi harus diselesaikan.