Saya harus berhenti. Tepat di sini. Tapi, saya harus memulai dari mana?
Mari kita mulai dari tepat setahun lalu dari hari ini.
Kira-kira persis setahun ke belakang dari saat tulisan ini terbit, saya bertemu seorang teman yang tahu bahwa saya membutuhkan sedikit bantuan. Saya bilang kepadanya, saya telah melanggar tenggat novel yang saya bikin sendiri, dan itu akan merusak banyak hal: rencana-rencana tulisan saya yang lain, rencana-rencana lain selain tulisan, bahkan rencana keuangan saya (menulis novel, sejauh ini, hampir selalu adalah kerja bakti bertahun-tahun tanpa jaminan, yang sering kali diganjar dengan 100-an buku dari penerbit atau lebih sedikit). Saya butuh menyokong diri sendiri, dalam arti apa pun, untuk bisa meneruskan novel tersebut, termasuk di dalamnya jaring pengaman ekonomi, selemah apa pun itu. Maka, dengan terus-terang saya bertanya, “Apa yang bisa kulakukan untukmu agar aku bisa mendapatkan sedikit uang?”
Kami menyepakati sebuah kolom, yang belum tahu hendak diisi dengan tulisan macam apa. Tapi, tentu saja, dengan sedikit syarat. “Cak Mahfud mesti memberikan empat tulisan dulu, sebelum kita sepakat menerbitkannya sebagai kolom,” katanya, sembari menjelaskan bahwa kebanyakan para penulis kolom yang pernah dihadapinya punya persoalan di ketahanan. Saya menyanggupi. Dan saya bisa. Dan jenis tulisan yang saya sodorkan disepakati. Dan sejak itu, kolom tersebut (maksudnya kolom ini), muncul setiap pekan.
Tak sampai dua bulan sejak kolom ini terbit, wabah yang sudah mengintip di perbatasan akhirnya resmi diakui oleh Pemerintah telah masuk ke Indonesia. Hal itu membuat menulis untuk kolom ini punya dampak dan arti yang lebih besar dan lebih dalam dibanding yang pada awalnya saya bayangkan. Ketika orang-orang mengeluh kehilangan pekerjaan, dipecat, dirumahkan, kolom itu bukan hanya memberi sedikit keamanan keuangan, hal yang paling utama saya incar. Yang paling penting, terutama dalam konteks wabah, ia juga memberi saya orientasi.
Tanpa punya semacam kewajiban menulis setiap pekan, sementara novel yang ingin saya selesaikan sedang macet-macetnya, saya sulit membayangkan apa yang bisa mendorong saya punya sesuatu yang mesti saya pikirkan. Ia tetap membuat saya punya alasan untuk menyentuh kibor komputer saya di luar menonton film. Sering kali, ia memberikan alasan lebih dari sekadar harus membaca karena membaca itu baik, atau karena ini masa wabah, maka tak ada yang bisa lebih baik dilakukan selain banyak-banyak membaca. Ia juga, untuk seorang yang menghabiskan terlalu banyak waktu di warung kopi—yang mana itu tak bisa lagi dilakukan, memberi saya gambaran bahwa tak buruk-buruk amat mengurung diri di rumah.
Yang paling baik, saya juga pada akhirnya tertolong untuk tak terlalu menjauhi novel yang masih terus menghantui. Komputer yang menyala setidaknya sekali di setiap akhir pekan mengingatkan saya bahwa ada yang masih menuntut untuk diteruskan, ada cerita yang harus diselesaikan, ada tokoh yang mesti dimatikan atau harus dihidupkan. Dan, kolom itu memang benar-benar menolong. Pada bulan keempat sejak memulainya, saya akhirnya menyelesaikan novel itu.
Lalu, saya mulai sadar bahwa saya baru saja kehilangan alasan utama menulis kolom ini. Ya, wabah memberi nuansa yang pas untuk menjadi penulis dengan ritus dan kerutinan tertentu—dan ia masih berlangsung. Tapi, jelas, bukan itu yang memaksa saya duduk dan menyusun diksi-diksi dan kalimat-kalimat nonsens yang terbit tiap Minggu siang itu. Tidak, bukan seperti itu cara kerjanya.
Kenapa saya membutuhkan lima tahun bekerja sebagai buruh yang masuk enam hari dalam seminggu, dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore, sebelum akhirnya keluar? Saya membutuhkan support system untuk menyelesaikan novel pertama yang bangsat itu! Dan setelah novel itu selesai, saya tak melihat menjadi buruh upahan tetap relevan.
Kenapa, tepat sepuluh tahun lalu, saya mulai menulis tetek bengek soal film India, atau membutuhkan wadah caci maki dan gerutu yang dibungkus dalam sebuah blog sepakbola, dan pada saat yang sama menerima orderan mengedit novel-novel buruk dari penulis-penulis buruk? Jelas, saya membutuhkan semacam kesetimbangan psikologis dan finansial agar terus berada di trek untuk menyelesaikan novel kedua.
Dan, tampaknya, saya yakin, itulah jenis kelindan yang menghubungkan kolom ini dengan novel terakhir saya.
Saya mulai merasa kelabakan. Menulis tak pernah menjadi pekerjaan enteng, lebih-lebih menulis kolom, dan dengan tak adanya alasan utama, rutinitas ini semakin lama terasa semakin berat saja. Dan dalam keadaan demikian, godaan-godaan lama mulai datang: bacaan-bacaan sepakbola terlihat sangat menggoda, sementara buku-buku tentang sinema India melambai-lambaikan halamannya. Lalu saya mulai membuat rencana-rencana.
Menjadi jelas, saya tak akan bisa menulis kolom-kolom ini lebih lama lagi, tanpa menjadi bosan dan tanpa membuat bosan pembaca. (Rasa bosan, dibanding kesakitan-kesakitan lain yang disebabkan menulis, adalah jenis kesakitan yang paling tak bisa saya tanggungkan.) Saya sudah terlalu banyak menceritakan hal-hal yang tak penting, dan saya tak ingin berlanjut menceritakan hal-hal yang tak ada, lebih-lebih kalau mengada-ada. Saya tak akan kuat terus menulis kolom ini selama bertahun-tahun seperti yang seorang teman lakukan. Lalu, jika saya tak kuat selama tiga atau empat tahun, kenapa mesti menulis lebih lama lagi? Saya sudah cukup menjadi egois dengan menulis, dan saya tak mau menjadi lebih egois lagi karena menulis dalam keadaan bosan.
“Jadi, bagaimana kalau kita selesaikan pas setahun?” rengek saya kepada teman yang sepuluh bulan sebelumnya memberikan saya kolom ini. Dan ia dengan penuh kemurahan hati mengabulkannya.
Dan, setahun itu akhirnya datang. Hari ini.
CATATAN REDAKSI: Dengan ditutup oleh tulisan ini, kolom “Rebahan” oleh Mahfud Ikhwan resmi selesai. Mungkin kolom ini akan hidup lagi, mungkin juga tidak, semua bisa terjadi di media selow seperti Mojok. Yang jelas, mulai pekan depan kolom lain akan mengisi Minggu siang para Mojokiyah, diasuh oleh Kalis Mardiasih. Terima kasih untuk setahun yang berwarna, Cak Mahfud!