Seru seperti cerita silat.
Bijak seperti buku filsafat.
Ringan seperti hiburan.
— sampul belakang novel Wisanggeni
Sebuah organisasi pelajar mengajak saya untuk mengisi seminar web tentang menulis populer. Untuk banyak sekali alasan, saya jelas bukan orang yang paling tepat untuk membicarakan tulisan atau menulis cara ini; menulis populer jelas bukan bagian terbaik dari penguasaan dan pengalaman menulis saya. Tapi, dipikir-pikir, daripada orang-orang populer yang tak benar-benar bisa menulis yang menerangkannya (seperti yang banyak terjadi di banyak event literasi dan seminar-seminar menulis), mungkin sesekali seorang penulis tak populer macam saya perlu mengambil kesempatan.
Lagi pula, meski tidak populer-populer amat, pasti bukan tanpa alasan jika saya yang mereka undang; dengan kata lain, kepopuleran saya yang terbatas, sampai kepada para panitia penyelenggara acara. Tapi karena tak benar-benar populer itulah mereka sepertinya mengundang orang yang tidak benar-benar tepat.
***
Kata populer dalam frasa “menulis populer” memang populer di kalangan pembaca umum. Ia saya kira sudah diperkenalkan secara luas di sekolah menengah pada istilah seperti “karya ilmiah populer”, baik di pelajaran bahasa Indonesia maupun di kegiatan ekstrakurikuler. Ia juga bisa dengan mudah dikenali dan ditemukan sebagai judul buku petunjuk praktis menulis atau mengarang di rak-rak toko buku di setiap kota, berdampingan dengan buku-buku petunjuk membuat surat dinas, menulis surat cinta untuk remaja, dan buku-buku petunjuk praktis lainnya. Dan tentu saja ia sering diseminarkan.
Namun, saya kira ia tidak populer di kalangan penulis, terutama di kalangan mereka yang ingin dianggap serius—jika populer di sini kita artikan sebagai “disukai”. Baik dalam bentuk karangan bebas maupun terikat, fiksi atau nonfiksi, kata populer, yang dalam istilah lebih populer sering disebut “ngepop”, sering kali disejajarkan sebagai dangkal, gampangan, dan secara pukul rata dapat dianggap sebagai tulisan yang lebih mudah dibuat. Dalam kalimat yang paling hati-hati dan penuh hormat sekalipun, tulisan populer dianggap sebagai karya yang ditulis untuk khalayak yang lebih banyak—biasanya ditambahi dengan embel-embel: dengan tingkat pemahaman yang lebih “beragam”.
Tapi jangan salah, pandangan peyoratif itu saya kira tak hanya dipegang oleh para penulis yang berpretensi serius atau yang ingin dilihat serius. Di kalangan penulis populer sendiri, mereka tampaknya juga menanamkan di kepala mereka bahwa apa yang mereka kerjakan adalah bentuk yang “lebih rendah” dari tulisan yang dipandang ideal—baik oleh kalangan penulis pada umumnya, tapi terutama oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, sengaja atau tidak, para penulis pop ini kemudian menyepakati, dalam banyak kesempatan mungkin malah memanfaatkan, pandangan bahwa yang populer adalah yang dangkal dan gampangan. Beberapa orang menjadikan bentuk tulisan populer sebagai ajang latihan sebelum beranjak ke bentuk tulisan yang dianggap lebih serius, sementara beberapa orang lain menganggap dirinya ada dan pantas berada di situ karena memang di “cuma segitu” kemampuannya. Untuk yang terakhir ini, tidak akan mengherankan jika kita menemukan artikel populer atau novel pop yang secara teknis amburadul, tema ketengan, penokohan dangkal, sudut pandang ngawur, dst.—pokoknya dangkal dan gampangan dalam cara yang sebenar-benarnya.
Saya tidak kalis dari cara pandang seperti ini, dan saya tak kurang bukti yang bisa menguatkan bahwa sterotip ini memang ada benarnya. Namun, pada saat yang sama, saya adalah jenis penulis yang selalu terganggu dengan keterpencilan penulis dan dunia kepenulisan dari khalayaknya. Dan saya kadang melihat apa yang diupayakan dan biasanya dipakai dalam tradisi penulisan populer, misalnya sifat bawaan mudah dimengerti dan menghiburnya, saya rasa bisa dipakai oleh siapa pun, termasuk penulis paling serius sekalipun.
Karena itulah, seperti yang siapa pun bisa temukan dengan mudah dalam biografi kepenulisan saya, saya tak benar-benar alergi dengan tulisan-tulisan populer. Saya pernah mencobanya. Dan itu tak hanya sekali.
***
Sekeras apa pun saya berupaya menyangkalnya, saya mesti akui bahwa saya pernah membayangkan menjadi populer dengan menulis. Di sisi lain, menulis populer adalah keinginan yang terus-menerus gagal saya upayakan, namun ia masih bersembunyi di dalam diri sebagai obsesi.
Di SMA, ketika nilai rapor cemerlang dan prestasi di kelas tak mungkin lagi saya gapai (yang di level SD dan SMP saya dapatkan bahkan dengan tanpa cukup berusaha), sementara pada saat yang sama saya juga adalah siswa semenjana di semua ekskul yang saya ikuti (bukan pemain teater yang menang di lomba tingkat provinsi, bukan anggota band yang mentas di malam orientasi, bukan juga anggota Pramuka yang disayang kakak pembina), saya pernah mengincar untuk bisa memasukkan tulisan ke buletin sekolah agar bisa lebih dikenal. Buletin itu, Ilusi namanya, dibagikan kepada seluruh siswa dengan pungutan paksa. Ada hampir seribu siswa di sekolah itu; jika namamu ada di salah satu tulisan di salah satu edisi buletin, mungkin sekian orang dari hampir seribu itu akan sedikit tahu tentangmu. Sayangnya, itu tak pernah terjadi. Mungkin juga saya kurang keras mencoba. Tapi saya pikir itu kegagalan yang memiliki sisi baiknya: gagal menulis di buletin SMA membuat saya tak perlu memikirkan bahwa di masa depan saya akan jadi penulis, dan itu membuat saya bisa sedikit mengglorifikasi kisah kepenulisan saya yang telat. Yang tak terhindarkan, kegagalan itu menjadikan saya menjadi siswa yang rata-rata saja di kelas, tak menonjol di lapangan olahraga, tak punya bakat apa pun di ekskul, juga tak punya cukup reputasi buruk, dan pada akhirnya tak dikenal siapa pun.
Saya mencobanya lagi ketika sudah mulai menulis fiksi di masa-masa awal kuliah. Saya mengirimkan cerpen islami saya ke Annida, majalah islami bersegmen remaja putri dan diketahui punya oplah besar. Dan kali ini saya melakukannya dengan sangat mudah: cerpen pertama yang saya kirim bukan saja segera dimuat, namun langsung menjadi cerita sampul (cover story); demikian juga dengan cerpen kedua. Ini membuat seorang novelis islami produktif di kampus menguber-uber saya agar menjadi anggota organisasi kepenulisan yang ikut ia kelola, sementara beberapa alumni sebuah sekolah menengah khusus putri di Jogja sampai hari ini masih mengenali saya sebagai penulis “cerpen yang itu”. Namun, entah kenapa saya tak nyaman dengan posisi itu. Label penulis cerita islami, dan sangat mungkin ditambah dengan embel-embel “populer”, terdengar agak menakutkan untuk saya. Maka, saya berhenti selagi bisa. Dan saya kira itu keputusan yang tepat.
Bertahun-tahun kemudian, ketika pantat dan muka saya terpaku di kursi-meja kerja sebuah penerbitan buku pelajaran, memikirkan sebuah buku populer adalah semacam upaya bertahan. Ya, saya masih mencadangkan pikiran dan tenaga untuk bakal-bakal novel saya, tapi saya tak pernah bisa memperkirakan kapan selesainya—atau, lebih buruk lagi, bisa jadi ia tak akan pernah selesai; saya butuh melakukan sesuatu untuk memelihara api kecil kepenulisan saya tetap menyala. Maka, saat saya memperoleh semacam “hukuman” tak diberi pekerjaan oleh kantor, dan itu membuat saya menjadi pengangguran yang harus mengisi kartu absen, menjelang Piala Dunia 2006 saya ngebut menulis beberapa cerita pendek bertema cinta berlatar sepakbola. Kurang dari sebulan saya menyelesaikan sebuah naskah kumpulan cerpen berjudul genit dan gampangan: Katakan Cinta dengan Bola. Saya bayangkan, jika buku ini terbit dan beredar, saya setidaknya masih bisa memelihara semacam dunia kecil kepenulisan di luar sana, di luar kantor yang tengah mengurung saya. Tapi tak ada penerbit yang sudi memungutnya. Naskah itu pun saya selipkan di bawah meja, dan tak pernah lagi saya buka.
Keluar dari kantor dan gagal total dengan novel pertama (sebuah novel yang nyaris memunggungi semua hal yang disukai khalayak pembaca Indonesia, demikian kata kritikus Katrin Bandel), menulis populer kemudian saya upayakan sebagai bentuk bertahan dalam makna paling dangkal: tak terkenal tak apa, yang penting dapat uang. Lagi-lagi tentang sepakbola, bahkan dua buku sekaligus, ia memberikan saya sedikit uang dan—karena memakai nama palsu—tentu saja nol popularitas. Tapi, masa-masa ini mengawali fase yang saya anggap paling berhasil dalam hal menulis populer. Saya mengembangkan kemampuan dan kesanggupan untuk mengelola dua blog. Blog pertama tentang sepakbola, sementara blog yang lain tentang film, khususnya film India. Lepas bahwa dua blog itu tak terlalu banyak mendapat pembaca, bahkan ketika telah dibukukan beberapa tahun kemudian, saya rasa saya bisa mengklaim bahwa saya pada akhirnya bisa menulis secara populer.
Di luar dua blog itu, aura menulis populer ini menaungi kepala saya ketika saya memutus keluar dari masa-masa murung dari kegagalan dengan novel pertama, dan saya menyentuh dan masuk kembali ke draf lama saya. Tujuh atau delapan tahun sebelumnya, draf ini adalah upaya menulis novel pop yang urung karena digelantungi oleh hal-hal yang terlalu serius. Langkah pertama yang saya tempuh adalah mengganti judulnya: dari “Utara-Selatan Terpisah Jalan” ke “Mif dan Fauzia”. Berpedoman pada film-film Bollywood bertema “cinta terhalang perbedaan”, juga tentang “persahabatan beda kasta”, saya merekatkan bagian-bagian yang pretensius dan punya tendensi muluk di naskah itu dengan kisah-kisah dan adegan-adegan kemripik dan betul-betul ngepop yang dulu tak terpikirkan. Maka, di novel yang hendak bercerita tentang bagaimana sebuah desa santri mengalami dan menanggulangi keterbelahannya akibat kontestasi antarkelompok beragama tersebut ada adegan merajuk dan membujuk dua remaja pencinta yang tengah melewati masa tersulitnya, terdapat dialog-dialog ala FTV macam “Terus bagaimana nasib kita, Mif?”, atau adegan dua pria tua yang bertangis-tangisan, yang tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Sunny Deol dan Anil Kapoor dalam film Ram-Avtar. Sayangnya (ataukah saya justru beruntung?), sebuah ajang sayembara novel yang selama ini dianggap standar sastra serius kemudian mendapuknya menjadi juara. Maka jadilah ia novel yang terdengar jauh lebih serius dari yang seharusnya.
“Sudahlah, kamu tak bisa menulis pop, Fud!” vonis seorang teman. Mungkin ia benar, dan kadang saya menerima vonis itu sebagai final, tapi saya terus saja mengupayakannya. Hasilnya, novel berikutnya adalah kisah tentang pembunuh bayaran yang dirundung malam, yang merupakan perasan dari bacaan dan tontonan saya atas film dan kisah-kisah setengah lucah. Tapi, kelihatannya orang-orang menganggap cerita macam itu terlalu serius. Dan lagi-lagi saya gagal untuk menulis populer.
***
Berdasar pengalaman saya yang penuh kegagalan, saya bisa katakan menulis populer tidaklah mudah. Itulah yang saya sampaikan kepada para peserta seminar. (Saya harap mereka lebih bersemangat belajar menulis setelah mendengar hal itu.)
Juga saya sampaikan, menulis populer jelas tidak dangkal dan gampangan seperti yang selama ini kita pikirkan, dan seharusnya tak begitu. Ia adalah tahap lebih lanjut dari menulis, dan bukan malah permulaannya, sebagaimana yang dipikirkan banyak orang. Dalam jenis tulisan apa pun, menulis populer haruslah didasari oleh kemampuan teknis yang lebih dari sekadar memadai, malahan mesti lihai, dengan kemampuan menyampaikan ide dan gagasan atau cerita kepada pembaca di atas rata-rata. Jangan dikata lagi isi yang disampaikannya.
Saya selalu membayangkan, penulis yang bisa menulis populer adalah mereka yang sanggup menyampaikan hal rumit menjadi lebih sederhana, mendekatkan yang jauh agar lebih terjangkau, mengangkat yang tersembunyi jadi lebih bisa digapai; dan untuk menjadi penulis seperti itu, bayangkan kekayaan kosakata yang mesti dimiliki.
Dan oleh karena itu, pada akhirnya, orang-orang terbaik dalam kepenulisan populer adalah juga orang-orang terbaik dalam kepenulisan jenis apa pun. Itu kenapa kita punya penulis macam Kuntowijoyo, yang di satu sisi punya karya sejarah kelas babon, sementara di sisi lain tulisan-tulisan pendeknya tentang sosial-kebudayaan mendominasi kolom-kolom koran sepanjang dekade ’90-an, dan kedua jenis karya itu sama-sama hebatnya. Atau Seno Gumira Ajidarma, yang di luar trademark-nya menulis cerpen-cerpen surealis tentang kekerasan negara (yang mencipta satu generasi cerpenis yang mengekorinya), juga bisa menulis cerita wayang yang ringan dan menyenangkan, juga menulis kolom-kolom pendek tentang masyarakat urban yang menggetarkan. Atau Mahbub Djunaidi, novelis yang bisa menundukkan hati dewan juri Sayembara DKJ sekaligus kolumnis yang dicintai pembaca. Dan kita bisa menambahkan nama-nama lain macam Hamka, Kayam, Onghokham, Gus Dur, Amien Rais, Cak Nur, Cak Nun, R.K. Narayan, Brian Glanville, Simon Kuper, Alex Bellos, dst.
Dan kalau melihat nama-nama itu, membaca karya-karya mereka, masih bisakah kita bilang bahwa menulis populer itu gampang, sementara tulisan populer itu dangkal dan gampangan? Tulisan populer yang jelek barangkali ya.
BACA JUGA Bukan Kesalahan dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.