MOJOK.CO – Saya kenal Bung Febri Diansyah pada 2002 ketika kami sama-sama masuk Fakultas Hukum di Kampus Bulaksumur, UGM.
Namanya Febri Diansyah. Sosoknya tinggi. Giginya rapi. Sorot matanya tajam. Rambutnya (dulu) gondrong. Dengan modal alamiah itu, tak sulit baginya untuk jadi idola kampus. Tapi, toh bukan jalan selebritas yang ditempuhnya saat itu.
Kalau saat itu Bung Febri mau ke arah sana, bukan tidak mungkin dia sudah berkolaborasi dengan Andre Taulany, bukan dengan politisi-politisi di acara debat.
Bung Febri justru memilih membenamkan dirinya dalam tumpukan buku, pengapnya ruang diskusi, dan kerasnya demonstrasi jalanan. Di Jogja dia benar-benar menjalani siklus Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk.
Saya barangkali bukan sahabat terdekatnya. Namun, setidaknya saya mengenalnya cukup lama, 18 tahun. Saya kenal Febri pada 2002, ketika kami sama-sama masuk Fakultas Hukum di Kampus Bulaksumur, UGM.
Kos-kosannya yang terlampau sederhana (kalau tak mau dibilang memprihatinkan) itu hanya berjarak seperlemparan batu dari kosan saya, yang sama-sama tak lebih baik. Namun, justru dari keprihatinan itulah Bung Febri belajar memimpin. Sebab, memimpin itu menderita (leiden is lijden), begitu kata diplomat legendaris Indonesia, K.H. Agus Salim.
Tak sukar bagi kami untuk menjadi akrab. Pada tahun pertama kami kuliah, kami (atau lebih tepatnya dia) sudah membuat ulah dengan memprotes kebijakan kampus.
Kalau saya tak salah ingat, yang menjadi pangkal persoalan saat itu adalah keberatan mahasiswa atas pungutan Biaya Operasional Pendidikan. Jadi, bisa dibilang memang sudah sejak mahasiswa Febri Diansyah ini doyan cari gara-gara.
Pada tahun kedua, dia memilih cuti untuk menyelesaikan kuliahnya di FE Universitas Andalas. Alih-alih membuat kampus sepi, kepergiannya ke Andalas justru membuat kampus di Bulaksumur makin riuh. Tulisan-tulisan si Bung tetap menyebar ke mana-mana, dikirim dari Andalas, dibahas teman-temannya di Jogja.
Sepulang dari Andalas, Febri Diansyah kembali aktif di pers mahasiswa. Sambil tetap doyan mengkritik siapa pun, termasuk birokrasi kampus. Bahkan saking gemarnya mengkritik, seorang petinggi kampus pernah mengejek tulisan Febri sebagai tulisan kampungan. Dasar, suka cari gara-gara memang si bung satu ini.
Dalam ingatan saya, seorang Febri Diansyah itu sering datang ke kampus dengan sepeda ontel, kaos oblong (zaman itu masih dibolehkan), dan tas selempang dari kantong terigu. Tak ada yang istimewa dalam tasnya.
Saya tak seberapa ingat buku hukum apa yang pernah dia bawa. Namun, saya pernah menemukan Bumi Manusia dan Madilog dalam kantong terigunya itu. Sebuah pilihan buku-buku yang mungkin tak begitu keren pada zaman itu.
Di sisi lain, sejak awal saya mengenal Febri Diansyah, dia memang sudah memperlihatkan bakat kepemimpinan yang alami. Febri itu kritis, tapi juga pandai merangkul kawan-kawannya. Juga terbiasa bersilang pendapat dengan senior-seniornya.
Dari birokrasi kampus dikritik sampai teman sendiri, mahasiswa senior, juga berani didebat. Duh, maumu apa sih, Bung Febri? Doyan cari gara-gara memang ente ini.
Dari sana pula saya kemudian menyadari sosok Febri Diansyah punya nyali yang tak mudah runtuh. Peristiwa-peristiwa itu, bukan tidak mungkin bikin mentalitasnya menjadi seorang juru bicara sudah muncul. Tetap tenang di setiap tekanan. Kebiasaan yang sudah terlatih bahkan ketika masih mahasiswa.
Hal yang semakin bikin gemas lagi, di setiap perdebatan Febri hampir selalu bisa menyampaikan argumentasi dengan terukur dan (ini yang istimewa) dengan ketenangan yang jarang dimiliki orang-orang seusianya. Saking tenangnya, Bung Febri ini bahkan jadi terkesan dingin mimik mukanya. Seperti statis gitu.
Pemandangan yang mungkin baru kalian tahu saat melihat Febri di Mata Najwa atau ILC. Wajah “manekin” tenang itulah yang sudah saya nikmati sejak masa-masa kuliah ketika ada perdebatan yang melibatkan Febri.
Selain ketenangan yang cenderung dingin itu, Febri Diansyah yang saya kenal memiliki sifat wara’ (tingkat kehati-hatian) yang tinggi. Bahkan saya ada cerita sendiri soal ini.
Jadi, jelang akhir kuliah, seorang dosen mendekati Febri. Kebetulan IPK-nya nyaris cum laude. Hanya kurang nol koma sekian. Pak dosen yang baik hati ini menawari Febri untuk mengulang satu mata kuliah sehingga ada kemungkinan Febri mendapat nilai A dan IPK-nya menjadi cum laude. Tak ada yang salah.
Hanya saja waktu itu Febri menolak tawaran Pak Dosen. Tak terang alasannya. Mungkin karena sudah ingin cepat-cepat lulus atau (dan ini yang paling mungkin) Febri sangat berhati-hati supaya pada kemudian hari predikat cum laude-nya tidak dianggap sebagai “saham” dari Pak Dosen ke dirinya.
Akhirnya sampai lulus, seingat saya, Bung Febri Diansyah ini tetap puas dengan predikat nyaris cum laude.
Lepas kuliah, kami berpisah jalan. Saya bekerja sebagai pembawa pesan ke beberapa negara dan Febri Diansyah menghibahkan dirinya di lembaga swadaya masyarakat antikorupsi.
Kami jarang bertemu, tapi selalu berusaha menjaga komunikasi. Saya lihat saat itu namanya sudah beberapa kali nangkring di rubrik opini Kompas.
Ketika saya menikah di Jogja, Febri juga menyempatkan datang dari Jakarta. Bukan cuma datang, Febri ini juga menyampaikan sambutan. Sebuah sambutan yang akan selalu saya kenang seumur hidup saya.
Bayangkan saja, saya menikahi perempuan Jawa dengan segala adat istiadatnya. Dan si Bung datang dengan sambutan gaya Minke-nya. Gara-gara kelakuan “nakal” Bung Febri Diansyah itu, saya harus rela digunjing bapak-bapak se-RT selama beberapa hari.
Dengan reputasi seperti itu, jangan dipikir Febri tak bisa berbuat jail. Paling tidak, saya pernah kena lewat Twitter. Dikerjain mantan jubir KPK yang lembut seperti bedak pantat bayi itu memang sesuatu. Benar-benar tak terduga.
Maklum, saya ini newbie di Twitter. Baru sebulan lah bikin akun. Itu pun Febri yang mengajari dari nol, termasuk cara membuat utas.
Nah, karena dia tahu saya newbie, jiwa isengnya muncul. Satu kali saya ngetwit sesuatu yang isinya sebenarnya sangat biasa, tapi kok mendadak diserang dan dikuliti oleh netizen. Usut punya usut netizen ini teman-temannya Febri, sengaja dia kerahkan. Katanya, untuk menguji tingkat kebaperan saya di Twitter.
Iya, iya, saya tahu, tingkat mengerjai seorang Febri Diansyah mungkin tidak seasyik komedian Komeng. Mungkin karena seorang Febri punya kelemahan mendasar sebagai manusia, yakni tidak bisa melucu. Bahkan, hampir sampai pada kategori tidak bisa sama sekali.
Suatu kali, ketika menjadi ketua divisi acara ospek, Febri pernah berusaha melucu sekitar sore hari. Saat situasi sedang capek-capeknya. Susah payah dia merangkai jokes di hadapan para adik kelas untuk menghibur, tapi ternyata yang keluar begitu anyep seperti sayur warteg kurang garam.
Saya tahu dia juga sering bersusah payah untuk melucu saat bertemu dan, masih seperti dulu, tetap saja suka garing dan renyah luar biasa. Mungkin karena Febri terjebak sama citranya sendiri yang punya pembawaan tenang, jadi aneh kalau dirinya melucu dalam reputasi “dingin” seperti itu.
Ketika akhirnya Febri Diansyah ditunjuk jadi jubir KPK, hubungan kami justru agak menjauh. Saya sengaja mengurangi komunikasi dengannya. Bukan apa-apa, selain karena alasan profesional, juga karena saya tidak ingin mengganggu waktunya.
Febri memang sempat beberapa kali menawari saya untuk main ke rumahnya (mungkin untuk pamer ikan hias), tapi saya masih sungkan menerima. Saya baru menemuinya ketika saya akan berangkat untuk tinggal di Doha, Qatar.
Banyak yang menduga kami berbincang serius, padahal tidak ada yang serius. Cuma soal siomay dan rencana membuka warung makan Padang. Satu-satunya yang serius adalah sarannya agar saya membuat akun media sosial. Sekadar untuk bercerita mengenai matahari di Doha, katanya.
Dan kemarin, saya baru dapat kabar kalau Bung Febri Diansyah telah mengambil jalan baru. Mengundurkan diri dari lembaga yang sangat dicintainya.
Saya sendiri tidak terkejut, meski tidak menyangka akan seringkas ini. Barangkali dia ingin segera menunaikan tugasnya sebagai manusia, yakni menjadi Manusia. Tak harus dengan “M” besar, tapi cukup dengan kontribusi yang besar. Mungkin juga ingin menangani korupsi sebagai perilaku manusia, bukan korupsi sebatas aktivitas kejahatan elite.
Saya tahu itu keputusan sulit, tapi saya selalu percaya dengannya. Selamat meneruskan perjalanan, Bung. Dan izinkan saya memakai kembali pesanmu ke saya, “Kita tak akan pernah benar-benar berpisah. Kita hanya membagi tugas.”
BACA JUGA Terima Kasih Pemerintah, Udah Mau Bikin Pegawai KPK Jadi ASN Semua dan tulisan soal KPK lainnya.