Ulama Tuli yang Kedatangan Tamu dan Puasa Senin-Kamis ala Kiai Kholil

MOJOK.CO – Menghormati tamu punya kedudukan penting dalam agama. Bahkan kadang lebih penting daripada beberapa ibadah sunah.

“Gus, Gus Mut,” Fanshuri memanggil Gus Mut usai salat isya berjamaah di masjid.

“Iya, kenapa, Fan?” kata Gus Mut yang baru saja mau keluar dari masjid.

“Ke sini bentar, Gus, aku mau tanya. Penting ini,” kata Fanshuri.

Gus Mut yang sudah di bibir pintu masjid segera berbalik menghampiri Fanshuri, temannya, lalu langsung duduk begitu saja.

“Ada apa tho?” tanya Gus Mut.

“Abah sampeyan itu memang ada apa kemarin? Kok tumben nggak puasa? Lagi sakit ya?” tanya Fanshuri.

Puasa yang dimaksud Fanshuri adalah puasa senin-kamis. Sudah mafhum diketahui oleh Fanshuri dan orang-orang sekampung kalau Kiai Kholil istikomah puasa senin-kamis. Setahu Fanshuri tidak pernah satu kali pun Kiai Kholil bolong.

“Lho memangnya kenapa? Setahuku Abah nggak sakit apa-apa. Kalau sakit ya aku pasti lebih dulu, lha wong aku anaknya,” kata Gus Mut.

“Bukan begitu. Kemarin ini, hari Kamis berarti ya itu, aku sowan ke Kiai Kholil soal laporan keuangan masjid. Nah, waktu aku sowan kebetulan ada orang yang juga lagi sowan. Ya aku nunggu dong sampai urusan Abah sama tamunya ini selesai.”

“Lha terus?” tanya Gus Mut, kali ini meluruskan kakinya. Gus Mut memang tidak selalu tahu kejadian di rumah abahnya, ya maklum Gus Mut sudah punya rumah sendiri. Hanya sekali atau dua kali saja Gus Mut “pulang” ke rumah abahnya, itu pun juga tidak sering.

“Nah, karena hari itu hari Kamis, sudah jelas dong Kiai Kholil lagi puasa. Tapi nggak tahu kenapa Kiai Kholil malah ngajak si tamu itu masuk ke dalam untuk makan. Karena aku ada di sana, aku jadi diajak ikut makan. Ya lumayan sih, dapat makan siang gratis. Tapi waktu makan aku jadi ngerasa aneh soalnya Kiai Kholil jadi ikut makan. Wah, ini ada apa Kiai Kholil kok tumben-tumbenan nggak puasa,” kata Fanshuri.

“Oh, tamu yang hari Kamis kemarin itu ya?” kata Gus Mut.

“Lho, Gus Mut tahu? Memang siapa dia?” tanya Fanshuri.

“Cuma tamu biasa. Soalnya malam harinya Abah cerita. Itu orang cuma mau curhat sama Abah aja. Ceritanya orang itu lagi punya masalah utang karena bisnisnya lagi bangkrut, jadi minta saran sama Abah. Waktu cerita sama Abah, orang itu udah nggak punya apa-apa lagi katanya. Tapi, kalau soal Abah ikut makan siang-siang sama si tamu itu aku nggak tahu. Baru tahu dari kamu malah, Fan,” kata Gus Mut.

“Nah, itu makanya aku nanya. Memangnya Kiai Kholil sedang sakit apa kok tumben nggak puasa,” kata Fanshuri.

Gus Mut kembali membenarkan posisi duduknya, “Fan, Abah itu orangnya memang gitu. Menghormati tamunya kadang kelewatan. Kejadian kayak gitu bukan yang pertama, dulu waktu aku masih serumah, aku pernah tahu Abah begitu juga.”

“Maksudnya gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Jadi Abah itu sebenarnya lagi puasa senin-kamis waktu itu. Tapi karena menghormati tamu kedudukannya lebih utama daripada puasa sunah, jadi Abah seketika itu juga membatalkan puasanya. Selain soal menghormati tamu, Abah itu takut kalau puasa sunahnya itu bikin ujub atau sombong di hadapan tamu,” terang Gus Mut.

“Oalah, sampai segitunya. Kenapa nggak bilang aja sama si tamu, ‘silakan, Mas, makan dulu, tapi aku nggak ikut ya, lagi puasa ini.’ Apa susahnya Gus bilang gitu? Aku yakin si tamu juga pasti ngerti,” kata Fanshuri.

“Iya betul, si tamu akan ngerti. Tapi rasa makanan yang masuk ke mulut si tamu nggak akan enak rasanya. Ya jelas dong, ditawari makan kok yang nawari malah nggak ikut makan. Rasanya pasti bakalan aneh,” jawab Gus Mut.

Fanshuri cuma ngangguk-ngangguk mendengarnya. “Buset, hebat ya Abah sampeyan,” kata Fanshuri.

“Kalau kejadian yang dulu itu aku juga sempat nanya ke Abah, ‘Lho, Abah kan puasa? Kenapa jadi ikut minum?’ aku nanya,” kata Gus Mut.

“Terus dijawab apa sama Kiai Kholil?”

“Abah nggak jawab, tapi malah cerita panjang. Cerita soal seorang ulama besar bernama Hatim Al-Asham. Ulama di Baghdad zaman dulu banget.”

“Memangnya kenapa ulama itu? Batalin puasa senin-kemis juga kayak Kiai Kholil?”

“Bukan, lebih ekstrem lagi malah,” jawab Gus Mut.

Fanshuri langsung siap-siap menyimak.

“Gini, Fan. Jadi suatu ketika si Hatim ulama itu kedatangan tamu perempuan, mau sowan-lah ceritanya. Baru mau memulai obrolan tiba-tiba si tamu ini nggak sengaja kentut. Wah, keras sekali suaranya. Sampai si perempuan ini sendiri kaget kentutnya bisa sekeras itu.”

“Wah, malu banget itu pasti tamunya. Lupa dimode getar mungkin, hahaha,” kata Fanshuri.

“Iya. Jelas malunya nggak ketulungan itu tamunya. Tapi sesaat kemudian si tamu perempuan nggak jadi malu,” kata Gus Mut.

Fanshuri penasaran, “Lho kok bisa?”

“Iya soalnya Hatim ini langsung berkata keras-keras kira-kira begini, ‘Apa? Ngomong apa, Mbak? Maaf, kuping saya agak bermasalah ini. Ngomongnya dikerasin dikit ya?’ melihat reaksi Hatim, sontak si tamu perempuan ini lega. Wah, untung kentutnya tadi nggak kedengaran,” kata Gus Mut.

Fanshuri langsung tertawa ngakak. “Wah, untung banget itu tamunya. Coba kalau ulama itu bisa denger kentutnya, pasti malu tujuh turunan itu. Bisa-bisa nggak mau sowan lagi, hahaha.”

“Padahal Hatim ini dalam sejarah hidupnya tidak menderita penyakit tuli. Kupingnya pun baik-baik saja,” kata Gus Mut.

Fanshuri melongo.

“Jadi, Hatim Al-Asham ini hanya pura-pura tuli saja saat mendengar kentut si tamu. Itu semua dilakukan cuma untuk menjaga perasaan tamunya. Biar tamunya nggak malu,” lanjut Gus Mut.

Fanshuri terkejut. “Gila bener,” cuma itu yang keluar dari mulutnya.

“Lebih gilanya lagi, karena ada kemungkinan perempuan ini akan tahu kalau Hatim ini cuma pura-pura tuli, akhirnya Hatim mendadak jadi pura-pura tuli terus-menerus kalau ketemu perempuan ini. Dan dia melakukannya itu berapa lama kalau kamu tahu, Fan?”

Fanshuri tidak punya jawaban pasti. “Beberapa bulan ya, Gus?” tebaknya.

Gus Mut menggeleng.

“Lima belas tahun. Dan aksi pura-pura tuli itu pun baru dihentikan Hatim ketika si perempuan meninggal dunia.”

———–

Diinspirasi berdasarkan kisah KH. Ahmad Umar Abdul Mannan dari Solo dan cerita Hatim Al-Asham ulama di Baghdad pada abad ke-7 yang dinukil dari kitab Nashaihul Ibad.

 

Exit mobile version