MOJOK.CO – Tak semua orang bisa ikhlas menerima sedekah. Apalagi kalau menerimanya dari orang yang dianggap lebih miskin.
Fanshuri punya kebiasaan unik kalau sedang berkendara. Salah satunya, kalau kebetulan sedang berhenti di lampu lalu lintas dan ada pedagang asongan yang menjajakan sesuatu, Fanshuri akan membeli dagangan yang dijajakan meski tidak benar-benar membutuhkan.
“Kadang-kadang orang itu lebih dihargai ketika dagangannya dilarisin ketimbang terima sedekah,” kata Fanshuri suatu kali, menjelaskan soal kebiasaannya itu.
Dan praktik sedekah ala Fanshuri itu lantas dipraktikkan pula di hadapan Gus Mut.
Pada suatu siang, kebetulan Fanshuri sedang mengantarkan Gus Mut mengisi salah satu pengajian. Di salah satu perempatan di dalam kota, Fanshuri yang duduk di kursi sopir, melihat seorang bapak-bapak tua menjajakan koran.
Tanpa basa-basi, Fanshuri pun membuka kaca mobilnya. Lampu merah masih menyala di detik ke-30.
“Pak, korannya satu dong,” kata Fanshuri.
“Yang mana, Mas?” tanya bapak-bapak ini mendekat.
“Yang itu, Pak,” kata Fanshuri.
Bapak penjual koran pun mengambilkan koran yang dimaksud Fanshuri.
“Enam ribu, Mas,” kata bapak-bapak ini sambil menyodorkan koran ke Fanshuri.
Pada mulanya, Fanshuri ingin membayar dengan uang pecahan 10 ribu rupiah. Tentu saja, Fanshuri bermaksud untuk tidak meminta uang kembalian, sisanya—niat Fanshuri—sebagai sedekah untuk si penjual koran.
Hanya saja, terjadi masalah yang tak disangka Fanshuri. Dia lupa kalau di dompetnya tak ada satu pun uang, Fanshuri lupa ngambil uang di ATM.
Agak panik karena detik lampu merah sudah mulai bergerak ke angka 20-an detik, Fanshuri segera mencari-cari uang di dasbor mobil.
Gus Mut yang duduk di samping Fanshuri heran.
“Cari apa, Fan?” tanya Gus Mut.
“Duit, Gus,” kata Fanshuri.
“Lah? Kamu itu gimana, kirain kamu manggil bapak penjual koran itu karena emang udah ada duit,” kata Gus Mut yang ikut-ikutan mengecek duit di dompetnya. Detik di lampu merah terus bergerak.
“Gus Mut ada? Yah, 10 ribu lah, Gus. Pinjem dulu, nanti saya ganti,” kata Fanshuri cengengesan.
“Ada nih,” kata Gus Mut.
Fanshuri semringah. Gus Mut mengeluarkan duit, tapi bukan 10 ribu, melainkan 50 ribu.
Fanshuri yang tadinya sudah semringah, mendadak jadi bingung.
“Ada 10 ribu aja, Gus?” tanya Fanshuri lagi.
“Nggak ada pecah, Fan,” kata Gus Mut sambil memberikan uang 50 ribu.
Fanshuri yang awalnya ragu-ragu, segera mengambil uang tersebut lalu memberikannya ke bapak-bapak penjual koran.
Tentu saja bapak penjual koran ini terkejut melihat uang 50 ribu yang diberikan Fanshuri.
“Sebentar ya, Mas. Waduh, saya ada kembalian nggak ya,” kata bapak-bapak penjual koran sambil mengecek seluruh saku yang ada di rompi dan celananya.
“Dikembalikan seadanya aja, Pak,” kata Fanshuri sok tenang. Padahal dalam hati kecilnya Fanshuri lumayan panik karena detik lampu merah sudah bergerak ke angka belasan.
Merasa tidak menemukan uang yang cukup untuk mengembalikan uang dari Fanshuri, bapak-bapak penjual koran ini lalu tersenyum dan bilang…
“Hmmm… nggak usah aja, Mas,” kata bapak-bapak ini.
Fanshuri melongo bingung.
“Ma-maksudnya, Pak?” tanya Fanshuri.
“Udah, Mas. Korannya dibawa sampean saja,” kata bapak-bapak ini.
“Lho, lho, lho?” Fanshuri bingung.
Melihat adegan seperti itu, Gus Mut lalu menyelipkan uang 50 ribu di koran yang sudah ada di dalam mobil lalu berniat mengembalikan ke bapak-bapak itu.
“Wah, ampun. Jangan, Mas. Emoh. Saya ndak mau kalau kayak gini caranya,” kata bapak-bapak ini setelah tahu ada uang 50 ribu yang nyelip di koran yang mau dikembalikan ke dirinya.
“Nggak apa-apa, Pak, terima saja,” kata Fanshuri.
Raut muka bapak-bapak ini segera berubah, yang tadinya begitu ceria mendadak jadi terlihat begitu kecewa.
“Ya sudah gini aja, Mas. Pakai uang kecil yang ada di sampean saja bayarnya, jangan ini. Ini kegedean,” kata bapak-bapak ini.
Fanshuri pun segera mencari-cari uang receh di dasbor. Detik lampu merah sudah bergerak ke angka 5, sebentar lagi lampu hijau menyala. Di selip-selipan dasbor, Fanshuri akhirnya hanya menemukan pecahan 2 ribu.
“Adanya ini, Pak,” kata Fanshuri.
Melihat uang 2 ribu yang dibawa Fanshuri, bapak-bapak ini tersenyum.
“Nggak apa-apa, Mas. Itu aja,” kata bapak-bapak ini sambil menerima 2 ribu dari Fanshuri, lalu menyerahkan uang 50 ribu dan koran yang dipilih tadi.
Belum sempat Fanshuri bilang apa-apa, bapak-bapak ini sudah pergi melipir ke trotoar. Lampu hijau menyala, lajur kendaraan Fanshuri segera melaju.
Di dalam mobil, Fanshuri masih merasa tidak enak hati.
“Waduh, gimana ini ya, Gus? Saya jadi nggak enak ini sama bapak-bapak tadi. Niat hati mau sedekah, malah saya yang terima sedekah,” kata Fanshuri.
Gus Mut cuma cengar-cengir melihat kebingungan Fanshuri.
“Kamu itu gimana. Bapak-bapak tadi keren banget lho waktu menolak sedekah dari kita. Sampai bergetar hatiku, Fan, waktu beliau tadi menolak,” kata Gus Mut.
Fanshuri malah gelisah, seperti tak peduli dengan pujian Gus Mut untuk bapak-bapak tadi.
“Apa saya nanti habis nganterin Gus Mut, balik ke perempatan tadi aja ya?” tanya Fanshuri.
“Lah, buat apa?” tanya balik Gus Mut.
“Ya buat kasih sedekah lagi dong. Kasihan bapaknya, Gus. Hari ini bukannya untung dapat sedekah, malah jadi rugi,” kata Fanshuri.
Gus Mut tertawa.
“Kok malah ketawa sih, Gus?” tanya Fanshuri.
“Celotehan barusanmu itu justru menunjukkan bahwa kamu yang nggak ingin merasa rugi, Fan,” kata Gus Mut.
“Hah?” Fanshuri bingung.
Gus Mut masih terkekeh.
“Soalnya begini, Fan. Kamu itu lho, bisa-bisanya menyesalkan perbuatan baik orang lain. Dalam kadar tertentu itu nggak baik lho, Fan. Udah deh, coba lah untuk sekali saja dalam hidupmu untuk menerima keadaan dirimu jadi jalur kebaikan orang lain,” kata Gus Mut.
“Kalau soal itu sih saya nggak masalah, Gus,” kata Fanshuri.
“Terus masalahnya apa?” tanya Gus Mut.
“Saya cuma kepikiran, Gus. Kok saya ini kayak nggak tahu malu banget terima sedekah dari orang yang lebih pantas menerima sedekah dari saya,” kata Fanshuri.
“Nah, itu. Itu menunjukkan kita kadang masih tinggi hati, merasa kita lebih baik dari bapak-bapak tadi dalam urusan ibadah, dalam urusan sedekah. Dan perasaan kayak gitu nggak baik juga, Fan,” kata Gus Mut.
Fanshuri masih garuk-garuk kepala.
“Padahal, kalau kamu mau ikhlas, situasinya justru lebih enak dan sederhana, Fan. Kadang-kadang perkara sedekah itu juga terletak pada keikhlasan yang menerima, bukan cuma perkara yang ngasih. Setidaknya hari ini kamu bisa belajar banyak dari bapak-bapak tadi,” kata Gus Mut.
“Belajar gimana, Gus? Bapak-bapak tadi itu malah bikin saya jadi nggak enak hati begini,” keluh Fanshuri.
“Ya belajar, bahwa sedekah itu adalah hak bagi siapa saja. Bukan hak dalam arti menerima sedekah, tapi hak melakukan ibadah. Situasi barusan itu kan menunjukkan bahwa sedekah itu adalah soal kemuliaan yang memberi, dan kalau perasaan nggak enakmu kamu pertahankan ya kamu berarti tak ikhlas melihat orang lain lebih mulia darimu,” kata Gus Mut.
“Wah, kok larinya ke sana, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya sudah, ini juga jadi pelajaran buatku, Fan. Ketimbang nggak enak hati, aku malah bersyukur. Bersyukur kalau hari ini aku mendapat pelajaran, bahwa ternyata menerima sedekah itu tak semudah yang aku pikir selama ini,” kata Gus Mut.
Fanshuri tersenyum kali ini.
*) Diolah dari kejadian nyata.
BACA JUGA Menjadi Pengamen di Hadapan Tuhan atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.