MOJOK.CO – Gus Mut tak mengira, bisa bertemu dengan orang kaya yang merasa ketakutan dengan hartanya sendiri. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Fanshuri terpogoh-pogoh mendatangi kediaman Gus Mut.
“Ada apa, Fan?” tanya Gus Mut sambil masih membaca koran di teras rumah.
“Gus, Gus Mut, Pak Rahman meninggal dunia. Pak Rahman yang itu. Tadi malam, kena serangan jantung,” kata Fanshuri.
Koran yang dipegang Gus Mut jatuh begitu saja. “Innalilahi,” kata Gus Mut lirih.
Fanshuri tak sengaja melihat mata Gus Mut berkaca-kaca. Fanshuri agak bingung, sebab sepengatuhannya, Gus Mut tak begitu dekat dengan Pak Rahman.
“Ke, kenapa, Gus?” tanya Fanshuri.
“Baru dua hari kemarin Pak Rahman ke sini. Kami sempat ngobrol panjang sekali,” kata Gus Mut dan tenggelam dalam sorot mata nanarnya.
—000—
“Saya Rahman, Gus. Masih tetangga dusun sama Gus Mut. Yah, masih satu kecamatan lah, Gus,” kata Pak Rahman memperkenalkan diri di hadapan Gus Mut.
“Iya, Pak Rahman. Saya sudah tahu sampeyan. Siapa sih orang di daerah sini yang nggak kenal sampeyan,” kata Gus Mut, sambil mempersilakan duduk.
“Ah, Gus Mut ini bisa saja. Saya ini bukan siapa-siapa, Gus,” kata Pak Rahman.
“Pak Rahman ini memang selalu merendah. Sampeyan itu orang paling kaya di daerah sini lho. Nggak ada yang nggak tahu siapa Pak Rahman. Jangan begitu lah, Pak Rahman. Justru saya yang jadi sungkan nanti. Oh, iya, ada urusan apa ini?” kata Gus Mut.
“Bukan urusan apa-apa sih, Gus. Saya ini cuma mau cerita aja sih sebenarnya,” kata Pak Rahman.
Gus Mut agak terkejut mendengarnya.
“Masa ada orang sekaya sampeyan, curhat ke tukang ngajar ngaji kere kayak saya sih, Pak,” kata Gus Mut sambil tertawa.
“Ah, Gus Mut ini. Tapi ini serius, Gus. Saya punya masalah yang bikin saya sampai tidak bisa tidur beberapa minggu ini,” kata Pak Rahman.
Gus Mut kembali berpikir. Berhenti sejenak untuk memikirkan pertanyaan berikutnya yang tepat.
“Memang, masalah seperti apa sih yang bisa bikin orang kaya seperti sampeyan sampai nggak bisa tidur?” tanya Gus Mut.
“Itulah, Gus. Masalah saya ini—maaf—ya justru karena status saya yang orang kaya ini,” kata Pak Rahman.
Gus Mut ingin tertawa ketika mendengarnya, tapi keburu bisa ditahan. Gus Mut masih belum paham, Pak Rahman ini bercanda atau serius sebenarnya.
“Ma, maksudnya gimana sih Pak Rahman?” tanya Gus Mut hati-hati.
“Gini, Gus. Tiga tahun yang lalu, saya pernah datang ke sebuah pengajian. Pengajian yang akhirnya mengubah cara pikir saya selama ini sebagai seorang pedagang. Dalam pengajian itu disebutkan, menjadi orang kaya itu tanggung jawabnya berat. Bahkan nanti ketika dihisab di akhirat nanti, ketika orang lain bisa lebih cepat masuk surga, orang-orang kaya perlu waktu karena semua hartanya di dunia harus dihisab dulu.”
“Masih mending kalau semua harta itu digunakan untuk kebaikan, lha kalau saking banyaknya kan kadang manusia itu juga luput. Kalau ternyata hartanya dimanfaatkan orang lain dengan tidak baik, bukankah manusia itu juga ikut menanggung juga. Bukannya masuk surga, bisa jadi orang kaya itu malah tergelincir masuk neraka. Hal itulah yang kemudian bikin saya berubah pikiran,” kata Pak Rahman.
“Berubah pikiran? Berubah pikiran gimana ini maksudnya?” tanya Gus Mut.
“Ya saya nggak ingin jadi orang kaya lagi. Saya takut, Gus. Apalagi saya ini sudah tua. Umur makin lama makin dikit. Apalagi yang saya kejar di dunia ini? Nggak ada, Gus. Hal yang tidak saya duga, tiba-tiba saya justru ketakutan sama harta saya sendiri,” kata Pak Rahman.
Gus Mut benar-benar terkejut sekarang. Tak diduga, orang yang dipikir Gus Mut tak pernah punya masalah dalam hidupnya seperti Pak Rahman, justru punya masalah fundamental yang tak biasa. Ketika orang merasa sedih karena terlalu miskin, Pak Rahman justru sedih karena dirinya terlalu kaya.
“Lalu apa yang sampeyan lakukan, Pak?”
“Saya pernah coba membangkrutkan diri, Gus. Berkali-kali, tapi selalu gagal,” kata Pak Rahman.
“Maksudnya ‘membangkrutkan diri’ itu gimana, Pak?” tanya Gus Mut lagi. Masih belum paham, ini bercanda atau serius.
“Ya membeli sesuatu yang tak berguna. Agar saya boros. Agar uang saya habis lalu saya jatuh miskin. Tapi entah kenapa selalu gagal, Gus. Ternyata menjadi miskin itu sulit sekali, Gus,” kata Pak Rahman.
Lagi-lagi Gus Mut hampir tak percaya dengan apa yang terdengar di telinganya. Meski di sisi lain Gus Mut paham, Pak Rahman tidak sedang bercanda, tapi memang 100 persen serius.
“Gagal? Bagaimana mungkin orang kepingin miskin bisa gagal? Apa yang sampeyan alami sampai bisa berkesimpulan sulit sekali biar bisa jadi orang miskin,” kata Gus Mut.
“Jadi begini, Gus. Pernah dulu, dalam setahun lebih, saya membeli barang-barang busuk di setiap pasar di kota ini. Semua pasar saya datangin. Semua barang busuk saya beli. Dari buah busuk, bawang yang sudah busuk, apapun. Apapun yang saya pikir tidak mungkin laku saya beli. Saya beli semuanya. Bahkan pedagang-pedagang di pasar sampai hafal dengan saya, dan sering menyetorkan dagangan-dagangan busuknya. Beberapa bulan saya melakukan itu. Dan benar, saya pernah benar-benar hampir bangkrut gara-gara itu,” kata Pak Rahman.
“Lalu?” tanya Gus Mut serius.
“Lalu setelah berbulan-bulan, tiba-tiba ada pengusaha besar yang sedang punya eksperimen soal buah dan sayur busuk dari pasar tradisional. Entah untuk campuran obat tradisional katanya, saya kurang mengerti. Yang jelas barang-barang busuk yang saya simpan di gudang itu, yang niatnya agar dagangan saya nggak laris dan bangkrut itu malah dibeli semua sama pengusaha ini. Katanya cuma saya yang bisa memenuhi pasokan kebutuhannya. Barang busuk itu dibeli semua,” kata Pak Rahman.
Gus Mut kaget tapi juga menyempatkan berpikir sejenak. Hanya ada satu pertanyaan yang muncul di kepala, “Ke, kenapa tidak sampeyan tolak saja saat itu?”
“Saya sudah tolak, Gus. Buat apa membeli barang-barang busuk ini? Kata saya begitu. Tapi pengusaha itu memaksa. Bahkan sampai memohon-mohon. Lewat istri saya, lewat anak saya, lewat karyawan-karyawan saya. Saya malah terasa diteror begitu. Akhirnya saya lepaskan itu. Saya sudah bilang tak usah dibayar. Tapi entah kenapa pengusaha ini malah membayar lebih dari yang seharusnya. Saya coba balikin, tapi selalu gagal. Bahkan menurutnya perbuatan saya ini menyinggung dirinya. Akhirnya saya terima itu pembayarannya. Tiba-tiba saya malah jadi lebih kaya dari sebelumnya,” kata Pak Rahman.
Gus Mut tercekat.
“Eee, lalu kenapa tidak sampeyan berikan saja uang itu untuk orang lain kalau benar-benar ingin miskin?” tanya Gus Mut.
“Sudah, Gus. Tapi—sekali lagi—selalu gagal. Saya sudah berikan semua harta saya ke panti asuhan, ke lembaga sosial, bahkan kalau Gus Mut ingat, saya selalu sediakan makan gratis untuk gelandangan, tapi… Ya Allah ya Rabbi, harta itu selalu kembali lagi ke saya dengan berbagai cara. Bahkan berlipat-lipat. Setiap saya membuang harta itu, harta itu malah kembali lagi ke saya dengan jumlah yang bikin saya semakin takut akan pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Saya takut, Gus. Takut. Ini kenapa? Kok jadi sulit sekali membuang harta ini?” kata Pak Rahman.
Gus Mut terdiam. Pikirannya melayang bingung. Sejujurnya, baru kali ini Gus Mut mendengar ada orang yang sampai sebegitunya ingin menjadi miskin, tapi justru selalu gagal.
“Pak Rahman yang baik. Yang disayangi Allah,” kata Gus Mut tersenyum penuh bangga.
“Jujur. Jujur ini, Pak Rahman, saya iri dengan sampeyan, Pak. Iri sekali saya. Saya tak bisa punya sikap seperti itu. Sampeyan luar biasa, Pak,” lanjut Gus Mut.
“Apa Pak Rahman tahu, di balik kekhawatiran Pak Rahman terhadap pertanggungjawaban harta sampeyan di akhirat nanti, jauh lebih banyak manfaat yang sudah sampeyan berikan?” tanya Gus Mut.
Pak Rahman bergeming. Dia memperhatikan betul-betul kalimat Gus Mut. “Tapi, bukankah mudarat dan manfaatnya tak sebanding, Gus? Gimana kalau gara-gara harta ini saya malah tergelincir?”
“Pak Rahman, Pak Rahman, dengarkan. Dengarkan saya,” kata Gus Mut menatap tajam mata Pak Rahman.
“Coba hitung. Ada berapa keluarga yang sampeyan hidupi dari bisnis sampeyan? Ada berapa kepala keluarga yang nafkahnya bisa sampeyan penuhi? Ada berapa anak yang bisa hidup dari orang tua yang kerja di tempat sampeyan, Pak? Ada berapa pedagang di pasar yang terbantu karena sampeyan? Ada berapa gelandangan terbantu? Demi Allah, Pak Rahman, saya bersaksi. Saya bersaksi kalau sampeyan itu orang baik. Dan sampeyan orang baik yang tak ada kaitannya dengan status sampeyan sebagai orang kaya,” kata Gus Mut.
Tiba-tiba, Pak Rahman tertunduk. Matanya berkaca-kaca, tapi malu. Pak Rahman merasa malu menangis di hadapan Gus Mut. Dia sembunyikan air mata itu. Menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangannya.
“Pak Rahman, Allah lebih suka mukmin yang kuat. Dan saya tahu, Pak Rahman adalah mukmin yang kuat,” kata Gus Mut.
Pak Rahman mencoba berkata-kata sepatah dua patah kata sembari mengumpulkan kekuatan, “Kuat? Apa Gus Mut tak dengar cerita saya? Harta itu bukan kekuatan saya, itu justru jadi kelemahan saya.”
Gus Mut tersenyum lebar sekali.
“Pak Rahman. Bukan, bukan harta itulah kekuatan sampeyan maksud saya. Kekuatan sampeyan adalah sabar. Sabar ketika menjadi orang kaya. Sabar. Karena sabar itu kekuatan. Dan Allah sudah menjanjikan, bahwa dirinya akan selalu bersama orang-orang yang sabar,” kata Gus Mut yang tak tahu sama sekali kalau dua hari setelah mulutnya mengucapkan itu, Pak Rahman akhirnya benar-benar bersama Allah.
*) Diolah dari kisah Sahabat Abdurrahman bin Auf dan kejadian nyata.
BACA JUGA Kisah Sedekah Orang Miskin dan Amplop Bisyaroh yang Tertukar atau artikel KHOTBAH lainnya.