MOJOK.CO – Di luar dugaan, Kang Mulyana, si orang kaya itu, ternyata merasa sedikit ‘tersiksa’ dengan hartanya sendiri. Kangen jadi orang miskin lagi.
Kang Mulyana merupakan salah satu murid Gus Mut yang sudah lulus dari pesantren dan kini sukses besar. Alumni pondok paling sukses lah di antara semua murid Gus Mut yang pernah ada.
Kerajaan bisnis Kang Mulyana sudah ada di mana-mana. Dari usaha kos-kosan, rumah kontrakan, kafe, sampai penerbitan buku. Bahkan tahun depan muncul kabar, bisnis kulinernya akan merambah ke kancah mancanegara. Saking kayanya, semua orang di kecamatan tempat Gus Mut tinggal kenal dengan Kang Mulyana. Sebab, bukan hanya kaya, Kang Mulyana juga gemar bersedekah. Bahkan udah kayak tahap ketagihan sedekah.
Sampai kemudian muncul kejadian aneh di mana Kang Mulyana berada pada fase bingung memberi sedekah. Alasannya ajaib. Karena saking banyaknya orang yang dia beri sedekah, orang-orang malah jadi mulai merasa sungkan menerima sedekah dari Kang Mulyana. Lucunya, hal ini bukannya menggembirakan bagi Kang Mulyana, tapi malah bikin pusing.
Sebenarnya Kang Mulyana bisa saja memberi sedekah ini ke pesantren Gus Mut, tapi Kang Mulyana tahu betul karakter Gus Mut. Bantuan dari bupati saja ditolak, apalagi sedekah nggak seberapa begini. Beruntung, kegelisahan itu justru terjawab ketika Kang Mulyana nekat curhat ke Gus Mut. Dan jawaban Gus Mut…
“Kalau kamu bingung sedekah ke mana lagi, ya sudah disedekahkan untuk santri-santri di sini saja, Kang. Buat hidup mereka di sini. Insya Allah jadi jariyah. Tapi ingat, itu sisa dari sedekah-sedekahmu yang lain lho ya,” kata Gus Mut sambil memberi syarat.
Sejak saat itu Kang Mulyana tiap tiga bulan sekali rutin memberi sedekah ke pesantren Gus Mut. Hanya saja memang kadang jumlahnya nggak kira-kira. Melebihi ekspetasi Gus Mut. Cuman Gus Mut seperti menelan ludahnya sendiri kalau tiba-tiba jadi menolak sedekah Kang Mulyana yang kadang kebanyakan ini.
Sampai suatu ketika, Kang Mulyana sowan ke Gus Mut untuk urusan di luar sedekah.
“Gus, tiga atau empat hari yang lalu saya mimpi,” kata Kang Mulyana setelah basa-basi sejenak.
“Iya?” kata Gus Mut menyodorkan teh dan membukakan toples jajanan.
“Mimpi ini kayak ilham, Gus. Karena begitu membekas dan kelihatan nyata banget. Kayaknya ini mimpi penting sekali. Gus Mut adalah orang pertama yang saya kasih tahu,” kata Kang Mulyana.
“Mimpi apa memangnya?” Gus Mut merasa penasaran.
“Jadi di mimpi itu, saya melihat ada seekor burung yang sayap dan kakinya patah. Burung itu sudah tak bisa terbang. Ealah, jangankan terbang, berdiri saja sudah tidak bisa,” kata Kang Mulyana.
“Terus?”
“Anehnya, dalam mimpi itu si burung bisa tetap hidup beberapa waktu. Bisa tetap makan. Bisa tetap sehat meski sayap dan kakinya patah,” kata Kang Mulyana.
Gus Mut terdiam, mendengar dengan penuh rasa penasaran.
“Ternyata, Gus, burung itu selalu diantarin makanan oleh burung-burung lainnya. Bahkan tidak hanya diantarkan, tapi sampai disuguhkan ke dekat paruh si burung. Akhirnya burung itu pun bisa tetap hidup tapi burung yang mengantarkannya semakin bertambah dari waktu ke waktu,” kata Kang Mulyana.
Gus Mut tertegun. Masih belum mengerti apa istimewanya mimpi yang disebut-sebut “ilham” oleh Kang Mulyana ini.
“Dari sana saya jadi punya kesimpulan, Gus,” kata Kang Mulyana.
Gus Mut menyimak.
“Bahwa ternyata Gusti Allah itu sudah mengatur rezeki hamba-Nya sedemikian rupa. Bahkan seekor burung yang kelihatan tak berdaya, masih tetap dipikirin rezekinya oleh Gusti Allah,” kata Kang Mulyana.
“Iya, betul itu, Kang. Bahkan kamu mengeluh atau mempertanyakan besok mau makan apa saja… itu sudah termasuk menghina secara alus ke Gusti Allah,” kata Gus Mut.
“Nah, maka dari itu, Gus. Mimpi itu seolah menjawab kegelisahan saya selama ini,” kata Kang Mulyana.
“Kegelisahan? Kegelisahan apa?” tanya Gus Mut.
Kang Mulyana membenarkan posisi duduknya, sedikit mencondongkan tubuhnya ke Gus Mut, seperti mempersiapkan suara yang tidak terlalu keras agar tidak dicuri dengar—bahkan oleh semut yang sedang mengincar jajanan yang disajikan Gus Mut.
“Sudah beberapa tahun ini saya merasa rezeki yang Gusti Allah kasih ke saya ini sudah berlebihan, Gus. Saya merasa takut malah, takut kalau harta yang saya peroleh ini suatu saat malah mencelakakan saya,” bisik Kang Mulyana.
Gus Mut agak terkejut dengan ucapan Kang Mulyana.
“Jujur, Gus. Saya sudah mempertimbangkan masak-masak hal ini selama beberapa bulan terakhir. Bahwa barangkali ada baiknya saya melepas usaha-usaha saya yang di mana-mana itu. Yah, bisa dibilang melepas kekayaan saya lah, dan balik jadi orang biasa-biasa saja. Orang sederhana kayak lumrahnya saja. Nggak yang berlebihan begini. Yang penting cukup, sudah itu saja. Saya itu nggak muluk-muluk kok, Gus. Saya selama ini dagang juga nggak nyangka bakal sesukses ini. Kaget, Gus, saya sebenarnya ini. Serius. Makanya itu, saya pikir mimpi itu adalah jawabannya, Gus,” kata Kang Mulyana.
Gus Mut seperti tercekat mendengar Kang Mulyana. Perlu waktu bagi Gus Mut mencerna omongan Kang Mulyana barusan.
“Memang hubungan kegelisahan ini sama mimpimu apa, Kang?” tanya Gus Mut.
“Ya jelas banget to, Gus. Mimpi itu kan ilham. Bahwa makhluk yang terlihat nggak bisa ngapa-ngapain kayak burung yang sayapnya patah di mimpi saya itu, udah kayak nggak ada harapan lagi itu, ternyata toh rezekinya tetap datang. Tetap menghampiri. Karena itu saya yakin, Gus, sebagaimana Gusti Allah mengatur rezeki saya ketika saya kaya raya begini, saya yakin Gusti Allah juga bakal mengatur rezeki saya ketika—misalnya—saya jadi miskin dan tak punya apa-apa lagi nanti,” kata Kang Mulyana.
Gus Mut tersenyum. Tapi kemudian senyum itu melebar, semakin lama semakin melebar. Sampai kemudian sudut bibir yang melebar itu berubah jadi suara tawa yang meledak. Begitu keras, sampai istri Gus Mut di dalam rumah mendengar tawa Gus Mut.
Kang Mulyana terheran-heran dengan tawa Gus Mut. Bingung.
“Lah kok malah ketawa sih, Gus?” kata Kang Mulyana.
“Maaf, Kang. Maaf,” kata Gus Mut masih berusaha menahan tawa.
“Serius, Gus, memang apanya yang salah?” tanya Kang Mulyana.
“Kamu itu kok aneh-aneh aja sukanya to, Kang, Kang,” kata Gus Mut lagi.
“Aneh gimana sih, Gus?” tanya Kang Mulyana.
“Ya kok bisa-bisanya kamu fokus sama burung yang sayapnya patah itu lho,” kata Gus Mut.
“Lah memang harusnya ke mana?” tanya Kang Mulyana.
“Ya ke burung-burung yang nganterin makanannya dong ya,” kata Gus Mut yang seketika itu juga bikin Kang Mulyana kaget.
Kang Mulyana masih tertegun, pikirannya sama sekali tak sampai ke sana.
“Bagaimana jadi perantara Gusti Allah untuk menolong yang lain itu justru lebih baik, Kang,” kata Gus Mut.
Kang Mulyana makin terkejut mendengarnya.
“Kalau yang mimpi adalah orang miskin, baru deh ilham itu tafsirnya kayak yang sampean sampaikan. Kalau yang mimpi orang setajir sampean, ya sampean fokusnya ke burung-burung yang ngasih. Dan itu juga jadi memunculkan tafsir tambahan juga dari saya, bahwa gimana ada banyak burung nganterin makanan,” kata Gus Mut.
“Hah? Apa emang, Gus?” tanya Kang Mulyana.
“Bahwa orang kaya yang sedekah banyak itu nggak cuma sampean aja, Kang. Jadi nggak usah ‘nggak enakan’ gitu sama Gusti Allah. Kayak Gusti Allah itu cuma mikirin rezekinya sampean aja, sampai merasa sungkan terus jadi merasa perlu untuk miskin lagi. Toh, jalur celaka itu banyak jalurnya. Bisa dari kekayaan, bisa juga dari kemiskinan. Sama halnya dengan jalur kebaikan, bisa lewat ketajiran kayak sampean, bisa juga dari jalur kemiskinan,” kata Gus Mut.
“Lagipula…” tambah Gus Mut.
“Nggak ada jaminan kalau usaha sampean itu dihibahkan ke orang lain, orang itu bakal sebaik sampean merawat karyawan sampean selama ini. Belum tentu juga orang itu sebesar hatinya kayak sampean ini. Dan ketimbang pilihan-pilihan yang lebih tidak pasti kayak gitu, kalau saya sih milih yang sudah terbukti aja.”
“Terbukti gimana?” tanya Kang Mulyana.
“Ya yang terbukti, bahwa sampean memang kuat dapat ‘cobaan’ dari Gusti Allah melalui kekayaan ini.”
Kang Mulyana terdiam. Lalu malah cengengesan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
*) Diolah dari kisah nyata dan cerita Ibrahim bin Adham yang disampaikan Gus Baha’.
BACA JUGA Orang yang Ketakutan dengan Hartanya Sendiri dan kisah Gus Mut lainnya.