MOJOK.CO – Semua ulama sepakat hukum riba haram. Tapi ulama tidak satu suara soal hukum bunga bank. Meski kelihatan sama, keduanya sebenarnya punya poin yang berbeda.
“Gus, riba itu sudah pasti haram kan?” tanya Mas Is usai salat asar di pelataran masjid.
“Oh iya. Pasti itu. Nggak ada keraguan lagi,” kata Gus Mut.
“Tapi kok masih banyak orang Islam di Indonesia yang nyimpen uang di bank?” tanya Mas Is lagi.
Gus Mut agak bingung dengan pertanyaan Mas Is ini.
“Hubungannya antara nyimpen uang di bank dengan hukum riba yang kamu tanyakan tadi apa memangnya, Is?” tanya Gus Mut.
Mas Is membenarkan sejenak duduknya.
“Ya kan kalau riba itu haram, berarti orang nyimpen duit di bank juga kena hukum riba dong, Gus,” kata Mas Is.
“Dari mana kamu bisa tiba-tiba berkesimpulan kayak gitu, Is?” tanya Gus Mut.
“Lha kan tadi dibilang riba pasti haram, bank itu kan gudangnya riba,” kata Mas Is.
Tiba-tiba Gus Mut terkekeh mendengarnya.
“Kok ketawa sih, Gus. Saya ini lagi bimbang, Gus.”
“Bimbang kenapa memangnya?” tanya Gus Mut.
“Soalnya ada teman saya yang lagi getol-getolnya kampanye anti-riba. Salah satu caranya adalah menarik semua uang tabungan dari bank dan nggak lagi mau bayar utang di bank,” kata Mas Is.
Gus Mut agak terkejut mendengarnya.
“Sebentar, sebentar, Mas Is. Kalau tidak mau nyimpan uang di bank itu aku ngerti, tapi kalau nggak mau lagi bayar utang di bank itu gimana maksudnya?”
“Ya dia nggak mau lagi bayar cicilan utangnya,” kata Mas Is.
“Lho kok gitu?”
“Ya makanya itu aku bingung, Mas Is. Mana orang yang kampanye riba ke saya ini malah bisnisnya jadi berantakan lagi. Sampai gaji karyawannya aja sampai nggak bisa dibayar-bayar karena modalnya habis,” kata Mas Is.
“Wah, ya keliru kalau itu,” kata Gus Mut.
“Tapi kan niatnya baik, Gus. Ingin menghindari diri dari riba,” kata Mas Is.
“Betul itu, menghindari riba memang baik, tapi menghindari diri dari kewajiban bayar utang itu juga nggak lebih baik, Is,” kata Gus Mut.
Mas Is cuma bergeming.
“Coba gimana dia bisa bayar tanggungan gaji karyawannya itu? Itu kan kewajiban temenmu untuk membayar orang yang sudah kerja untuknya. Masa dia nggak mikir sampai sejauh itu?” tanya Gus Mut.
“Ya dipikirnya teman saya itu, semakin cepat menghindari riba semakin baik,” kata Mas Is.
“Sebentar, Mas Is. Kita harus sepakat dulu bahwa ada beda antara hukum riba dengan hukum bunga bank,” kata Gus Mut.
“Maksudnya, Gus? Bukannya sama aja?” tanya Mas Is lagi.
“Lho kok bisa sama saja? Ulama saja beda-beda lho, Is, kamu jangan asal main menghukumi sesuatu pakai hukum yang lain walaupun bentuknya mirip-mirip gitu dong,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus? Masa ada ulama yang sampai berkesimpulan riba itu bisa nggak haram sih, Gus?” tanya Mas Is.
“Bukan di persoalan hukum riba, Is. Tapi di poin apakah bank itu termasuk riba atau tidak,” jelas Gus Mut.
Mas Is masih agak bingung.
“Gini deh. Ibarat ada warung bakso yang kamu curigai mengandung minyak babi di kuah baksonya. Ya kan kamu tahu hukum babi itu haram. Udah nggak ada lagi perdebatan di sana. Semua ulama sepakat kalau babi itu haram. Apapun bentuknya. Sama kayak riba, semua ulama sepakat riba itu haram. Sampai di sini paham?” tanya Gus Mut.
“Paham, Gus.”
“Nah, tapi soal apakah benar bakso di warung bakso itu itu mengandung minyak babi lha ini persoalan lain. Jadi melacaknya bukan soal minyak babi bisa jadi halal atau haram, tapi soal… benar nggak di situ ada minyak babinya. Kayak bunga bank tadi. Ini bukan soal hukum riba ini bisa jadi tidak haram, tapi soal apakah menabung di bank itu termasuk dari bagian riba atau tidak. Nah di situ lah pendapat ulama berbeda-beda,” kata Gus Mut.
“Lho kok bisa berbeda pendapat Gus? Kan bank itu memakai sistem bunga? Itu kan sama saja menambah besaran uang. Ya riba dong, Gus itu?” tanya Mas Is.
“Perkara ini sebenarnya pernah dibahas di Munas ‘Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung tahun 1992 silam, Is. Dari sana sudah muncul kesimpulan soal hukum bunga bank. Pertama, ada yang sepakat kalau bunga bank itu otomatis riba. Kedua, tidak mempersamakan hukum riba dengan hukum bunga bank asalkan kedua belah pihak sama-sama ridho. Ketiga, hukum bunga bank ini syubhat. Belum jelas. Makanya lebih baik dihindari. Akhirnya pendapat ini jadi salah satu hal yang bikin lahir ide bank syariah,” kata Gus Mut.
“Ah, bank syariah juga sama aja, Gus. Cuma nama-namanya aja yang diganti. Perjanjian pakai kata akad. Terus bunga disebut bagi hasil. Secara substansi ya sama aja. Sama-sama bunga,” kata Mas Is.
“Ya nggak sama dong, Is. Kan ada akad sesuai syariat. Perjanjian yang disesuaikan dengan hukum agama,” kata Gus Mut.
“Ya sama aja sih, Gus,” kata Mas Is.
“Gini, misalnya kamu bersetubuh dengan seorang perempuan tanpa menikah sesuai syariat agama. Dibandingkan dengan kamu yang bersetubuh dengan seorang perempuan tapi pakai administrasi catatan sipil dan syarat nikah sesuai agama kamu penuhi. Beda nggak? Ini sama-sama bersetubuh lho. Orangnya sama, acaranya sama, aktivitasnya sama,” kata Gus Mut.
Mas Is garuk-garuk kepala.
“Kayak kamu menyembelih hewan, Is. Sama-sama disembelih nih. Yang satu menyebut asma Allah, yang satu nggak. Hewannya sama, orang yang sembelih sama, aktivitasnya sama. Hasilnya kan jadi beda. Yang satu halal karena disembelih pakai aturan di agama, yang satu haram karena tidak pakai. Dagingnya sama, berat hewannya sama, bahkan pisaunya sama.”
Mas Is cuma manggut-manggut saja. Entah mengerti atau tidak.
“Tapi kalau ada orang yang berpendapat kalau bunga bank itu termasuk bagian dari riba kan berarti nggak apa-apa dong, Gus? Bisa dibenarkan dong?” tanya Mas Is.
“Ya nggak apa-apa, itu bentuk kehati-hatian. Bagus juga. Tapi ya jangan sampai persoalan khilafiyah semacam itu, di soal bunga bank itu termasuk atau riba tidak bikin jadi bertengkar. Ya kalau kamu meyakini itu lebih baik ya bagus. Silakan aja,” kata Gus Mut mengakhiri percakapan sore itu.
BACA JUGA Jangankan Zina, Goblok Aja Udah Termasuk Maksiat Kok atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.