MOJOK.CO – Kecukupan hidup benar-benar nggak ada urusannya dengan nominal duit yang kita punya. Ini murni cuma soal mindset aja. Kayak orang ikut kurban.
“Saya belum ada duit Gus Mut,” kata Mas Is ketika bertemu di serambi masjid. Sebagai panitia kurban, Gus Mut sebenarnya tidak sedang menagih apa-apa. Cuma karena kebetulan bertemu usai salat saja Mas Is tiba-tiba merasa defensif.
“Ya tidak apa-apa kalau memang belum ada duit. Mau bagaimana lagi?” kata Gus Mut.
“Memangnya hukum kurban Idul Adha itu apa sih, Gus? Nggak wajib kan?” tanya Mas Is lagi.
“Ya untung sampeyan hidup di Indonesia, Mas Is,” kata Gus Mut.
“Lha emang kenapa, Gus?”
“Ya karena di Indonesia kita pakai Mazhab Syafi’i.”
“Gimana itu, Gus?”
“Kalau untuk Mazhab Syafi’i memang tak wajib, tapi sunah muakkadah. Sunah yang mendekati wajib. Sunah yang diutamakan,” kata Gus Mut.
“Tapi walau mendekati wajib begitu, nggak dilaksakan nggak bikin dosa kan, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya nggak sih. Namanya juga sunah,” kata Gus Mut.
“Memang ada mazhab lain yang sampai mewajibkan ya, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya ada, mereka yang pakai Mazhab Hanafi mewajibkannya,” kata Gus Mut.
“Wah kasihan betul mereka,” kata Mas Is.
Tiba-tiba Gus Mut terkekeh.
“Kamu ini aneh-aneh saja, Is,” kata Gus Mut.
“Aneh gimana? Lha memang iya tho, kalau mereka diwajibkan kan jadi kasihan kalau mereka nggak mampu kurban tapi terpaksa berkurban,” kata Mas Is.
Gus Mut tersenyum mendengarnya.
“Kamu ini ada-ada saja. Justru karena jadi kewajiban, ya mereka punya cara sendiri untuk menjalankannya. Ini ibarat kamu orang non-muslim yang merasa kasihan sama orang muslim karena diwajibkan puasa. Lalu dikomentari, wah, kasihan bener itu orang muslim, sebulan harus menahan lapar dan haus. Itu gimana ya kalau orang sedang sakit? Apa harus berpuasa juga? Kalau kamu yang ditanya begitu kamu jawab apa, Is?”
Mas Is berpikir sejenak.
“Ya nggak sih, Gus. Kalau memang sedang tidak mampu ya nggak apa-apa nggak puasa,” kata Mas Is.
“Nah, itu. Sama seperti Mazhab Hanafi yang mewajibkan berkorban. Kewajiban itu berlaku kalau mampu. Sama seperti haji dan zakat. Secara konsep hampir sama,” kata Gus Mut.
Mas Is lalu terdiam. Tiba-tiba berbisik, “Sebenarnya kemarin aku ada duit sih, Gus, tapi udah kupakai untuk tambahan uang saku anakku yang kuliah di luar kota.”
Gus Mut lagi-lagi tersenyum.
“Oh, ya nggak apa-apa, Is. Itu kan terserah kamu. Tapi sebentar, kok kamu kasih tambahan? Memang uang saku biasanya kurang?” tanya Gus Mut.
“Ya biar cukup aja. Katanya semester ini ada praktikum dan kebutuhan lain gitu, jadi ya kemarin harus kirim lagi 3 jutaan,” kata Mas Is.
Gus Mut tersenyum.
“Jangan bilang biar cukup. Soalnya cukup atau nggak itu bukan urusan nominal, Is,” kata Gus Mut.
“Maksudnya, Gus?”
“Ya cukup itu kan perkara rezeki dari Gusti Allah. Sampeyan mau kirim berjuta-juta kalau misal kepakai dan habis cuma sehari ya jadinya nggak cukup,” kata Gus Mut.
Mas Is cuma manggut-manggut aja. Entah paham atau tidak.
“Kecukupan kita nggak bisa serta merta dinilai dari nilai uang yang kita pegang, Is,” kata Gus Mut.
“Contohnya apa, Gus? Misalnya?”
“Ya misalnya kita merasa udah merasa cukup kasih nafkah ke istri sampai 10 juta per bulan. Kita lalu merasa cukup. Eh, kebetulan istri kita sakit misalnya. Duit yang kita pikir cukup itu jadi lenyap nggak berbekas buat pengobatan. Jadi cukup nggak itu duit 10 juta?”
“Ya nggak cukup, Gus,” kata Mas Is.
“Makanya itu kewajiban suami itu cari nafkah tapi tidak dipatok harus berapa. Soal nominal bisa dikit bisa banyak, tapi soal cukup atau nggak itu benar-benar Gusti Allah yang kasih, bukan kita,” kata Gus Mut.
Mas Is cuma manggut-manggut saja.
“Kita diberi kesehatan, pendidikan, pengetahuan untuk bisa kerja cari duit itu juga bentuk dari kecukupan. Lalu dari kecukupan itu kita ‘diminta’ untuk kurban selama setahun sekali. Lagi-lagi bagi orang yang merasa hidupnya sudah berkecukupan, ya ia akan ikut kurban. Hanya orang-orang yang merasa belum cukup aja yang merasa tidak ikut kurban. Dan kecukupan hidup benar-benar nggak ada urusannya dengan nominal duit yang kita punya. Ini murni cuma soal mindset aja,” kata Gus Mut.
Mas Is malah merasa tersindir. “Ini Gus Mut, tidak sedang menyindirku kan?” kata Mas Is.
“Lho, bukan, Is, bukan. Aku nggak menyindir siapa-siapa. Aku cuma kasih tahu. Aduh, kamu ini jangan dibawa perasaan gitu dong,” kata Gus Mut menepuk pundak Mas Is. Gus Mut jadi merasa bersalah.
“Soalnya kemarin aku pikir kalau aku ikut kurban, duit tabunganku bisa habis, Gus Mut. Makanya aku rada-rada khawatir dengar Gus Mut begini. Kalau misal aku nggak ikut kurban tahun ini tiba-tiba aku kena marah Gusti Allah karena dianggap menghina kecukupan yang dikasih gimana ya?” kata Mas Is agak cemas.
Gus Mut tersenyum.
“Menghina Gusti Allah itu nggak perlu serumit, Is,” kata Gus Mut.
“Lha kok, Gus?”
“Ya iya, menghina Gusti Allah itu gampang. Kamu bingung besok makan apa aja, itu sudah termasuk menghina namanya. Kayak kamu bukan hamba-Nya saja.”
Kali ini senyum gantian muncul dari wajah Mas Is.
*) Diolah dari ceramah Gus Baha’ dan pernyataan Sujiwo Tedjo