MOJOK.CO – “Anak kuliahan kayak kamu emang bisa pegang cangkul?” Hedeh, nasib anak kuliahan di desa. Diremehkan kalau urusan beginian.
Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi persiapan hajatan saudara di desa. Melihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang membuat lemper, sebagai anak baik saya segera bergabung menawarkan bantuan membungkusi lemper dengan daun pisang.
Tapi sebelum tangan-tangan lembut karena selalu kena busa Rinso ini menyentuh daun pisang, suara keras Budhe mengangetkan saya.
“Apa isa kowe, Ndhuk? Wis kana maem-maem wae,” katanya mengusir dengan gerakan tangan seperti menghalau ayam. Artinya kira-kira; “Apa bisa kamu? Sudah sana, makan-makan saja.”
Meskipun sering berucap “ditolak lebih baik daripada diabaikan”, ternyata saya belum kebal patah hati karena penolakan. Apalagi penolakan dikarenakan kemampuan yang disangsikan.
“Mboten napa-napa, kula saget kok, Dhe,” jawab saya tetap bersikukuh ingin membantu. Artinya; “Tidak apa-apa, saya bisa kok, Budhe.”
Sampai kemudian Budhe terkesima pada bungkusan lemper yang rapi hasil dari tangan saya: gulungan daun tidak pecah, batang lidi tidak patah, dan ukuran lemper sesuai takaran ideal.
“Wah tibake ya isa…”
“Wah, ternyata bisa ya…”
Duh, Dhe. Jangankan membungkus lemper, membungkus tubuh Jojo dengan daun pisang biar nggak diteriaki terus pun saya sanggup. Meskipun tawaran bantuan membungkus yang ini pasti akan lebih ditolak.
Bukan hanya satu dua kali saya mengalami penolakan seperti itu. Saat ingin membantu membuat ronce bunga acara kedukaan, saya ditolak dan diminta mencetak pengumuman lelayu saja.
Saat ingin membantu persiapan pengajian di dapur, saya diminta mencetak undangannya saja. Seolah sebagai anak kuliahan saya hanya bisa membantu kerja-kerja yang berhubungan dengan baca tulis. Seolah saya nggak bisa iris-iris atau angkat-angkat seperti kerabat lain yang dari desa.
Padahal kan saya bukan orang kota untuk tidak memahami tradisi di daerah begitu. Saya juga dikenal para kerabat sebagai (ehm) anak kuliahan yang pintar, jadi mestinya memahami cara membungkus lemper dengan daun pisang tidaklah sulit bagi saya sampai harus mencari tutorialnya di YouTube. Tapi ternyata justru karena saya anak kuliahan itu lah masalahnya.
Setelah mengamati beberapa penolakan dalam hajatan macam itu, saya menyadari kalau ini bukan hanya soal anak desa atau kota.
Di desa pun saat ini tidak semua anak dipersilakan membantu pekerjaan kasar: adik-adik yang dikenal anak kuliahan biasanya mendapat privilege dengan hanya duduk manis atau membantu iris tipis-tipis. Yang lebih unik adalah, mereka yang tadinya ikut membantu “kerja kasar” mendadak “naik kelas” dalam perihal rewang di dapur ketika sudah sekolah di kota.
Pendidikan yang menjadi “alat katrol” kelas sosial benar-benar berfungsi bahkan di lingkup rewang hajatan seperti itu. Akhirnya anak-anak kota yang dianggap terpelajar macam saya nggak pernah benar-benar membantu. Lebih seperti mencari pengalaman di festival desa.
Tidak lupa selfie lalu diunggah ke medsos: “Bikin lemper dulu, Gaess.”
Hebohnya anak-anak kuliahan dari kota macam kami yang bahagia bisa membungkus lemper dengan daun pisang bahkan bisa melebihi noraknya turis mancanegara ketika live in di desa dan mengikuti workshop membungkus lemper.
“Wow, this eco-friendly methodology of meal packaging is beyond great!”
Tentu saja kesedihan penolakan bantuan di dapur ini bukan cuma persoalan sensi dikira nggak bisa memasak atau melakukan “keahlian perempuan” pada umumnya. Bahkan ketika mau membantu berkebun pun, saya pernah ditolak.
“Anak kuliahan mana bisa pegang cangkul?”
Memang sih sekolah atau kampus nggak mengajari kami soal pengolahan tanah, tapi ya sedih aja gitu ketika status anak kuliahan justru menjadi alasan ketidakmampuan saya pada skill hidup bermasyarakat seperti itu.
Saya sedih sebab menjadi anak kuliahan justru mengalienasi saya dari komunitas. Selain karena pendidikan semakin eksis sebagai kelas kasta baru, orang kuliahan yang terpelajar seolah jadi jauh sekali dengan masyarakat.
Mereka seperti tinggal di istana sendiri yang turun tahta cuma buat bagi-bagi ide dan konsep—atau sebut saja Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Tapi bagaimana ide itu bisa menjadi solusi jika dalam kesehariannya dia tidak menyatu dengan komunitas itu sendiri?
Jangankan bisa melahirkan solusi pemecah masalah, mengetahui masalahnya apa saja tidak bisa kalau gini caranya.
Lebih sedih lagi, ternyata pemberian privilege bagi anak kuliahan macam itu tidak hanya terjadi di struktur terkecil negara alias hajatan keluarga. Di beberapa organisasi atau komunitas yang saya ikuti pun, para anggota yang anak kuliahan biasanya ditugasi khusus “di meja” alias bertanggung jawab membuat konsep, program kerja, proposal kegiatan, dan tugas manajerial administratif lainnya.
Sedangkan anggota yang terjun langsung sebagai pelaksana teknis di lapangan biasanya “sisa” dari anggota yang dianggap nggak se-kompeten anak-anak kuliahan yang duduk manis di depan meja.
Sebagai salah satu konseptor abadi di beberapa komunitas, saya mengalami sendiri kisah sedih ini. Kami, anak-anak kuliahan yang “katanya” terpelajar ini, selalu menjadi langganan penyusun program atau proposal kegiatan, meskipun tidak pernah terlibat langsung turun ke masyarakat sasaran pemberdayaan.
Akhirnya apa yang kami pikir bantuan tidak benar-benar membantu komunitas tersebut. Yah, macam anak-anak KKN ber-IPK Cumlaude tapi cuma bisa bikin program gapura desa gitu lah. Versi lebih ekstrim adalah ketika dengan mentalitas dan iklim yang sama, anak-anak kuliahan seperti kami diberi amanah lebih tinggi dalam pemerintahan.
Itu baru alienasi secara sosial di masyarakat, belum perihal bagaimana keilmuan kami bahkan sudah mengalienasi sejak dari gedung kampus. Lihat saja, berapa banyak skripsi atau penelitian anak kuliahan yang bisa dijadikan rujukan solusi untuk masyarakat? Ada sih memang, tapi cukup sedikit saya kira. Oh, kecuali solusi kesediaan kertas untuk membungkusi cabe dan tempe di bakul sayur.
Pengalaman teralienasi sebagai anak kuliahan ini memaksa saya curiga kalau konsep Education for All selama ini diartikan hanya sebatas memberi akses pendidikan kepada orang miskin dan daerah tertinggal (3T) untuk bersekolah di kota. Tetapi perihal pendidikan macam apa yang cocok buat konteks lokalitas mereka masih luput dari fokus pembelajaran.
Kalau boleh lanjut suuzon sih tujuan program seperti ini ya biar para pemuda pintar dari desa bisa sekolah lalu kerja di kota. Bukannya menyadari potensi lokal untuk kembali ke desa dan mengembangkannya. Sebab bagaimana bisa sadar kalau sekolah justru membuatnya terasing?
Ketika anak kuliahan itu pulang ke desa, bahkan untuk membantu macul di sawah pun tidak lagi bisa. Bukan hanya karena hilangnya kemampuan macul terhempas modernisasi, tapi juga hilangnya sawah terjual habis untuk biaya pendidikan di kota, berganti dengan deretan pabrik sebagai bukti ramahnya desa terhadap penggusuran pembangunan.