MOJOK.CO – Polemik soal RUU PKS atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bergulir di masyarakat. Ada pro dan kontra.
Seorang ustazah menulis di linimasa facebook, mencoba menafsir pasal perbudakan seksual pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
“Nanti kalau suami minta istri bikinin kopi lalu istrinya nggak mau, si istri bisa laporin suaminya ke polisi.”
Begitu simpulannya penjelasannya. Dari simpulan itu juga kemudian bisa dianggap bahwa situasi keluarga akan banyak yang rusak karena akan ada banyak istri yang berani melawan suami sebab merasa memiliki otoritas penuh terhadap dirinya.
Itu gimana cara nyuruh kopinya, kok sampai si perempuan mau laporin suami ke polisi? Kalau suami minta tolong bikinin kopi sambil disayang-sayang, apalagi ditambah janji mau beliin gamis baru di marketplace, insya Allah perempuan cepet deh lari ke dapurnya.
Iya apa iya?
Saya tergelitik. Mestinya, ada lebih banyak berita suami memukul bahkan membunuh istri hanya karena istri tidak mau membuatkan kopi. Faktanya, ada lebih banyak suami memukul bahkan membunuh istri hanya karena istri telat menyajikan sarapan.
Ketika ada yang ingin melindungi perempuan dari emosi konyol dan purba semacam itu, mengapa muncul logika terbalik yang begitu mengada-ada dan justru muncul dari sekelompok perempuan?
Tahun lalu, kaki Ni Putu Kariani, perempuan asal Bali dipotong oleh suaminya sendiri, setelah sederet kekerasan yang dia terima dalam rumah tangga. Putu bukannya diam saja. Dia telah sering mengadu kepada keluarga bahwa Putu sering menerima kekerasan dari orang paling terdekatnya itu. Uniknya, pihak keluarga justru menyarankan agar Putu bertahan.
Sebab apa? Menurut Putu, alasan adat dan agama. Dalam adat dan agama, perempuan dianggap punya beban moral lebih untuk menjaga keluarga. Kalau keluarga ada apa-apa, masih jamak kita dengar anggapan di masyarakat: “pantas saja, ibunya begitu sih.”
Putu bertahan, hingga akhirnya kakinya terpotong.
Di kolom reply twitter saya, seseorang membagikan screenshot sebuah grup WA pengajian.
“Wah, jadi kalau istri menolak suami untuk berhubungan badan lalu suaminya marah, istri boleh laporin suami ke polisi? Padahal menurut Al-Quran kan istri boleh dipukul kalau menolak suami.”
Aduh, si Ibu. Pasti Ibu belum baca Fikih kesalingan (mubaadalah) dari Pak Kiai Faqihuddin Abdul Qadir nih. Itu cara pandang baru terhadap ayat-ayat yang berkonteks relasi perempuan dan laki-laki, bahwa pendekatan kepada suatu ayat haruslah diniatkan untuk tujuan maslahah bagi kedua pihak dan adil gender.
Kalau pakai metode ketersalingan alias kerja sama, nggak ada itu tafsir ayat suami boleh mukul-mukul istri, apalagi kalau istrinya lelah dan sakit. Saya paham, hadis yang terlampau sering disampaikan kepada perempuan adalah soal perempuan yang menolak berhubungan badan dengan suami, maka ia akan dikutuki malaikat dari malam sampai subuh. Memang terdengar serem banget, sampai perempuan sangat ketakutan.
Saya terkadang membayangkan, mungkin nggak sih ketika Nabi mendatangi istrinya lalu sang istri menolak, kemudian Nabi menyumpahi bahwa si istri akan dikutuki Malaikat hingga pagi hari?
Sedangkan selama ini, kita mengenal Nabi sebagai manusia sempurna yang sangat penyabar. Pada hadis lain diriwayatkan, Rasulullah adalah laki-laki yang mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumah masing-masing.
Rasulullah menambal sandalnya dan menjahit bajunya sendiri. Terhadap kaum yang melemparinya dengan tahi dan batu hingga berdarah-darah saja beliau tak hanya memaafkan bahkan mendoakan, rasa-rasanya agak ganjil jika terhadap istri justru semena-mena memberi kutukan.
Di sisi lain, ketika ada perempuan yang menolak RUU PKS disahkan, ternyata justru ada cukup banyak laki-laki keren yang mendukung RUU PKS disahkan.
Kenapa? Sebab ia adalah bagian dari laki-laki berpikiran terbuka. Bukan laki-laki penakut jika istrinya tak lagi bisa disuruh-suruh, sebab istri memang bukan orang suruhan. Ia tahu bahwa dalam keadilan relasi perempuan dan laki-laki, posisi mereka setara.
Mereka tahu cara bersepakat dan saling bekerja sama, bukan saling melecehkan, dan bukan dengan cara-cara kekerasan, apalagi sampai mengarah ke kekerasan seksual Kalau istri telah bekerja seharian dan masih memiliki beban reproduktif dan produktif lain, mereka sadar untuk berbagi peran.
Mereka siap untuk memasuki hubungan rumah tangga yang sebenar-benarnya maslahah, yakni adil dan tidak saling merendahkan martabat kemanusiaan satu sama lain.
Hari ini, karena berubahnya pola ruang hidup dari pola agraris ke industrialisasi, perempuan semakin banyak yang menopang ekonomi keluarga dengan bekerja.
Jika kalian pernah mendengar organisasi PEKKA, singkatan dari Perempuan Kepala Keluarga, ada banyak sekali perempuan yang bekerja sebab suaminya telah meninggal, suaminya dipecat dari pekerjaan, atau suaminya sakit keras sehingga tidak mampu lagi menafkahi keluarganya.
Di sebuah salon di Jakarta Pusat, saya pernah menjumpai seorang Ibu dari Rembang, Jawa Tengah. Ia bercerita kalau suaminya telah meninggal sejak anaknya balita setelah bertahun-tahun ia merawat sang suami ketika sakit keras.
Si Ibu itu mesti meninggalkan kampung halaman semata agar sang anak yang kini menginjak usia SMA tetap bersekolah. Para perempuan ini tetap menjalankan peran sebagai istri dan ibu yang baik setelah bekerja. Apalagi, pandangan sosial secara umum masih menganggap perempuan alias ibu adalah pintu masuk atau penjaga moral sebuah keluarga.
Sementara, saya pernah membaca pernyataan dari seorang teman muslimah, ia bilang, “Perempuan tidak butuh disetarakan. Ia hanya perlu dimuliakan.”
Saya ketawa. Seandainya ia ketemu perempuan-perempuan tangguh itu, ia pasti akan berpikir ulang. Perempuan-perempuan ini tidak terlalu melambung jika diberitahukan soal dimuliakan, sebab tanpa dimuliakan, mereka sudah membuktikan bahwa mereka memang mulia—bahkan tanpa perlu pengakuan.
Mereka yakin Allah ridho dan membersamai setiap usaha mereka. Mereka memang perlu disetarakan. Perempuan perlu mendapat kesetaraan di tempat kerja agar diberi gaji yang sama, diberi fasilitas dan hak cuti yang mempertimbangkan realitas keperempuanannya dan yang paling penting, terlindungi dari pelecehan dan kekerasan, di mana saja mereka berada.
Di sinilah mengapa kita perlu mendukung penghapusan kekerasan seksual dengan RUU PKS beserta para laki-laki keren yang ikut serta, sebab ternyata ada cukup banyak laki-laki yang siap untuk tidak melakukan kekerasan ketimbang sebaliknya.