Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

Afthonul Afif oleh Afthonul Afif
29 Juni 2020
A A
ketidakbahagiaan hal-hal-kecil-yang-membuat-kita-bahagia Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

ketidakbahagiaan hal-hal-kecil-yang-membuat-kita-bahagia Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Mengapa kita begitu berhasrat menyingkirkan ketidakbahagiaan? Bukankah cerita kegagalannya lebih sering kita dengar ketimbang sebaliknya? 

Ada ribuan buku tentang kebahagiaan dan sebagian besar mengatakan bahwa kebahagiaan itu baik bagi manusia. Ironisnya, semakin banyak yang ditulis tentang kebahagiaan, semakin sulit kita mengerti apa sesungguhnya yang ingin dirujuk oleh kata ini, selain bahwa kebahagiaan adalah apa saja yang kita sukai. Jika kebahagiaan tidak dianggap penting, rasa-rasanya tidak mungkin berbagai jenis terapi diiklankan setiap hari sebagai program yang diyakini dapat memberikan manfaat positif bagi jiwa manusia.

Apakah benar kebahagiaan memang selalu baik bagi manusia dan sesuatu yang selama berabad-abad paling diinginkan? Apakah ilmu psikoterapi sudah seharusnya membuat manusia selalu bahagia? Mari kita lihat sejumlah fakta berikut:

Pada 1971 seorang profesor kedokteran dan psikiater dari Universitas Rochester menerbitkan temuannya yang cukup menggemparkan bahwa kebahagiaan ternyata tidak selalu selaras dengan kesehatan. Ia mengumpulkan 170 kasus kematian mendadak selama 6 tahun terakhir dan menganalisis kondisi psikologis tiap individu sebelum mereka meninggal. Sebagian besar kasus kematian memang dipicu oleh ketakutan dan depresi hebat, namun enam persen di antaranya justru didahului oleh kebahagiaan mendadak, misalnya menerima kabar baik.

Melalui bukunya yang memikat, The Evolving Self, Mihaliy Csikszentmihalyi, mantan kepala Departemen Psikologi Universitas Chicago, menyebutkan sejumlah alasan tentang kecenderungan pikiran manusia untuk terjatuh pada ketidakbahagiaan. Ketika kita sedang melamun, misalnya, kemungkinan pikiran kita untuk tertambat pada topik yang tidak membahagiakan ternyata selalu lebih besar dibanding yang membahagiakan.

Ambil contoh, ketika Anda sedang menyiapkan sebuah wawancara kerja yang menentukan, pikiran Anda cenderung tergoda untuk memperhatikan kemungkinan sang pewawancara tidak menyukai cara berbusana, gaya rambut, cara komunikasi, atau riwayat pekerjaan Anda, dibanding membayangkan kemungkinan ia akan terbius oleh kemampuan persuasi Anda.

Ketidakbahagiaan itu mirip seorang pencuri yang lihai menyelinap ke dalam rumah kita, ia begitu mudah meresap ke dalam jiwa kita. Kedatangannya juga tidak disangka-sangka, bahkan ketika semuanya tampak berjalan sempurna.

Siapkan pikiran Anda dengan alasan berikutnya, sebab ini bersumber dari jiwa Anda yang paling dalam. Anda tidak perlu meminta pikiran sadar Anda untuk mengusirnya, sebab ia sudah bersemayam jutaan tahun sebelum nenek moyang kita mengenali biji-bijian sebagai sumber protein yang bisa dikembangbiakkan.

Perhatikan karya-karya seni dan kesusastraan bermutu (tanyakan saja pada Mahfud Ikhwan, penulis Dawuk itu). Filsuf Alan Watts menyebut bahwa pikiran kita memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membayangkan sisi kehidupan yang gelap dibanding yang terang. Para penikmat seni dunia nyaris tidak pernah berselisih bahwa lukisan-lukisan neraka dari era Renaisans dipandang lebih memikat dibanding lukisan surga yang dianggap lebih membosankan.

Meski saya belum menyaksikannya secara langsung, namun saya merasa lukisan “Gerbang Neraka” Rodin jauh lebih menyihir dibanding lukisan sentuhan Tuhan terhadap manusia di langit-langit kapel Sistina yang megah itu. Demikian pula untuk karya sastra. Tulisan tentang kegagalan manusia, tentang absurditas hidup, tentang tragedi, tentang distopia, justru jauh lebih mempesona dibanding deskripsi-deskripsi utopia (kalau tidak percaya, coba bandingkan Bumi Manusia dengan Laskar Pelangi).

Lagi, mengapa kita tidak mengeluh saat mengantre untuk menonton film perang atau pembunuhan sadis? Kita juga mudah dibuat tenggelam oleh tragedi tak berkesudahan dalam sebuah novel. Secara naluriah, kita memang tidak pernah puas dengan pesan-pesan negatif.

Kita memang perlu belajar menerima dan menghargai kontribusi pikiran tidak bahagia bagi keberlangsungan spesies kita. Saya akan ajak Anda merenungkan hipotesis Csikszentmihalyi yang terkemuka dalam gerakan Psikologi Positif berikut: adalah ketidakbahagian—bukan kebahagiaan—yang lebih membantu makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungan yang mengancam.

Ketika kita disergap oleh kemungkinan-kemungkinan buruk, saraf-saraf di otak kita tanpa kita perintah akan membangkitkan kewaspadaan yang memungkinkan kita sanggup merespons dengan cepat dan tepat kondisi berbahaya yang bisa datang kapan saja. Lewat sejarah yang panjang, spesies kita memang lebih terlatih untuk menghiraukan pikiran-pikiran negatif, persis seperti jarum kompas yang selalu berpaling ke arah utara.

Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk merayakan ketidakbahagiaan, saya hanya mengingatkan Anda untuk tidak mudah percaya pada anjuran para motivator bahwa masa-masa melankolis adalah parasit bagi kebahagiaan manusia dan karena itu harus segera dimusnahkan. Anda tidak perlu khawatir akan kehilangan ketangguhan yang dibutuhkan untuk bertahan di sebuah negeri yang kondisinya makin memprihatinkan ini. Lama-lama Anda juga akan terbiasa.

Iklan

Lewis Thomas, seorang dokter dan direktur riset Sloan Kettering, menyindir kebiasaan kita yang selalu mempatologiskan ketidakbahagiaan:

“… banyak pembicaraan buruk yang menyiratkan bahwa merasa tidak bahagia adalah tidak wajar… itu artinya jika Anda tidak bahagia Anda harus menghadap dokter… Ada profesi baru yang tugasnya memberi saran kepada orang lain tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup… Ini berlebihan. Yang membuat saya khawatir adalah banyak orang, lebih-lebih yang muda, dibikin percaya bahwa jika mereka tidak bahagia, mereka harus pergi ke seorang konselor untuk mendapatkan apa yang disebut bimbingan.”

Namun, cara yang lazim ditempuh oleh orang muda hari ini untuk mengatasi ketidakbahagiaan ternyata bukan datang kepada konselor untuk mendapatkan “pencerahan”, melainkan lebih memilih menenggelamkan diri dalam kegembiraan instan: nonton film, menenggak alkohol, mengonsumsi obat, berbelanja, berpesta pora, dan lain-lain.

Mengapa kita begitu berhasrat menyingkirkan ketidakbahagiaan? Bukankah cerita kegagalannya lebih sering kita dengar ketimbang sebaliknya? Apa tidak sebaiknya kita terima dan jalani saja secara terbuka? Jika bisa, mungkin perasaan tidak bahagia akan berkurang dengan sendirinya.

Masalahnya, sekarang kita lebih terampil membicarakan kebahagiaan seolah ia adalah hak yang dapat kita tuntut dari dunia di luar. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, negara yang paling bersemangat mengembangkan industri kebahagiaan dan menjualnya ke seluruh dunia, dalam Deklarasi Kemerdekaannya disebutkan bahwa yang lebih utama adalah usaha-usaha pencarian kebahagiaan, bukan kebahagian itu sendiri. Para pendiri Amerika menempatkan kebahagiaan sebagai sebuah gagasan ideal, menjadi nilai tertinggi justru karena tidak mudah untuk mewujudkannya.

Pikiran yang tertuju pada ketidakbahagiaan mestinya kita terima sebagai kapasitas yang paling patut kita syukuri. Seandainya nenek moyang kita dulu tidak mengembangkannya, mungkin hingga hari ini spesies kita belum juga turun dari pohon dan menciptakan pakaian. Seandainya otak kita tidak memberi kesempatan bagi tumbuhnya perasaan-perasaan negatif, mungkin kita tidak akan pernah memiliki orientasi untuk bahagia, sebab kita tidak tahu cara berkeluh kesah tentang kenyataan bahwa hidup kita tidak selalu gembira.

Fakta bahwa ketidakbahagiaan berperan positif bagi hidup kita tidak kemudian berarti semakin sering tidak bahagia akan semakin baik. Kita sering menjumpai dan mendengar bahwa perasaan melankolis yang berlebihan adalah penyebab depresi yang menghancurkan. Namun, sebagaimana kita bisa terlalu banyak mengalami ketidakbahagiaan, kita juga bisa terlalu sedikit mengalaminya. Yang kita butuhkan adalah sebuah benteng pertahanan dari serangan musuh yang sudah benar-benar kita kenali.

Dalam sebuah cerita rakyat Afghanistan dikisahkan:

“Dahulu kala, ada seorang raja yang memerintahkan para penasihatnya untuk membuatkan cincin yang bisa membuatnya bahagia ketika ia bersedih, dan merasa sedih ketika ia gembira. Setelah berembug akhirnya mereka memutuskan bahwa cincin itu mestilah bertuliskan kalimat: ‘Ini pun akan berlalu.’”

Begitulah. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan selalu saling membuntuti, sepasti siang mengikuti malam.

BACA JUGA Jangan Menikah Kalau Maunya Cuma Cari Bahagia dan tulisan Afthonul Afif lainnya.

Terakhir diperbarui pada 29 Juni 2020 oleh

Tags: Bahagiapsikiatripsikologisenangtidak bahagia
Afthonul Afif

Afthonul Afif

Peneliti dan penulis problem psikologi.

Artikel Terkait

Belajar Bahasa Inggris Cocok untuk Atlet Brain Rot kayak Kamu MOJOK.CO
Esai

Belajar Bahasa Inggris Adalah Tahap Awal untuk Memanusiakan Diri bagi Atlet Brain Rot seperti Saya

10 Juni 2025
Begini Rasanya Kesurupan: Tubuh Diambil Alih Macan, yang dalam Medis Disebut ‘Mekanisme Caper’ dan Gangguan Psikologis.MOJOK.CO
Ragam

Begini Rasanya Kesurupan: Tubuh Diambil Alih Macan, Tapi dalam Medis Disebut Cuma ‘Mekanisme Caper’ dan Gangguan Psikologis

15 Mei 2024
mahasiswa jurusan kuliah psikologi. dengan anxiety disorder.MOJOK.CO
Kampus

Nestapa Mahasiswa Jurusan Psikologi Pengidap Anxiety Disorder, Berat Jalani Studi tapi Terselamatkan

2 Januari 2024
Lulusan Sarjana Psikologi Itu Nggak Spesial MOJOK.CO
Esai

Lulusan Jurusan Psikologi Itu Nggak Spesial: Lapangan Pekerjaan yang Linier Sedikit, Gajinya Juga Kecil

12 Desember 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.