Bagi makmum salat Tarawih yang mengimani pepatah Inggris time is money atau pepatah Arab al-waktu ka as-shayf (‘waktu seumpama pedang’), memilih lokasi Tarawih berdurasi cepat adalah pertimbangan utama.
Salatnya boleh di surau atau masjid mana saja, imamnya boleh dari suku apa saja. Sebab, satu-satunya syarat mutlak imam Tarawih yang bisa mereka terima adalah yang bisa mengimami salat dengan cepat dan mampu membaca Surah Al-Fatihah dalam sekali tarikan nafas. Sebab, jika durasi salat secara keseluruhan lebih dari tiga puluh menit, sisa es buah yang belum dihabiskan akan keburu hambar dan program televisi kesayangan keburu diputar atau bubar.
Tapi, renungkanlah, hai para pemburu kecepatan. Di balik salat Tarawih kilat yang kalian jalankan, ada sosok imam yang diam-diam merasa sunyi berdiri di barisan terdepan.
Ramadan kali ini saya kebagian “jatah” menjadi imam Tarawih di musala dekat rumah. Keputusan itu datang ujuk-ujuk dari pengurus musala tanpa mempertimbangkan kesanggupan saya sebelumnya. Ketika saya tanyakan kepada perwakilan musala yang datang menemui saya, beliau menjawab, “Ini sudah berdasarkan pertimbangan para pengurus, kalau mau protes, sampean harus protes ke orang banyak.”
Singkat cerita, saya tidak bisa mengelak.
Menjadi imam salat Tarawih dengan jamaah beragam usia dan latar belakang—mulai dari anak-anak hingga lansia, mulai dari pegawai hingga pejudi—ternyata tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan.
Di malam pertama menjadi imam tarawih, sesuai salat beberapa anak kecil yang tampaknya dari tadi telah menunggu saya di teras musala tiba-tiba berteriak, “Wooo … tarawehe kesuwen, cepetan wingi” (Tarawihnya kelamaan, lebih cepat yang kemarin).
Tentu saja sindiran sengak anak-anak yang mungkin kencing saja belum lurus itu membuat saya agak kesal. Tapi, kekesalan itu saya pendam dalam hati. Batin saya, lumrah makmum mengkritik imamnya sebagaimana rakyat boleh mengkritik pemimpinnya.
Malam kedua, dengan mempertimbangkan kritik anak-anak kemarin, bacaan salat saya cepatkan. Al-Fatihah saya lafalkan sekali tarikan nafas, begitu juga surat-surat pendek.
Satu dua rakaat, semua berjalan lancar. Memasuki rakaat-rakaat selanjutnya, saya mulai kehabisan nafas. Tenggorokan kering. “Siksaan” itu semakin lengkap sebab bacaan salat harus saya lafalkan keras-keras agar barisan jamaah perempuan yang berada di balik dinding dan jendela bisa mendengarkan. Imbasnya, tenggorokan tidak hanya kering, bahkan mulai sakit. Padahal Tarawih malam itu baru separuh jalan. Dalam hati saya berdoa, semoga tidak batuk, semoga suara saya tidak hilang.
Karena harus memecah konsentrasi antara bacaan salat dan tenggorokan yang semakin sakit, sesekali bacaan salat belepotan. Bukannya meluruskan bacaan yang keliru, beberapa makmum—terutama anak-anak—malah cekikikan.
Tetapi, the show must go on. Tarawih malam itu akhirnya rampung juga. Saya pulang ke rumah dengan membawa batuk yang tidak tertanggungkan, batuk yang (untungnya) baru saya alami setelah usai mengimami salat Tarawih.
Alangkah sunyi menjadi imam Tarawih ….
Belum hilang batuk karena terlalu semangat mengimami Tarawih semalam, sore harinya, ketika saya akan membeli penganan berbuka, seorang ibu yang usianya dapat dikatakan tua menyapa saya dan kemudian menegur, “Mas, kalau bisa Tarawihnya jangan cepat-cepat. Tadi malam habis Tarawih badan saya pegal semua. Napas juga ngos-ngosan.”
Jamaah, oh, jamaah … kalau durasi salat Tarawih bisa dipesan sekehendak hati dan kemauan masing-masing jamaah, apakah kalian semua mau bila nanti Tarawihnya jadi seperti roller coaster? Satu rakaat pertama sangat cepat, rakaat selanjutnya sangat lambat. Hal ini mungkin akan menjadi solusi paling adil untuk menampung aspirasi jamaah mazhab cepat dan jamaah mazhab lambat.
Lain soal durasi tarawih, lain pula kebiasaan masing-masing makmum.
Memasuki malam kelima belas Ramadan, selepas rukuk di witir kedua, imam biasanya akan membaca kunut sebelum sujud. Jamaah Tarawih yang biasa terburu-buru langsung sujud setelah “sami’a allahu liman hamidah” tentu akan kecele. Beberapa jamaah yang sudah telanjur sujud akan menjadi bahan tertawaan anak-anak. Mendengar makmum tertawa mungkin bukan godaan berarti bagi imam, tetapi ketika ada jamaah salat yang tiba-tiba nyeletuk, “Asem, aku kleru (waduh, aku salah) …” di tengah-tengah salat karena mungkin malu kecele sujud lebih awal ketika imam sedang membaca kunut, saya yang sedang menjadi imam pun hampir kelepasan tertawa, tawa yang untungnya bisa disembunyikan dengan batuk-batuk kecil.
Ada kelakuan jamaah yang mengundang tawa, ada pula kelakuan jamaah yang membuat imam harus merenung panjang. Suatu malam, ketika akan meninggalkan musala, secara tidak sengaja saya men(curi)dengar dua orang sedang bicara pelan, “Tadi Tarawihnya selesai tepat jam 19:28. Nanti pasang saja angka 1928, siapa tahu tembus.”
Blaik! Durasi Tarawih malah dijadikan bahan judi. Sampai di titik ini saya berpikir keras, apakah saya akan mendapat pahala karena sudah menjadi imam atau justru mendapat dosa karena sudah melempangkan jalan dan memberi “petunjuk” bagi orang yang akan berjudi. Wallahualam.
Ramadan sudah separuh jalan. Jumlah jamaah Tarawih di musala semakin menyusut. Namun, bukan berarti imam bisa seenaknya membolos atau lebih santai ketika berdiri di barisan paling depan, merasakan sunyinya nasib seorang pemimpin. Hingga Ramadan menjelang usai, imam Tarawih masih mengemban tugas teramat berat. Dan ketika hari raya tiba, mungkin para imam Tarawihlah yang merasakan kemenangan sesungguhnya.
*Berdasarkan kisah nyata seorang imam Tarawih yang tidak ingin disebutkan namanya.