Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Kesunyian Imam Tarawih

Badrul Munir Chair oleh Badrul Munir Chair
17 Juni 2017
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Bagi makmum salat Tarawih yang mengimani pepatah Inggris time is money atau pepatah Arab al-waktu ka as-shayf (‘waktu seumpama pedang’), memilih lokasi Tarawih berdurasi cepat adalah pertimbangan utama.

Salatnya boleh di surau atau masjid mana saja, imamnya boleh dari suku apa saja. Sebab, satu-satunya syarat mutlak imam Tarawih yang bisa mereka terima adalah yang bisa mengimami salat dengan cepat dan mampu membaca Surah Al-Fatihah dalam sekali tarikan nafas. Sebab, jika durasi salat secara keseluruhan lebih dari tiga puluh menit, sisa es buah yang belum dihabiskan akan keburu hambar dan program televisi kesayangan keburu diputar atau bubar.

Tapi, renungkanlah, hai para pemburu kecepatan. Di balik salat Tarawih kilat yang kalian jalankan, ada sosok imam yang diam-diam merasa sunyi berdiri di barisan terdepan.

Ramadan kali ini saya kebagian “jatah” menjadi imam Tarawih di musala dekat rumah. Keputusan itu datang ujuk-ujuk dari pengurus musala tanpa mempertimbangkan kesanggupan saya sebelumnya. Ketika saya tanyakan kepada perwakilan musala yang datang menemui saya, beliau menjawab, “Ini sudah berdasarkan pertimbangan para pengurus, kalau mau protes, sampean harus protes ke orang banyak.”

Singkat cerita, saya tidak bisa mengelak.

Menjadi imam salat Tarawih dengan jamaah beragam usia dan latar belakang—mulai dari anak-anak hingga lansia, mulai dari pegawai hingga pejudi—ternyata tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan.

Di malam pertama menjadi imam tarawih, sesuai salat beberapa anak kecil yang tampaknya dari tadi telah menunggu saya di teras musala tiba-tiba berteriak, “Wooo … tarawehe kesuwen, cepetan wingi” (Tarawihnya kelamaan, lebih cepat yang kemarin).

Tentu saja sindiran sengak anak-anak yang mungkin kencing saja belum lurus itu membuat saya agak kesal. Tapi, kekesalan itu saya pendam dalam hati. Batin saya, lumrah makmum mengkritik imamnya sebagaimana rakyat boleh mengkritik pemimpinnya.

Malam kedua, dengan mempertimbangkan kritik anak-anak kemarin, bacaan salat saya cepatkan. Al-Fatihah saya lafalkan sekali tarikan nafas, begitu juga surat-surat pendek.

Satu dua rakaat, semua berjalan lancar. Memasuki rakaat-rakaat selanjutnya, saya mulai kehabisan nafas. Tenggorokan kering. “Siksaan” itu semakin lengkap sebab bacaan salat harus saya lafalkan keras-keras agar barisan jamaah perempuan yang berada di balik dinding dan jendela bisa mendengarkan. Imbasnya, tenggorokan tidak hanya kering, bahkan mulai sakit. Padahal Tarawih malam itu baru separuh jalan. Dalam hati saya berdoa, semoga tidak batuk, semoga suara saya tidak hilang.

Karena harus memecah konsentrasi antara bacaan salat dan tenggorokan yang semakin sakit, sesekali bacaan salat belepotan. Bukannya meluruskan bacaan yang keliru, beberapa makmum—terutama anak-anak—malah cekikikan.

Tetapi, the show must go on. Tarawih malam itu akhirnya rampung juga. Saya pulang ke rumah dengan membawa batuk yang tidak tertanggungkan, batuk yang (untungnya) baru saya alami setelah usai mengimami salat Tarawih.

Alangkah sunyi menjadi imam Tarawih ….

Belum hilang batuk karena terlalu semangat mengimami Tarawih semalam, sore harinya, ketika saya akan membeli penganan berbuka, seorang ibu yang usianya dapat dikatakan tua menyapa saya dan kemudian menegur, “Mas, kalau bisa Tarawihnya jangan cepat-cepat. Tadi malam habis Tarawih badan saya pegal semua. Napas juga ngos-ngosan.”

Jamaah, oh, jamaah … kalau durasi salat Tarawih bisa dipesan sekehendak hati dan kemauan masing-masing jamaah, apakah kalian semua mau bila nanti Tarawihnya jadi seperti roller coaster? Satu rakaat pertama sangat cepat, rakaat selanjutnya sangat lambat. Hal ini mungkin akan menjadi solusi paling adil untuk menampung aspirasi jamaah mazhab cepat dan jamaah mazhab lambat.

Lain soal durasi tarawih, lain pula kebiasaan masing-masing makmum.

Memasuki malam kelima belas Ramadan, selepas rukuk di witir kedua, imam biasanya akan membaca kunut sebelum sujud. Jamaah Tarawih yang biasa terburu-buru langsung sujud setelah “sami’a allahu liman hamidah” tentu akan kecele. Beberapa jamaah yang sudah telanjur sujud akan menjadi bahan tertawaan anak-anak. Mendengar makmum tertawa mungkin bukan godaan berarti bagi imam, tetapi ketika ada jamaah salat yang tiba-tiba nyeletuk, “Asem, aku kleru (waduh, aku salah) …” di tengah-tengah salat karena mungkin malu kecele sujud lebih awal ketika imam sedang membaca kunut, saya yang sedang menjadi imam pun hampir kelepasan tertawa, tawa yang untungnya bisa disembunyikan dengan batuk-batuk kecil.

Ada kelakuan jamaah yang mengundang tawa, ada pula kelakuan jamaah yang membuat imam harus merenung panjang. Suatu malam, ketika akan meninggalkan musala, secara tidak sengaja saya men(curi)dengar dua orang sedang bicara pelan, “Tadi Tarawihnya selesai tepat jam 19:28. Nanti pasang saja angka 1928, siapa tahu tembus.”

Blaik! Durasi Tarawih malah dijadikan bahan judi. Sampai di titik ini saya berpikir keras, apakah saya akan mendapat pahala karena sudah menjadi imam atau justru mendapat dosa karena sudah melempangkan jalan dan memberi “petunjuk” bagi orang yang akan berjudi. Wallahualam.

Ramadan sudah separuh jalan. Jumlah jamaah Tarawih di musala semakin menyusut. Namun, bukan berarti imam bisa seenaknya membolos atau lebih santai ketika berdiri di barisan paling depan, merasakan sunyinya nasib seorang pemimpin. Hingga Ramadan menjelang usai, imam Tarawih masih mengemban tugas teramat berat. Dan ketika hari raya tiba, mungkin para imam Tarawihlah yang merasakan kemenangan sesungguhnya.

*Berdasarkan kisah nyata seorang imam Tarawih yang tidak ingin disebutkan namanya.

Terakhir diperbarui pada 17 Juni 2017 oleh

Tags: imamjamaahpemimpinRamadansalatTarawih
Iklan
Badrul Munir Chair

Badrul Munir Chair

Tinggal di Semarang.

Artikel Terkait

7 Ciri Pimpinan yang Menjengkelkan dan Tidak Profesional | Semenjana Eps. 10
Movi

7 Ciri Pimpinan yang Menjengkelkan dan Tidak Profesional | Semenjana Eps. 10

3 April 2025
Perang sarung dulu buat seru-seruan kini jadi tindakan kriminal MOJOK.CO
Ragam

Perang Sarung Kini Jadi Tindakan Kriminal, Apa Sih yang Sebenarnya Para Remaja Ini Perlukan?

13 Maret 2025
anak sma dari jogja ngajar ngaji di jepang.MOJOK.CO
Aktual

Anak SMA dari Jogja Dakwah di Jepang Selama Ramadan, Emak-emak Semangat Minta Diajar Ngaji Sampai Tengah Malam

3 April 2024
Minta Tanda Tangan Imam di Ramadan itu Merepotkan MOJOK.CO
Ragam

Minta Tanda Tangan Imam di Bulan Ramadan, Kegiatan yang Pernah Dianggap Imam Masjid Merepotkan dan Membuang Waktu

28 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

14 Juli 2025
Bus malam.MOJOK.CO

Pengalaman Naik Bus Malam: Laptop Berisi Skripsi Digondol Maling, Ganti Rugi Tak Seberapa tapi Mimpi Jadi Sarjana Harus Tertunda

19 Juli 2025
Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO

Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

14 Juli 2025
Pemerintah Kota Semarang. MOJOK.CO

Dana Operasional Rp25 Juta Per RT, Angin Segar untuk Masyarakat Kota Semarang

17 Juli 2025
Anggota pencak silat PSHT iri dengan aura farming pacu jalur MOJOK.CO

Aura Farming Pacu Jalur bikin Iri Orang PSHT: Sama-sama Mendunia tapi PSHT bikin Malu, Diajak Perbaiki Diri Nggak Mau

18 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.