MOJOK.CO – Wiro Sableng 212 sekilas tidak punya hubungan dengan film 212: The Power of Love. Beda universe, lain genre. Meski begitu keduanya punya beberapa kesamaan.
Saya tumbuh besar di masa sosok Wiro Sableng masih diperankan oleh Ken Ken. Kemudian, Wiro berperang melawan musuh yang membuat wajahnya rusak kayak Young Lex digebukin satu batalyon satpam Kpopers. Setelah berendam di danau dan cuci muka, wajahnya pulih tapi berganti rupa menjadi Wiro Sableng versi Abhie Cancer.
Sebelum sampai ke adegan itu, penulis skenarionya pasti pusing mencari alasan logis untuk mengganti wajah peran utama. Cara seperti ini juga dipakai di sinetron Bidadari. Marshanda berperan sebagai Lala. Pada suatu episode, ketika pelajaran kimia, Lala disiram air keras oleh temannya yang jahat. Wajah Lala pun melepuh. Ketika sembuh, wajah Lala berubah jadi Angel Karamoy.
Dewasa ini sutradara Ayat-Ayat Cinta 2 juga ikut-ikutan pakai jurus ganti wajah Aisha: Rianty Cartwright berubah jadi Sandra Dewi dengan cara menggesek-gesek muka ke tembok penjara Israel. Sudah begitu, di ending, wajah Aisha diganti lagi pakai cetakan muka Tatjana Saphira. Aisha telah menjalani double-face-off yang mind blowing abez dengan spesial efek casting nan ciamik.
Kabar baik, film Wiro Sableng versi Vino G. Bastian digarap oleh Angga Dwimas Sasongko yang pernah membolak-balikkan hati mantan di film Hari untuk Amanda. Di tangannya, cerita Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini dimulai dari awal mula dengan cast yang lebih gres. Walaupun terkenal sebagai cerita yang kocak, jajaran cast bersih dari nama-nama stand up comedian.
Padahal biasanya film komedi dalam negeri memberikan “jatah preman” untuk komika agar mendapat stampel lucu dari Majelis Lucu Indonesia (MLI). Keputusan dalam tahap casting ini sungguh berani dan terasa begitu tulus.
Seandainya film ini disutradarai oleh Anggy Umbara, sudah pasti yang menjadi Santiko si Bujang Gila Tapak Sakti adalah Babe Cabita. Yang jadi Wiro Sableng tentu saja Pandji Pragiwaksono. Lalu Arafah Rianti yang ditunjuk jadi Anggini.
Bagaikan kejutan, peran Anggini bisa menarik kembali Sherina Munaf ke dunia perfilman. Sherina jarang main film. Film terakhir yang dibintanginya adalah film pertamanya juga, yaitu Petualangan Sherina. Sekalinya main film lagi, filmnya legendaris banget: Wiro Sableng.
Walaupun tidak menyimak versi sinetron atau baca serial cerita silatnya, pun sebelumnya tidak perlu maraton nonton serial Wiro Sableng semuanya. Film ini bisa langsung diikuti dan dijamin bakalan tetap nyambung bagi penonton yang belum tahu latar cerita Wiro Sableng sebelumnya.
Walaupun sama-sama mengandung angka 212, film Wiro Sableng sekilas tidak ada hubungannya dengan film 212: The Power of Love. Beda universe, lain genre. Akan tetapi, keduanya mengusung tema cerita tentang gerakan yang sama: merebut tahta. Bedanya, yang satu #2019GantiPresiden, satunya lagi #Abad16GantiRaja.
Memang busur ceritanya bagai “Game of Thrones” versi Nusantara. Dengan peran utama memenuhi syarat seorang karakter manga shounen: penuh semangat, kocak, dan dikelilingi banyak wanita cantik. Sebagai fanboy, saya sampai bingung mau shipping Wiro dengan siapa? Anggini atau Rara Murni? Soalnya dua-duanya manis banget. Indonesia mesti bangga punya pendekar yang tak kalah keren dibanding Naruto atau Monkey D. Luffy dari One Piece.
Menurut sinopsisnya, latar waktu Wiro Sableng terjadi di Nusantara pada abad 16. Mungkin itu periode sebelum Belanda menjajah bangsa kita. Jadi konon begitu tahu Wiro pensiun dari dunia persilatan dan gantung kapak, para kompeni itu mulai berani menginjakkan kaki di tanah air. Soalnya pendekar yang tersisa saat itu cuma Si Pitung.
Sama seperti versi cerita silat atau sinetron, nasib Wiro Sableng dimulai dengan tragis: rumahnya dibakar oleh penjahat dan harus menyaksikan orang tua terbunuh di depan matanya sendiri. Ayahnya Wiro diperankan oleh penyanyi Marcell. Sementara pemeran ibunya Wiro adalah Happy Salma yang sebelumnya juga terbunuh dalam adegan kebakaran di film Buffalo Boys. Mungkin Happy Salma spesialis pemeran ibu-ibu teraniaya ala tempo doeloe yang selalu mati ngenes dengan rumah terbakar di film.
Senasib dengan Bruce Wayne yang menjadi yatim piatu sejak usia dini, Wiro Sableng memutuskan menjadi pendekar alias superhero pada zaman dulu. Oleh gurunya Sinto Gendeng, Wiro ditugaskan untuk membawa Mahesa Birawa ke Gunung Gede. Kenapa harus Gunung Gede? Soalnya kalau dibawa ke Gunung Semeru untuk nyatakan cinta, malah jadi 5 cm.
Mahesa Birawa adalah pembunuh orang tua Wiro. Ternyata Mahesa Birawa dan Wiro Sableng masih satu almamater: sama-sama alumni 212. Bedanya, Mahesa Birawa berkhianat dan tergoda untuk menyeberang ke sisi kegelapan.
Petualangan Wiro Sableng menjalankan misi pertamanya dengan dibantu Anggini dan Bujang Sakti Tapak Gila (kebalik woy) layak disimak di bioskop. Cerita mendebarkan, CGI lumayan lebih bagus dibanding CGI elang ala Indosiar, dan humor-humor yang kena.
Mengasyikkan rasanya ketika menyaksikan adegan perkelahian selama film. Jurus-jurus yang ditampilkan dari beragam karakter yang unik nan nyentrik betul-betul memukau. Wajar saja, sebab Yayan Ruhian yang pegang divisi koreografi. Sherina pasti geregetan jadinya geregetan melihat hasil tangan kosong Mad Dog yang ada geregetnya.
Vino G. Bastian sukses melestarikan karya Bastian Tito yang telah menulis cerita silat ini selama 37 tahun. Kini Wiro Sableng bisa dibilang sebagai film keluarga—tepatnya, keluarganya Vino G. Bastian, bukan keluarga kita. Sebab cerita aslinya adalah warisan bokap. Ditambah bojonya, Marsha Timothy, ikut bermain sebagai Bidadari Angin Timur yang perannya hampir mirip seperti Dewi Kwam Im di serial Kera Sakti: ujug-ujug nongol menolong di saat tersedak, eh, terdesak.
Filmnya sendiri diproduseri oleh kakak ipar Vino, yaitu Sheila Timothy. Namun, karena hasilnya bagus, jadi tidak masalah. Bukan nepotisme namanya. Sebut saja usaha keluarga.
Hubungan kreatif ayah-anak Bastian Tito dan Vino G. Bastian bisa bikin iri keluarga lain. Sebab tidak semua anak-beranak bisa estafet karya seperti itu. Selain Keluarga Bastian, ada Umbara Brothers yang punya warisan turun-temurun. Anggy Umbara sempat membuat film 5 Cowok Jagoan demi meneruskan warisan cita-cita sang ayah, Danu Umbara, yang pada masa lampau membuat film superhero 5 Cewek Jagoan. Sayang, filmnya tidak selaku karya Anggy yang lain, seperti Comic 8 atau Warkop DKI Reborn.
Selain itu, Anggy Umbara juga pernah membantu seorang ayah kaya-raya yang ingin memberikan hadiah ulang tahun kepada anak pertamanya. Hadiah berupa film bergenre fiksi ilmiah, aksi, komedi, drama, fantasi, keluarga, sekaligus horor banget secara ranking IMDb, berjudul Rafathar. Jika Vino G. Bastian main film untuk mengenang ayahnya, Raffi Ahmad malah bikin film untuk anaknya.
Namanya anak-anak masih belum punya kendali untuk dirinya sendiri. Mana kita tahu kalau sudah gede nanti, sebenarnya Rafathar malah tidak mau dibuatkan film begitu. Mending uangnya ditabung buat pendidikan bagaimana caranya bikin film bagus dan nggak habisin duit usaha keluarga.
Beda cerita dengan Bastian Tito yang pernah curhat kepada Ken Ken tentang keinginannya agar Vino G. Bastian mau memerankan Wiro Sableng. Hingga akhirnya harapan itu terwujud berkat anak yang berbakti kepada orang tua dan benar-benar mau menuruti permintaan bapaknya. Persis seperti hubungan tokoh Rahmat di 212: The Power of Love yang akhirnya mau berbakti pada Ki Zainal, bapaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa makna 212 ala pendekar dengan 212 ala pendemo ternyata memiliki benang merah kekeluargaan. Mungkin untuk ke depannya, Wiro Sableng dan 212: The Power of Love perlu bikin 212 Universe untuk jadi franchise yang bisa ngalah-ngalahin Marvel Universe.