MOJOK CO – Sudah saatnya PKS mengubah kepanjangannya dari Partai Keadilan Sejahtera menjadi Partai Kesabaran Sejati
PKS di bawah kepemimpinan Sohibul Iman memang hebat luar biasa. Berkali-kali kena kibul Gerindra, tapi tetap saja iman (percaya) kepada sang Ketum, Prabowo Subianto.
Lha gimana, bahkan ketika Wagub Riza Patria dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara sebagai Wakil Gubernur DKI, Sohibul Iman tetap diam seribu bahasa, sungguh sebuah kesabaran sejati.
Pepatah lama yang mengatakan “Sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya” rupanya tak berlaku bagi PKS. Kematangan berpolitik sejak 1998, menjadikan partai dakwah ini beranggapan bahwa ditipu teman koalisi itu adalah hal biasa. Ia tak ubahnya seperti bumbu-bumbu politik belaka. Mungkin bagi PKS, ingkar janji dan mencla-mencle dalam politik itu bukanlah aib yang perlu disesali dan diratapi. Awalnya bersahabat, kemudian berkhianat, oleh PKS tetap saja dirasa nikmat.
PKS bersahabat dengan Gerindra sejak Pilpres 2014. Ketika capres Prabowo membentuk Koalisi Merah Putih (KMP), PKS berdiri di belakang Gerindra bersama Golkar, PAN, PPP dan PBB. Ketika Golkar, PPP, PAN, berbalik mendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-JK, PKS tetap setia mendukung Prabowo meskipun akhirnya gagal menuju Istana.
Ketika Prabowo maju kembali di Pilpres 2019, kesetiaan PKS pada Gerindra kembali diuji dan teruji.
Selama masa mendukung Prabowo itu, PKS sempat dibikin girang setengah mati saat salah satu kadernya, Habib Salim Segaf Aljufri direkomendasikan ijtima ulama GNPF untuk menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Nominasinya kala itu ada, yakni Salim Segaf Aljufri dan Ustaz Abdul Somad. Belakangan Ustaz Abdul Somad tidak bersedia, maka Salim Segaf otomatis menjadi kandidat tunggal.
Tapi Prabowo tahu, meski rekomendasi ijtima ulama direstui oleh Habib Rijiek sekalipun, hal tersebut tak lantas menjadi jaminan untuk mendongkrak perolehan suara dia menuju Istana Negara. Bagi Prabowo, perkara keulamaan Salim Segaf Aljufri tentu saja tak diragukan lagi. Tapi soal keuangan? Tentu saja belum tentu.
Prabowo tentu paham betul bahwa untuk maju Pilpres kala itu, ia butuh cawapres yang “bergizi” dan kaya akan serat dan karbohidrat.
Maka masa bodolah dengan ijtima ulama GNPF. Dia butuh cawapres yang juga siap jadi PBT alias Pasukan Berani Tekor. Maka dipilihlah Sandiaga Uno yang merupakan kader sendiri alih-alih Salim Segaf Aljufri.
Bagi Wagub DKI yang baru 10 bulan menjabat itu, pinangan dari Prabowo tentu sangat menggiurkan. Maka sejak Agustus 2018, Sandiaga Uno secara resmi mengundurkan diri dari Balaikota dan siap menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Siapa tahu langkah ini menjadi karpet merah untuk kursi presiden di tahun 2024.
Enak bagi Prabowo, tapi tentu saja enek bagi PKS. PKS benar-benar merasa dikhianati oleh teman setianya di KMP.
Mungkin sebagai penebusan rasa bersalah, Prabowo pun kemudian memeberikan semacam penghiburan kecil untuk PKS. “Tenang saja, nanti jatah Wagub DKI buat antum!”
Asal tahu saja, sesuai Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang menentukan Wagub pengganti bukan Gubernurnya, melainkan koalisi partai pengusung di DPRD.
Maka PKS pun dengan penuh percaya diri mencalonkan dua kadernya, Ahmad Syaikhu mantan Wabub Bekasi dan Agung Yulianto. PKS optimis, Ahmad Syaikhu atau Agung Yulianto pasti akan gol menjadi Wagub DKI.
Tapi sayang seribu sayang, sepeninggal Sandiaga Uno, DPRD membiarkan saja kursi Wagub kosong. Isu liar pun berseliweran. Ada dugaan bahwa bahwa kursi jabatan tersebut memang sengaja dibiarkan kosong untuk kembali ditempati Sandiaga Uno, misalkan Prabowo kalah Pilpres. Karena itulah dua Cawagub kiriman PKS tak kunjung diproses, digantung saja macam peci di kapstok.
Di tubuh Gerindra sendiri sebetulnya sudah ada sosok M. Taufik, Ketua DPD Gerindra DKI, yang tampaknya punya hasrat untuk jadi Wagub. Dia pernah bermain kasak-kusuk dan mendekati Prabowo tapi tak direstui dengan alasan sudah menjadi jatah PKS. Dalam hatinya mungkin Prabowo mau mengatakan, “Ente kan sudah cacat, karena pernah jadi napi tipikor, jadi Wakil Ketua DPRD DKI juga sudah bagus. Nggak usah ngarep yang lebih lagi.” Dan faktanya, M. Taufik kemudian memang narima ing pandum, tak perlu berbasah-basah mimpi jadi Wagub DKI.
Terus digantung di kapstok DPRD DKI, tentu saja Ahmad Syakhu-Agung Yulianto merasa keju (capek), mereka lantas “curhat” pada media tentang kelambanan kerja orang-orang Kebon Sirih (gedung DPRD).
Hal tersebut ternyata bikin DPRD tersinggung. Akibatnya, dua kader PKS yang tadinya digantung dikapstok tadi malah dimasukkan laci sekalian alias tak dibahas lagi.
Dalam kondisi yang serba rumit seperti itu, Gerindra kemudian bermanuver menyusun strategi untuk mengusung cawagub dari kader sendiri. Lalu bagaimana dengan janjinya pada PKS? Ah, Jangan belaga pilon begitu. Semua juga tahu, dalam politik, yang tak boleh ingkar janji itu hanya merpati.
Perkara Wakil Gubernur DKI ini tentu bukan perkara yang sembarangan. Ia perkara yang strategis, apalagi jika dihubungkan dengan momen Pilpres 2024.
Maklum, konon kabarnya, di Pilpres 2024 kelak, PDIP pengin menduetkan Prabowo – Puan Maharani. Maka sejak jauh-jauh hari, kader PDIP harus sudah mulai membangun kemistri dengan kader-kader Gerindra. Dan kemistri itu bisa mulai dibangun di DPRD DKI. Jadi tiada mengherankan ketika Ahmad Riza Patria digadang jadi cawagub DKI, Fraksi PDIP yang punya 25 kursi di DPRD langsung mendukungnya, dan dukungan itu pulalah yang kemudian ikut memenangkan Ahmad Riza Patria. Ia unggul telak atas Firmansyah Lubis, calon yang diusung oleh PKS.
Pada pemilihan Wagub DKI di DPRD 6 April lalu, Riza Patria memperoleh suara 81, sementara Nurmansyah Lubis hanya 17 suara.
Pupus sudah harapan PKS untuk bisa mengangkat kadernya sebagai Wakil Gubernur DKI.
Dan pada titik itulah, semakin tampak kehebatan Presiden PKS Sohibul Iman. Meski sudah kena kibul berkali-kali, tapi mereka masih juga setia pada Gerindra.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PKS Abdul Aziz bahkan memberikan komentar yang suportif atas terpilihnya Ahmad Riza sebagai Wakil Gubernur yang baru. “Akan kami support jika berada di rel yang benar, demi tercapai visi gubernur maju kotanya bahagia warganya,” kata Abdul Aziz.
Entah kenapa, saya jadi terkenang dengan Sohibul Iman saat dirinya mengusung Nurmansyah Lubis sebagai Cawagub DKI awal Maret lalu. Kata Sohibul saat itu, “Gubernur Anies tak butuh pendamping yang sekedar bisa pidato, tapi bisa bekerja.”
Niat hati mengirim kader yang bisa bekerja, eh malah dikerjain. Yah, dari dulu, begitulah PKS, ketipunya tiada akhir.
BACA JUGA Ajian Amien Rais yang Baru Ketularan Isu Virus Corona atau tulisan Gunarso TS lainnya.