Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

Jokowi, semestinya tidak hanya mendorong negara untuk memperbanyak penampakan infrastruktur komersial, tapi juga memikirkan bagaimana produk-produk manufaktur dan industri strategis nasional bisa meningkat kualitas dan produktivitasnya.

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Ilustrasi Kereta Cepat Jakarta Bandung . (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COJika pemerintah tak jeli, proyek-proyek infrastruktur di Indonesia akan menjadi instrumen China. Termasuk Proyek kereta cepat Jakarta Bandung.

Secara umum, tentu tak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang sangat agresif mendorong investasi infrastruktur. Termasuk soal pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung. Meskipun sejatinya, pemerintah perlu memberi prioritas pada infrastruktur dasar karena sudah menjadi kewajiban utama. 

Infrastruktur Jokowi kurang terintegrasi dengan penguatan kapasitas produksi

Namun masalahnya, secara ekonomi, kebijakan infrastruktur Jokowi cenderung dihadirkan untuk infrastruktur itu sendiri alias kurang terintegrasi dengan penguatan kapasitas produksi nasional. Terutama terkait sektor-sektor utama yang menjadi fondasi perekonomian nasional seperti industri (manufaktur dan industri strategis) dan pertanian.

Jadi, nggak heran kalau ramainya proyek infrastruktur justru berbanding terbalik dengan situasi industri nasional yang kian deindustrialistik. Misalnya berbarengan dengan makin terpuruknya industri strategis nasional sekelas Krakatau Steel dan over produksi industri semen nasional, atau makin dikuasainya pasar dalam negeri oleh produk-produk manufaktur dari negara lain, terutama Cina. 

Artinya, Jokowi mestinya tidak saja memikirkan bagaimana jalan di desa bagus mulus, tapi juga bagaimana cabai, sayur,  jagung, padi, bawang, dan hasil pertanian lainya bisa menjadi sumber kesejahteraan petani. Termasuk soal pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung.

Jokowi, semestinya tidak hanya mendorong negara untuk memperbanyak penampakan infrastruktur komersial, tapi juga memikirkan bagaimana produk-produk manufaktur dan industri strategis nasional bisa meningkat kualitas dan produktivitasnya. Semuanya demi masyarakat dan pelaku ekonomi dalam negeri bisa meningkatkan daya saingnya di saat konektivitas menjadi semakin lancar. 

Pemerintah sebaiknya meningkatkan kualitas produk manufaktur dan industri beriringan dengan perbaikan kapasitas dan daya saing SDM dalam negeri. Jika gagal, ketika konektivitas semakin lancar, hanya barang impor yang akan menikmati penipisan biaya transportasi. Hasilnya, harga barang impor makin murah, sementara produk dalam negeri tidak bisa bersaing. Bahkan boleh jadi, kondisi ini yang menjadi salah satu sebab inflasi tercatat sangat rendah selama ini.

Infrastruktur Jokowi tidak menekankan pada kualitas pertumbuhan

Jokowi dan tim ekonominya selama ini menjadikan infrastruktur sebagai salah satu jalan keluar untuk menahan pelemahan pergerakan ekonomi nasional.  Sebagaimana sesumbar pemerintah bahwa kebijakan countercyclical diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa memberi penekanan pada kualitas pertumbuhan itu sendiri. 

Bisa dipahami bahwa jika pemerintah tidak habis-habisan mendorong proyek-proyek infrastruktur, dengan berbagai skema pembiayaan, otomatis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh di bawah raihan selama ini, boleh jadi 4 persenan saja, misalnya. Oleh sebab itu, proyek pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung digenjot sekuat mungkin. 

Pemerintah wajib memahami risiko yang terkandung di dalamnya. Jika memobilisasi input ekonomi tanpa intensi penguatan strategis tatanan ekonomi nasional, risikonya adalah angka-angka raihan ekonomi yang digadang-gadang lebih tinggi dari negara tetangga hanya menjadi “angka ompong”.

Setiap input ekonomi yang dikunyah justru mengenyangkan negara lain dan beberapa pihak oligarki di dalam negeri. Sementara di sisi lain, perekonomian nasional berdiri dengan tubuh yang besar tapi tak berotot dan minim vitalitas. 

Kebijakan Jokowi justru jadi nutrisi negara lain

Kebijakan infrastruktur pemerintah sejak era Jokowi nyaris secara kasat mata menjadi pasar bagi negara lain alias menjadi sumber nutrisi bagi negara lain. Salah satunya ya proyek pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung. Proyek yang bikin Cina menang banyak.

Kenapa bisa begitu? Industri dalam negeri sendiri belum bisa mendukung pembangunan yang selama ini berjalan. Ironisnya, industri dalam negeri itu yang akan menjadi bahan dasar proyek-proyek infrastruktur, termasuk, iya betul, pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung.

Melihat kondisi itu, kita hanya bisa mendatangkan barang modal dan pembiayaannya dari luar. Impor barang modal dan barang konsumsi bakal meningkat seiring menggunungnya utang perusahaan-perusahaan pelat merah bidang konstruksi.  

Berbeda dengan Jepang, Korsel, Taiwan, dan sekarang Cina. Keempat negara tersebut menjadikan proyek infrastruktur sebagai bagian dari proyek industrialisasi nasional. Sehingga, infrastruktur tidak saja menjadi salah satu bentuk kebijakan countercyclical pemerintahan, tapi juga jadi tahapan dalam mematangkan proses industrialisasi di negara mereka masing-masing.

Proyek infrastruktur cuma proyek balas budi

Secara ekonomi politik, saya menduga, proyek-proyek infrastruktur juga menjadi salah satu bagian dari politik balas budi Jokowi kepada para pihak, terutama oligar ekonomi, yang telah berjasa kepada koalisi politik pemerintahan. Ini dugaan saya, ya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejak Orde Baru tumbang, semakin hari, kue ekonomi nasional menjadi bancakan oligarki warisan rezim lama, dengan konsesi-konsesi pembiayaan politik pada berbagai aktor dan partai politik. Bahkan tak sedikit di antara oligarki ekonomi tersebut telah lama “menginvasi dunia politik,” menduduki partai-partai, dan kemudian akhirnya terang-terangan berdiri bersama kekuasaan hasil kontestasi demokrasi elektoral.

Cina menang banyak dari proyek kereta cepat Jakarta Bandung

Nah, dalam konstelasi ekonomi politik semacam itulah proyek kereta cepat Jakarta Bandung hadir. Perpaduan antara tatanan ekonomi oligarkis dengan ambisi global Cina termanifestasi dengan sangat vulgar di dalam proyek ini. 

Oleh karena itu, urusan kereta cepat Jakarta Bandung ini lebih komplek dari yang kita bayangkan. Proyek ini tidak saja terkait dengan kalkulasi ekonomi, bisnis, dan keuangan yang sangat oligarkis di ranah domestik. Proyek kereta cepat juga terkait ambisi merkantilisme global Cina dalam mendorong platform Belt and Road Initiative (BRI) dan Maritime Silk Road (MSR).

Secara matematis, tentu Indonesia kalah banyak dan Cina menang banyak. Kasarnya, Indonesia ibarat membeli kereta api mainan dari salah satu pabrikan mainan Cina. Mulai dari pembiayaan (utang kolaborasi 4 BUMN), pengerjaan, suplai barang modal (termasuk teknologi), dan bahkan sebagian tenaga kerja, Cina justru menang banyak. Kita bisa memperkirakan kelak bahwa ongkosnya akan membengkak.

Cina bakal caplok proyek strategis di Indonesia

Dari sisi geo-ekonomi, Cina juga menang banyak. Sedari awal, kita semestinya paham bahwa Belt and Road Initiatives bukan hanya simbol penguatan Cina di pentas ekonomi global. Rencana tersebut adalah simbol peningkatan komplikasi persoalan di dalam banyak BUMN mereka, terutama sejak krisis keuangan global 2008 lalu. 

Saat itu, Cina menyuntikan stimulus 4 triliun yuan lebih dalam bentuk kredit yang membuat BUMN-BUMN industri strategis Cina overproduksi (bahkan sangat overproduksi) mulai dari besi, baja, alumunium, dan semen berlimpah di dalam negeri China di satu sisi dan gelembung utang dan pasar properti di sisi lain.

Dengan menerima mentah-mentah platform ekonomi merkantilistik China tersebut, secara langsung maupun tak langsung, proyek BRI menjadi salah satu jawaban bagi Cina dalam membereskan berbagai persoalan BUMN industri strategisnya. China Railway, salah satu BUMN Cina juga mengalami persoalan di neraca keuangan.

Pemerintahan Cina akan ikut terlibat memperbaiki balance sheet BUMN pelat merahnya jika berhasil menjual jasa konstruksi di luar negara (services exports), dengan jaminan pembiayaan dari the big four BUMN perbankan Cina, salah satunya CBD (China Development Bank). Dengan kata lain, jika pemerintah tak jeli, maka proyek-proyek infrastruktur di Indonesia akan menjadi instrumen China dalam memperbaiki ekonominya, bukan malah memperbaiki ekonomi kita

Indonesia harus nego ulang

Dengan kondisi yang sudah demikian, saya kira, pemerintah perlu menghitung ulang proyek kereta cepat Jakarta Bandung, lalu menyiapkan langkah untuk renegosiasi. Jokowi harus menyiapkan beberapa pertimbangan. Misalnya, jika ternyata tak masuk akal secara bisnis dan kurang fungsional terhadap perbaikan kapasitas ekonomi nasional, sebaiknya dibatalkan, lalu diulang kembali dengan kalkulasi yang lebih masuk akal dan mitra yang lebih bisa bergandengan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Semuanya demi menghindarkan Indonesia dari skema debt trap yang dialami Sri Lanka atau Djibouti. Pada akhirnya, proyek negara di sana menjadi milik Cina dalam rentang waktu yang panjang. Malaysia membatalkan proyek kereta cepatnya dengan Singapura dalam kerangka BRI. Montenegro, baru-baru, ini juga menoleh ke Uni Eropa untuk meminta bantuan agar terlepas dari skema merkantilistik tersebut. Indonesia bisa belajar banyak dari kedua negara tersebut. 

Sebut saja Malaysia, misalnya. Tak tunggu lama-lama. Setelah menumbangkan Najib Razak, Mahathir Mohamad langsung bergerak. 

Berkaca dari gerak Mahathir

Mahathir membekukan sejumlah proyek BRI di Malaysia, termasuk proyek East Coast Rail Link senilai $20 miliar dan kereta cepat senilai $16 miliar dari Kuala Lumpur ke Singapura, serta dua proyek pipa gas di negara bagian Sabah. Mahathir memperkirakan Malaysia dapat memotong hampir seperlima dari $250 miliar utang nasionalnya dengan membatalkan proyek-proyek tersebut

Politisi senior itu kemudian pergi ke Beijing untuk menjelaskan posisinya terkait keputusan pembekuan tersebut, sambil menunggu hasil negosiasi ulang terkait syarat-syarat baru proyek. Mahathir berhasil membujuk Cina untuk menghidupkan kembali East Coast Rail Link sepanjang 648 kilometer pada April 2019.

Cina akhirnya setuju untuk mengurangi biaya konstruksi dan segala biaya penyelesaiannya, dari $15,81 miliar turun menjadi $10,7 miliar. Malaysia memulai kembali proyek tersebut pada Juli 2019 (David Shambaugh, 2022). Pendeknya, nggak ada salahnya jika Jokowi memasukan opsi renegosiasi ke dalam strategi penyelesaian proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Tolong dengarkan. Semoga.

BACA JUGA Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Ronny P. Sasmita

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version