Setiap kali memasuki bulan Ramadan, di berbagai media bertebaran aneka kiat dan siasat. Dari mulai siasat agar tidak merasakan lemas, sampai kiat agar tidak merasa lapar dan haus. Aneh sekali.
Puasa itu diadakan oleh Tuhan karena Dia tahu manusia tidak suka dalam keadaan haus dan lapar. Ibadah memang dibuat dengan mekanisme seolah tidak disukai manusia yang akan menjalaninya. Justru di situ nilai penting ibadah: ketertundukan. Ikut. Manut. Bersiap sedia, sekalipun tidak berat menjalaninya. Sekalipun kita tidak suka menjalankannya.
Siang menyengat, kita diminta datang ke masjid, berpanas-panasan untuk salat Jumat. Kita diminta bangun pagi sebelum matahari terbit, untuk melaksanakan salat Subuh. Kita diminta membagikan rezeki kita yang seolah-olah sudah susah-susah kita cari, dalam bentuk zakat mal. Kita diminta menyembelih kambing atau sapi, yang bagi banyak orang, harganya tidak murah. Kita disuruh berpuasa, menahan lapar dan haus, dari fajar menyingsing hingga beduk Magrib.
Memang pada titik tertentu, setelah melewati sekian ibadah dengan laku ilmu dan hikmah, bagi manusia-manusia tertentu menjalankan ibadah sudah bukan lagi tantangan, malah menyenangkan. Banyak sekali orang yang sangat merindukan salat, dan bisa menjalankan salat sampai lama, menikmatinya dengan khusyuk. Tapi itu semua bisa dicapai, berawal dari hal yang terasa berat. Tidak tiba-tiba kesadaran menikmati ibadah itu ada. Butuh ilmu, proses, dan permenungan yang mendalam. Termasuk bersabar dalam mengalami perjalanan spiritual.
Ramadan bagi banyak orang juga dilalui dengan kesadaran bahwa kita semua akan mengalami masa di mana di siang hari tenggorokan terasa kering, tidak bisa merokok, badan agak lemas, tapi banyak juga yang merindukannya. Karena di balik apa yang susah dan menantang, ada sesuatu yang menyenangkan. Saat Magrib tiba. Saat segelas es teh atau kolak atau sirup membasahi kerongkongan kita. Kehangatan saat berbuka dan sahur dengan keluarga. Saat semua orang merasa harus menjaga diri dan lisan mereka. Saat masjid-masjid lebih semarak, dll. Itu belum jika kita bicara soal balasannya di akhirat.
Sebab kemampuan manusia dalam menjalankan ibadah keagamaan salah satunya adalah menemukan manfaat dan kegembiraan, di balik semua yang tampak tidak menyenangkan. Bahwa akan senang di akhirat sebagai balasan dari itu semua, tentu saja iya. Tapi manusia berhak menemukan kegembiraan dan kesenangan yang merupakan hasil dari refleksi dan mengalami semua ibadah tersebut. Maka itu, selalu ada gairah dalam semua jenis ibadah. Seolah ada “pesta” dalam setiap ritual. Manusia mengubah tantangan menjadi kegembiraan.
Dalam shalawatan, ada lagu-lagu yang dinyanyikan dan didaraskan untuk memuji kekasih kita Kanjeng Nabi Muhammad saw. sehingga air mata kita meleleh, terisak, berpadu antara rasa kangen, terima kasih, sekaligus rasa gembira. Demikian juga saat kita berlelah-lelah dan berpanas-panas dalam menjalankan ibadah haji. Sudah lupa kalau biayanya mahal. Bahkan ingin ke sana dan ke sana lagi, tanpa berpikir uang lagi. Kalau punya uang, daripada ditabung, lebih baik ke sana. Hal seperti itu dialami oleh banyak orang.
Dengan begitu, sebetulnya sangat mudah diketahui bahwa manusia itu punya dimensi sebagai makhluk spiritual. Tidak semua pertimbangan hidupnya semata ekonomi, biologi. Ada laku tertentu, ada pemahaman tertentu, yang melampaui segala yang bersifat ekonomis dan biologis.
Benar bahwa menjalankan ibadah puasa itu berarti merasakan lapar dan haus. Tapi itulah sumber kenikmatannya. Jadi kalau di bulan seperti ini, masih mencari kiat bagaimana supaya menjalankan puasa tanpa rasa lapar dan haus, berarti belum memahami bahwa begitulah ibadah, dan justru itulah mula manusia menempa pengalaman spiritualnya.
BACA JUGA Mistisisme Jawa dalam Bersih-bersih sebelum Puasa Ramadan dan esai Puthut EA lainnya.