Sebetulnya, saya bukan termasuk orang yang memandang ritual tahunan mudik dengan rasa melankolis. Mudik atau tidak mudik, bukan hal yang terlalu memberatkan hati saya. Bisa mudik bagus, tidak mudik juga tak mengapa. Tapi kali ini berbeda….
Lebaran tahun ini adalah lebaran yang berbeda bagi keluarga kami. Ibu saya meninggal dunia tahun lalu, dan ini adalah Lebaran pertama bagi keluarga kami tanpa kehadiran Ibu. Itu tentu hal yang sangat berat. Bagi saya, dan tentu saja bagi Bapak. Di kampung saya, Bapak tak punya keluarga.
Bapak hijrah ke kampung kami dari kota kelahirannya untuk tugas bekerja. Di kampung kami, akhirnya dia bertemu dengan Ibu, dan akhirnya mereka menikah. Sehingga sebetulnya di kampung, Bapak tidak punya saudara. Setelah kepergian Ibu, satu-satunya yang membuat Bapak bertahan dan berusaha tetap gembira di usia sepuhnya adalah karena ada saya, istri saya, dan Kali, cucu laki-lakinya.
Lebaran di rumah kami adalah saatnya Ibu saya yang bertindak menjadi nakhoda. Saya tahu persis itu. Di bulan-bulan lain, Bapak yang menjadi nakhodanya. Dia mengurusi banyak hal. Di bulan Puasa dan saat Lebaran, berbeda. Setiap Ramadan, Bapak bergiliran menjadi imam dan mengisi kajian di beberapa musala di kampung kami. Bapak bukan seorang cendekia. Namun, untuk ukuran kampung kami, karena beliau adalah pensiunan guru dan punya akses buku-buku, serta punya kemampuan menyampaikan sesuatu dengan mudah dan lancar, beliau sering diminta untuk ceramah.
Maka di saat Ramadan itulah, Ibu mengambil kendali. Menu berbuka puasa dan sahur, selalu Ibu yang menyiapkan secara khusus. Apalagi saat Lebaran. Persiapan kue apa saja yang akan dihidangkan, perubahan dekorasi rumah, menu Lebaran, penyambutan tamu, mempersiapkan uang untuk angpao, semua di tangan Ibu. Dengan begitu, saya paham sekali bahwa Lebaran nanti, mungkin akan ada badai kesedihan lain yang akan melanda Bapak. Hampir pasti, beliau akan terasa lagi kehilangan sosok yang paling dicintainya karena di saat itulah biasanya kesigapan Ibu terasa.
Atas alasan itulah, jauh hari, saya berjanji kepada Bapak dan kepada anak serta istri saya kalau kami akan menemani Bapak. Menemani dalam jangka waktu yang lama. Saya dan Istri ingin mengambil kendali segala hal yang dulu ditangani Ibu. Sekaligus, kami tidak ingin membiarkan Bapak kesepian menyambut tamu.
Tapi semua hampir gagal karena aturan Pemerintah. Ketika aturan pertama kali dikeluarkan, Bapak dan keluarga kami masih sempat optimistis bisa kumpul. Saya akan mudik mendahului ketentuan aturan mudik. Terlebih gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sempat memberikan pernyataan kalau mudik sebelum tanggal yang dilarang oleh Pemerintah, diperbolehkan. Begitu aturan kedua dikeluarkan oleh Pemerintah, saya mulai pesimistis bisa mudik. Bapak masih berusaha optimistis. Dia yakin, saya akan menemukan cara untuk membawa istri dan anak saya ke kampung. Rasa optimistis itu keluar dari perasaan yang tahu betul bahwa dia butuh teman di saat Lebaran. Bapak tidak ingin sendirian.
Saya dan Bapak, pada banyak hal termasuk orang yang selalu ikut saja apa maunya pemerintah. Tapi khusus kali ini, rasanya agak berbeda. Jiwa membangkang saya agak meletup.
Ternyata apa yang saya rasakan, juga dirasakan oleh banyak kawan saya. Padahal mereka tipikal orang yang jauh lebih nurut pemerintah dibanding saya. Lalu saya mencoba mengorek, kenapa ada perasaan ingin membangkang khusus kali ini. Betulkah semata hanya persoalan mudik?
Tentu setiap orang berhak punya pendapat dan tautan batin dengan mudik. Lebaran tahun lalu, semua kawan saya tidak ada yang mudik. Itu sesuai dengan anjuran pemerintah, dan situasi saat itu memang berbeda. Situasi bahwa kita sama-sama sedang menghadapi pandemi korona, tampak jelas terjadi di sekeliling kita. Semua siaga. Semua berusaha saling menjaga.’
Nah, inilah yang sebetulnya sangat mengganggu. Di kehidupan sehari-hari, di kenyataan yang kami alami saban hari, situasi semua siaga menghadapi korona sudah tidak ada lagi. Jalanan sudah ramai. Aturan tidak ditegakkan. Bahkan di Yogya, pada hari-hari tertentu, macetnya sudah melebihi mudik. Itu juga mungkin yang dirasakan banyak orang. Dengan situasi yang nyaris tak ada apa-apa lagi, kenapa tiba-tiba mudik dilarang? Dan yang paling aneh lagi, tempat wisata dibuka.
Semua orang yang suka mudik tahu, tempat wisata pada saat mudik adalah hal yang paling menimbulkan kerumunan. Saya menyaksikan sendiri di Yogya, saat terjadi libur akhir pekan yang panjang, tempat wisata seperti tak ada tanda-tanda bahwa wabah korona masih mengintai kita. Ratusan bahkan mungkin jutaan orang membanjiri Yogya memenuhi tempat-tempat wisata, dan tidak saya lihat ada indikasi bagaimana aparat keamanaan atau semacamnya berupaya untuk menghadangnya. Bahkan tidak saya lihat upaya ada pengetatan protokol kesehatan.
Mudik dilarang, tapi tempat wisata dibuka. Saya yakin seyakin-yakinnya, berani bertaruh apa saja, jika itu dilaksanakan, percayalah bahwa tempat wisata akan meluber, dibanjiri wisatawan daerah tersebut. Dan mustahil standar protokol kesehatan diterapkan.
Rasanya, lebih mudah untuk mengatur orang mudik dibanding mengatur orang berwisata yang menumpuk. Misalnya diatur saja, pegawai swasta mudiknya dari tanggal berapa sampai tanggal berapa. Pegawai negeri dari tanggal berapa sampai berapa. Begitu seterusnya. Di kampung juga disiapkan manajemen kedatangan orang mudik. Dari mulai didata, diisolasi, kalau perlu diperiksa. Saat Lebaran juga diatur ketat, arus kunjungan bagaimana, cara menerima tamu bagaimana, ketua RT dan RW memastikan protokol kesehatan di masing-masing rumah warga. Kembali lagi harus ada tempat cuci tangan, harus maskeran, tidak boleh bersalaman, dll.
Saya berpikir, jika nanti misalnya, terjadi semacam ‘pembangkangan’ di jalanan, baik oleh orang mudik atau oleh misalnya para pekerja jasa transportasi, saya hakul yakin itu semua bukan semata karena mudik. Itu karena apa yang mereka lihat saban hari sudah longgar, nyaris tidak ada pengetatan apa pun, lalu tiba-tiba dilarang. Dan hal lain adalah sikap mencla-mencle pemerintah. Tidak konsisten. Tidak masuk akal bagi warga negara yang waras otak mereka. Ya seperti itu tadi, mudik dilarang tapi tempat wisata dibuka.
Kalau kemudian ada orang bilang bawa banyak orang di jasa pariwisata yang butuh makan, orang yang bekerja di jasa transportasi, yang juga kena imbas dari wabah ini, juga butuh makan. Bagi banyak orang yang lain, mudik, bertemu dengan orang tua dan kerabat, punya nilai tertentu yang tidak bisa ditakar dengan uang. Apalagi setelah hampir semua di antara mereka mengalami kesedihan. Entah itu kehiangan pekerjaan, kehancuran bisnis, kematian anggota keluarga, dll.
Ekonomi memang perlu kembali dipulihkan. Tapi luka batin karena pandemi juga mesti disembuhkan. Mungkin salah satunya adalah dengan bertemu keluarga di kampung. Bersujud di kaki orang tua. Menziarahi makam orang tua. Sebab ini hidup sedang berat-beratnya….
BACA JUGA Dua Jenis Mudik dan Perlukah Mudik Dilarang? dan esai Puthut EA lainnya.