MOJOK.CO – Hampir pasti Gibran Rakabuming maju sebagai calon wali kota Solo. Masalahnya, ia maju dengan disertai banyak drama. Gibran butuh calon wakil wali kota yang tepat untuk menangkis drama itu, dan sosok Agus Mulyadi adalah jawabannya.
Majunya Gibran Rakabuming sebagai bakal calon wali kota Solo menebarkan isu tak sedap. Isu apa lagi kalau bukan soal dinasti dan oligarki.
Tentu saja bagi pendukungnya, isu dinasti dan oligarki tidak relevan dengan kondisi politik mutakhir di Indonesia. Toh di Barat sana, sebagai kiblat demokrasi, dinasti politik juga terjadi. Di Indonesia juga. Kalau mereka boleh kenapa Gibran tidak?
Presiden Jokowi juga mengomentari hal senada, dengan dalih bahwa dinasti itu tidak sehat jika penguasa main tunjuk saja sebagaimana era Orde Baru. Sedangkan sekarang, tetap warga negara yang memegang kuasa. Kalau memang Gibran tidak disukai warga Solo, tentu tidak akan dipilih.
Alasan di atas tentu mudah ditentang. Dalam teori ilmu sosial dan politik, tidak serta merta warga negara punya kuasa. Karena ada berbagai modal yang bertarung di sana. Utamanya modal sosial, ekonomi, dan politik. Gibran punya semua. Suka tidak suka, dia adalah putra seorang presiden. Dia juga maju dari partai yang sedang berkuasa. Dia didukung oleh partai-partai besar selain PDIP. Dari situ jelas, modal Gibran jauh lebih unggul dibanding bakal calon lain.
Bahkan saya menduga, tidak tertutup kemungkinan, jika Gibran maju, kemungkinan hanya akan melawan kotak kosong. Atau, melawan calon yang kekuatannya tidak berimbang. Walhasil, sang putra mahkota bakal melenggang, dan mungkin ini akan jadi batu pal penting dalam perjalanan politiknya. Dia kelak bisa maju sebagai calon gubernur Jawa Tengah, dan jika itu bisa digenggamnya, dia akan menjadi salah satu figur politikus penting dalam beberapa tahun ke depan.
Masalahnya, dia butuh seseorang yang mampu mengurangi derajat tudingan dinasti politik dan oligarki. Salah satunya, tentu saja dia membutuhkan bakal calon wakil wali kota yang pas. Calon pendamping yang berbeda kutub dengannya. Siapakah dia?
Menurut saya, figur itu tak lain dan tak bukan adalah Agus Mulyadi.
Agus berbeda nasib dengan Gibran. Gibran pintar memilih bapak, Agus tak seberapa pintar. Sekalipun begitu, dia bangga dan bahagia dengan bapaknya.
Bapak Gibran seorang presiden. Bapak Agus berprofesi sebagai hansip yang kadang nyambi jualan es degan.
Nasib yang terpaut jauh dari kecamata garis tangan ini merupakan cara yang elegan bagi Gibran. Dia bisa beralasan bahwa mungkin dia bisa dituduh bagian dari langgam dinasti politik. Tapi wakilnya tidak.
Kutub yang berbeda juga didapat dari sisi modal pendidikan. Gibran lulusan sekolah luar negeri. Sementara Agus cukup lulus SMA. Dengan begitu, Gibran bisa berkampanye bahwa sekolah tinggi tak menjamin seseorang bisa sukses. Orang yang dari keluarga biasa saja seperti Agus pun bisa menjadi sosok yang sukses.
Hal lain, Gibran “asli” Solo. Sementara Agus bukan berasal dari Solo melainkan dari Magelang. Warga Solo mungkin tidak tahu siapa Agus Mulyadi, tapi setidaknya Agus akrab dengan Solo. Sebagaimana banyak kita ketahui, Agus menikah dengan perempuan yang lulusan UNS. Masa pacaran Agus dan istrinya, tentu saja cukup banyak dihabiskan di Solo. Jadi jangan heran ketika kelak Agus mendampingi Gibran, beberapa pedagang pecel lele bisa membuat efek viral: ”Calone Mas Gibran kae, mbiyen sering tuku pecel lele neng nggonanku lho!”
Kutub lain adalah Gibran cenderung agak kaku dalam mengartikulasikan gagasannya. Secukupnya. Sementara Agus sangat lancar dalam soal nggedabrus. Sehingga ketika memasuki fase kampanye dan debat publik, Gibran tak perlu risau. Dengan kelincahan Agus dalam berkata-kata, musuh politiknya bukannya benci malah tertawa. Politik menjadi lebih rileks dan ger-geran.
Terakhir, Agus bisa menambal kekurangan Gibran dalam bidang musik. Sebab Agus cukup terampil berjoget, tak canggung menyanyi campur sari, dan tak akan punya hambatan untuk berbaur dengan lautan massa di panggung-panggung dangdut.
Gibran bisa dianggap bagian dari politik dinasti, sementara Agus bisa membuat manuver dengan membentuk Orkes Melayu Dinasti. Gibran bisa diserang dalam isu oligarki, Agus bisa ngeles, “Kalau Gibran bagian dari oligarki, maka saya adalah bagian dari figur tap-tapan oli.”
Jika mereka berdua kelak maju berpasangan, maka singkatan nama mereka pun menohok: GIRANG GUMUYU! Gibran Rakabuming-Agus Mulyadi dan kamu!
(Sambil menulis ini, saya membayangkan Kalis Mardiasih menjadi ibu wakil wali kota Solo….)
BACA JUGA Ironi PSI: Bendung Figur Populis Anies Baswedan dengan Cara Populis dan esai PUTHUT EA lainnya.