MOJOK.CO – Tidak adil jika kita berlebihan menuntut Slank harus mengkritik Jokowi, dan berlebihan pula mengharuskan Abdee Slank punya kapasitas untuk menjadi komisaris Telkom.
Sudah beberapa tahun ini, banyak netizen yang nyinyir terhadap grup musik Slank. Mereka bilang, Slank sudah tidak lagi kritis. Apalagi grup band ini dianggap membisu atas upaya berbagai pihak yang ingin melemahkan KPK. Tekanan terhadap Slank semakin besar ketika salah satu personel Slank yakni Abdee Negara, diangkat sebagai salah satu komisaris Telkom.
Pertanyaan yang paling mendasar dari itu semua adalah kenapa Slank harus mengkritik Jokowi? Atas dasar apa mereka harus menjadi pengkritik Jokowi? Pertanyaan selanjutnya, kenapa Abdee Slank tidak boleh jadi komisaris Telkom?
Mari coba kita bedah satu per satu pertanyaan di atas. Kenapa Slank harus mengkritik Jokowi? Bukankah sejak pilpres 2014, mereka dikenal sebagai pendukung Jokowi? Pendukung kok mengkritik? Kalau pendukung melakukan kritik, itu berarti pendukung kritis. Atau biasa disebut loyalis-kritis. Tapi ada juga loyalis jenis lain yaitu loyalis-murni-dan-konsekuen. Kalau pun loyalis terakhir itu mengkritik, mungkin lewat jalan lain. Jalan yang tidak perlu diketahui oleh publik. Tapi istilah “kritik” dalam konteks itu tidak terlalu tepat. Istilah yang tepat adalah “memberi masukan”.
Publik terlalu menuntut Slank harus selalu kritis. Pertanyaannya adalah, yang mengharuskan itu semua siapa? Ingat, grup musik Slank beranggotakan manusia. Setiap manusia melalui tahapan-tahapan psikologisnya.
Hal yang sama juga selalu dituntut pada Iwan Fals. Padahal Iwan Fals juga manusia. Baik Slank maupun Iwan Fals, pernah berada di tahapan bengal, kritis, lalu makin melandai karena faktor usia sehingga berada di zona “bijak”.
Ibaratnya, jika waktu muda, ada orang korupsi, Slank berteriak: “Hancurkan koruptor!” Begitu sudah mulai bijak, yang muncul semacam: “Namanya juga manusia, kadang kepeleset, mungkin dia sedang khilaf sehingga korupsi.”
Netizen menuntut Slank membela KPK seperti dulu saat KPK dizalimi. Mungkin saja mereka berpikir bahwa korupsi di Indonesia itu sudah tidak separah dulu. Sudah mulai membaik. Sehingga tidak perlu teriak keras-keras. Mungkin juga para anggota Slank seperti kita, mudah lelah dalam menghadapi sesuatu. Kalau kita boleh lelah, kenapa Slank tidak boleh?
Personel Slank juga manusia. Atau mereka sudah berada dalam tahap “spiritualis-politik”, yang berpikir bahwa tidak mungkin dalam sebuah negara tak ada korupsi. Wajar kalau ada korupsi. Justru kalau tidak ada korupsi malahan tidak wajar.
“Tapi kan seniman adalah mata batin rakyat?” Begitu tuntut mereka. Kayaknya konsep itu mesti direvisi, deh… Hal seperti itu terlalu membebani seniman. Konsepnya harus diubah menjadi: Seniman adalah manusia biasa yang butuh makan. Kalau konsepnya demikian kan tidak terlalu berat.
“Tapi Slank tidak konsisten!” Teriak mereka. Lho siapa yang meminta dalam hidup ini harus konsisten? Bagi mereka, mungkin hidup ini harus luwes. Siapa yang tidak luwes maka akan susah bertahan dalam kemapanan hidup ini. Menurut saya sih Slank itu luwes, bukan inkonsisten. Luwes beradaptasi dengan zaman. Luwes mengakrabi rezim. Luwes dalam melakukan laku kesenian.
Para netizen sibuk mengutip lagu-lagu Slank yang antikorupsi, misalnya: “Hidup sederhaanaaa, gak punya apa-apa tapi banyak cintaaaa… Hidup bermewah-mewahan, punya segalanya tapi sengsaraaa. Seperti para koruptor!” Kutipan itu benar adanya. Tapi ingat… Pertama, itu hanya lirik lagu.
Namanya lirik lagu, tidak harus selalu dilakukan dan dikerjakan. Kedua, kan Slank itu grup musik. Jelas bukan koruptor. Ketiga, namanya karya seni, pasti dibuat berdasarkan konteks zaman. Mungkin di saat lagu itu dibuat, Slank memang benci banget dengan koruptor. Tapi sekarang ini kan tidak harus benci koruptor. Siapa kalian, kok mengharus-haruskan Slank? Teman tidak, keluarga juga bukan, kok mengatur-atur mereka? Lagian, ingat kan pesan bijak? Kalau benci jangan terlalu, nanti bisa cinta. Begitu…
“Apa kapasitas Abdee Negara sehingga bisa menjadi komisaris Telkom? Tahu apa dia soal Telkom?” Lho, lho, lho… Sabar, dong. Tenang. Jangan ngegas.
Sejak kapan di negeri ini, yang namanya komisaris BUMN harus punya kapasitas? Namanya komisaris BUMN itu memang ajang untuk berbagi rezeki dari penguasa kepada pendukung atau relawannya. Relawan kan yang bersusah payah memenangkan jagoan mereka. Sementara penguasa niatnya baik, tahu rasa berterimakasih dengan cara berbagi kursi komisaris BUMN. Apa yang salah dengan itu?
Saya kira, tidak adil jika kita berlebihan menuntut Slank harus mengkritik Jokowi, dan berlebihan pula mengharuskan Abdee Negara punya kapasitas untuk menjadi komisaris Telkom. Kita harus banyak berkaca dan menyadari hidup di negeri yang seperti apa. Tenang. Tarik napas… lepaskan… Tenaaang, tarik napaas… lepaskan….
Bismillah, semoga dengan tulisan ini, saya ditelepon untuk jadi komisaris apa gitu, yang mudah kerjanya tapi dapat fasilitas yang nyaman, dan uang yang melimpah. Sebab kerja keras itu tidak enak. Amin….
BACA JUGA Menonton Tarian Politik Puan Maharani dan tulisan lainnya dari Puthut EA di rubrik KEPALA SUKU.