MOJOK.CO – Jangan sampai, kekalahan Juventus membuat kita menjadi wasit akan banyak hal. Harus ada analisis, permenungan, dan belajar dari akarnya.
Saya menonton beberapa kali siaran ulang laga Madrid menjamu Juventus. Keajaiban hampir terjadi lagi. Juventus sangat ofensif. Madrid juga moncer.
Lalu, drama mulai dipentaskan di atas lapangan. Satu per satu gol Juventus terjadi. Tiga gol. Dahsyat. Semua gol cemerlang. Kalau Madrid tidak membuat gol itu lebih karena Gianluigi Buffon tampil luar biasa.
Kemudian klimaks terjadi. Pada menit ke-96, wasit menunjuk titik penalti. Saya ulang beberapa kali, dan tidak melihat ada pelanggaran. Kalaupun ada, tidak selayaknya wasit memberi hukuman seperti itu, terlebih di masa waktu hampir habis.
Wajar kalau Buffon marah. Sepak bola sering membuat marah. Terlebih ketika sepak bola kehilangan sisi sport, sportif, spirit, spiritual. Itu pentingnya belajar sejarah dan akar kata.
Saya tidak suka Juventus, sama seperti saya tidak suka Manchester United atau klub-klub dominan lain. Tapi, yang dilakukan wasit kepada Juventus sangat melukai banyak orang yang menyukai sepak bola sebagai sport, bukan game saja. Itulah pentingnya belajar kata dan akar kata. Makanya penting belajar apa itu “fiksi”.
Banyak orang berpikir apalah arti kata. Tidak penting. Kalau kata tidak penting, tidak akan ada bahasa. Kita mau bilang bahasa tidak penting?
Salah satu problem bahasa adalah serapan. Hukum serapan, sering membekukan dan menyederhanakan. Demikian juga dengan aturan. Setiap aturan yang dibuat selalu ada kecenderungan untuk menyederhanakan. Dan aturan dibuat untuk ditaati. Demikian juga di dalam olahraga.
Dalam sepakbola ada wasit. Dia punya otoritas. Seiring perkembangan zaman, otoritas wasit makin dibatasi. Ada wasit keempat, ada pengawas wasit, dan wasit pun bisa kena sanksi.
Tapi wasit tetap punya otoritas terhadap jalannya pertandingan. Peluit di mulutnya adalah aturan yang dikristalkan. Seperti palu pada hakim.
Dalam kasus Juventus, orang bisa berdebat apakah itu pelanggaran atau tidak, atau apakah pelanggaran semacam itu layak diberi hukuman dengan tendangan penalti. Tidak semua pelanggaran di kotak penalti harus dihukum penalti. Wasit punya pertimbangan.
Kita sering menyaksikan ada pelanggaran di dalam kotak penalti yang wasit tahu bahwa itu pelanggaran, tapi karena di wilayah yang berbahaya dan pelanggarannya hanya kecil belaka, wasit sengaja tidak meniup peluitnya. Salah, tapi tidak cukup syarat untuk dihukum keras. Jadi, kadang wasit cukup memberitahu kepada pemain, bahwa dia tidak boleh melakukannya lagi.
Atau ada banyak kasus, pelanggaran terjadi cukup keras, tapi tidak cukup syarat sah diberi sanksi penalti. Bermacam cara itulah yang membuat sepak bola menjadi tetap menarik.
Namun, hukuman yang dilakukan wasit kepada Juventus juga jamak terjadi. Balik lagi, wasit juga manusia. Dia juga bisa keliru, jengkel, capek, kehilangan fokus, dan kendali diri.
Hanya jangan salah juga, pemain juga manusia, apalagi suporter. Mereka juga punya analisis, pemikiran, ekspresi, dan rasa marah atas kekeliruan yang fatal. Kita bisa saja bilang, begitulah hidup. Tapi untuk mengatakan seperti itu, ada permenungan, upaya mencari tahu dan mencari jalan keadilan.
Kasus Novel Baswedan tidak bisa dibilang dengan, “Begitulah hidup ini.” Atau, “Dia sedang apes saja.” Atau. “Sudah takdirnya begitu.” Upaya mencari keadilan tetap harus ditempuh dan dijalani.
Kita juga bisa saja memupus pertandingan Juventus dengan bilang, “Sudah, takdirnya memang begitu.” Tapi tidak boleh juga meminggirkan pemikiran, analisis dan renungan, baik yang memihak Juventus maupun tidak.
Karena bahasa penghalusan, pemupusan, penghentian itu sama kerasnya dengan bahasa penistaan. Kata “takdir” dalam bahasa politik itu bisa berubah menjadi instrumen penindasan. Atau bisa untuk memeriksa sejauh mana hegemoni bekerja.
Sementara itu, di sisi yang lain, takdir merupakan instrumen keilahian untuk mengukur kadar ketaatan seorang hamba. Kepasrahan yang mendalam. Penghambaan yang utuh pada Sang Pencipta. Takdir dalam konteks ini sepertinya tanpa daya padahal justru punya daya yang luarbiasa.
Kalau dua istilah “takdir” itu diletakkan sama persis, jelas tidak bisa. Takdir ala Freirean tentu berbeda dengan takdir ala spiritual. Tidak ketemu. Dan tidak adil kalau menghukum para pengguna istilah takdir dalam konteks Freirean dengan kacamata spiritual. Juga sebaliknya.
Tapi hal seperti itu hanya bisa dipahami bagi orang yang belajar tentang Freire dan belajar soal spiritualisme. Sementara kita ada dalam kecenderungan untuk mulai tidak percaya istilah, mengeraskan bahasa, membekukan ragam pengertian.
Kalau hal seperti ini diteruskan, kita akan masuk ke era “kehidupan peluit”. Sedikit-sedikit disemprit. Salah dikit, kena penalti. Kita bisa jadi masyarakat yang jumud kalau dikit-dikit dilaporkan ke polisi, dianggap penistaan. Pikiran dibekukan. Pendapat dibatasi. Ekspresi dimatikan.
Nanti orang tidak mau lagi menulis dan membacakan puisi. Orang-orang malas mencari definisi. Di mana-mana, semua orang sudah jadi wasit dan polisi.
Prit!