MOJOK.CO – Masih mempertahankan kampanye gaya lama, menyerang personal, menyerang kaum golput, hingga anggapan memanfaatkan fasilitas negara, Jokowi bisa kalah dari Prabowo.
Sejak semalam, ponsel saya “tang tung tang tung” melulu. Di Arab Saudi, waktu memang terpaut empat jam dengan di Indonesia. Jadi di Indonesia, mungkin banyak teman saya yang baru saja membaca hasil survei Litbang Kompas.
Banyak kawan meminta saya “mempertanggungjawabkan” perkataan saya sekira dua minggu lalu. Saat itu, di sebuah acara diskusi situasi politik Indonesia mutakhir, saya memprediksi pada awal bulan Maret, selisih suara Jokowi-Ma’ruf dengan Prabowo-Sandi hanya tinggal terpaut 12 persen.
Dan, Litbang Kompas, merilis hasil survei mutakhir mereka yang menyatakan hal serupa. Persisnya, selisih elektabilitas Jokowi-Ma’ruf dengan Prabowo-Sandi sebesar 11,8 persen.
Berbagai pesan yang masuk di ponsel saya kebanyakan bertanya dua hal: bagaimana saya bisa menganalisis yang hampir sama dengan survei Litbang Kompas? Mengingat, Litbang Kompas salah satu lembaga yang kredibel. Kedua, bagaimana kira-kira dengan perkiraan hasil akhir kompetisi ini?
Sebetulnya nyaris tidak ada yang mengagetkan dalam hasil survei Litbang Kompas. Jamak terjadi, suara paslon yang mencoba menantang petahana pasti akan mengalami kenaikan cukup kuat dan makin kuat menjelang hari H pencoblosan. Terlebih, Prabowo sudah pernah berlaga dalam dua kali pilpres sebelumnya, plus memimpin sebuah partai. Dia tahu persis caranya melewati kompetisi langsung semacam ini.
Hanya saja yang mengagetkan, jujur saja termasuk saya, suara Jokowi bisa turun 3,4 persen. Bagi Anda yang belajar atau pelaku politik elektoral, ini angka yang sangat besar. Inkamben biasanya naik pelan menjelang hari H, atau stagnan. Jadi ini yang justru harus diperhatikan oleh timses Jokowi. Apalagi jika memperhatikan angka undecided voter yang masih cukup tinggi yakni 14,7 persen.
Dengan begitu, hampir bisa dipastikan penurunan suara Jokowi-Ma’ruf yang berimbas pada mendekatnya jarak Prabowo-Sandi adalah murni dari persoalan luputnya strategi pemenangan timses Jokowi-Ma’ruf.
Hal lain yang perlu diperhatikan bagi timses Jokowi-Ma’ruf adalah pasangan Prabowo-Sandi memenangi suara generasi Z dengan selisih hampir lima persen. Sementara itu, pada suara milenial muda dan milenia matang, Jokowi-Ma’ruf masih unggul. Namun, melihat besarnya pemilih milenial muda dan matang yang memilih pasangan 02, pasangan 01 perlu waspada.
Kita semua tahu bahwa generasi Z dan milenial, baik muda maupun matang, punya sikap otonom dan menguasai peranti digital serta media sosial dengan baik. Itu artinya, jika mereka melakukan aktivitas pemilih aktif, keadaan ini bakal menambah buruk situasi pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Dari sisi ini saja, ada kekeliruan fatal timses Jokowi-Ma’ruf dalam menyigi psikologis pemilih pemula dan pemilih muda. Cara berkampanye model lama masih diteruskan. Termutakhir, cara berkampanye yang menyerang pribadi dan rumah tangga Prabowo, justru menempelak balik Jokowi.
Isu seperti itu sangat tidak disukai oleh generasi Z maupun milenial. Tren medsos saat itu langsung menunjukkan ketidaksukaan massal model kampanye tim medsos Jokowi-Ma’ruf. Dan tentu saja yang kena imbasnya adalah suara pasangan ini.
Berkampanye itu bukan soal apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh juru kampanye. Tapi mencoba mengajak dengan isu dan tema yang pas pada suara terbidik. Juru racik kampanye boleh saja tidak suka kopi, tapi di masyarakat yang suka kopi, mereka harus bicara kopi dan mengaitkan pentingnya kopi dengan calon yang didukung. Karena itu, juru racik kampanye mensyaratkan kepala dingin.
Isu lain yang mesti harus ditangkal adalah menyebarnya dengan cepat pasangan Jokowi-Ma’ruf menggunakan fasilitas negara. Dukungan dan konsolidasi gubernur, bupati, dan kepala desa menggunakan dana negara, dianggap sangat buruk. Sebab hal ini bertabrakan dengan citra Jokowi yang selama ini tertanam di masyarakat: sederhana, tidak punya ambisi ekonomi, bersih, dan merakyat.
Sementara timses Prabowo-Sandi mampu mendiseminasi dan mengeksploitasi isu ini. Tabrakan antara citra Jokowi dan racikan strategi kampanye timses Prabowo-Sandi menghasilkan kontraksi psikologis di tingkat pendukung Jokowi. Ini hal yang harus segera dibenahi oleh timses Jokowi-Ma’ruf.
Dan lagi-lagi, kelemahan timses Jokowi-Ma’ruf adalah masih menyerang para pendukung golput. Tulisan Franz Magnis-Suseno tentang golput di Kompas, bisa menjadi contoh yang baik bagaimana isu ini direspons oleh golputers. Tulisan Magnis jadi bahan ejekan. Konsepsi penulis yang hampir dianggap filsuf itu, dihajar balik, diejek, dicampakkan, tanpa perlawanan sama sekali.
Sebagian pendukung Jokowi-Ma’ruf mulai menyadari betapa bahaya jika golputers ini diserang. Tapi sebagian lain masih melakukan strategi bodoh ini. Saya sudah mencoba mengingatkan soal ini beberapa bulan lalu. Tapi masih ada yang sadar dan ada yang meneruskan kebodohan hanya karena sikap egoistik.
Para relawan dan anggota timses mestinya berpegang teguh pada azas bahwa yang mereka pertarungkan itu Jokowi-Ma’ruf. Bukan sikap egoistik dan emosi mereka. Karena sikap itu jika hasilnya buruk, yang kena imbasnya adalah Jokowi-Ma’ruf. Dan sudah diperlihatkan dengan nyata pada hasil survei Litbang Kompas ini.
Terakhir, secara teoritis, dengan waktu 28 hari, angka 11,8 persen itu masih jauh dan sulit dikejar. Saya memprediksi jika timses Jokowi-Ma’ruf memperbaiki cara mereka berkampanye dan strategi mereka mendulang suara, pasangan ini akan menang dengan selisih suara delapan persen. Tapi jika timses mereka melakukan kesalahan-kesalahan tolol, yang lebih mengedepankan emosi mereka sendiri dibanding kemenangan Jokowi-Ma’ruf, pasangan ini bisa kalah tipis.
Suara Prabowo-Sandi memang bakal naik terus. Tapi tidak seharusnya Jokowi-Ma’ruf kalah. Kalau kalah, itu murni kesalahan strategi, kekeliruan menerapkan formula kampanye.
Seorang kawan saya yang menjadi timses Jokowi-Ma’ruf pernah menegur keras salah satu juru racik kampanye tim ini karena masih saja mereproduksi cara-cara buruk: “Bodoh boleh, tapi jangan di saat sekarang. Tanggalkan kebodohanmu di rumah!”
Saya kira dia benar.