Banyak hal yang kita kerjakan di dunia ini, yang entah oleh para ahli atau oleh orang sok tahu, dianggap bisa mencerminkan kepribadian kita. Bagi Anda yang kental dengan dunia buku, tentu tidak asing dengan pernyataan: Katakan buku yang kamu baca, niscaya saya akan tahu pikiran apa yang bekerja di otakmu. Atau dalam soal pergaulan, katakan siapa temanmu maka aku akan tahu siapa kamu. Dalam dunia kuliner pun kita akrab dengan kalimat seperti ini: Apa yang kamu makan mendefinisikan siapa sesungguhnya kamu.
Salah satu teman saya bahkan entah punya kesimpulan yang dipungut dari mana, bisa memperkirakan kepribadian manusia dari kondisi kucing atau anjing yang dipelihara seseorang. Bahkan ada yang menurut saya kok kayaknya berlebihan, tapi baru kemudian saya sadari bertahun-tahun setelah mendengar pernyataan itu yakni jika kita ingin tahu kondisi sebuah kantor, lihat saja kamar mandi di kantor tersebut.
Di antara sekian pernyataan yang seolah gegabah itu, namun sialnya lama-lama saya aminkan juga, saya percaya hubungan seseorang dengan kendaraannya. Dari mulai cara merawat, cara memarkir, sampai gaya berkendaranya, sesungguhnya membantu kita mudah “mengenali” kepribadian seseorang. Saya perlu memakai kata “mengenali” sebagai sebuah “proses kenal”. Bukan definisi yang baku dan saklek. Karena saya sangat percaya, kepribadian seorang manusia itu kompleks dan dinamis.
Saya mendengar kali pertama soal pernyataan itu ketika bertemu dengan seorang kawan yang kebetulan sedang berlatih yoga dan meditasi. Saya menduga saat itu, pernyataan itu mungkin dibantu oleh disiplin yoga dan laku meditasi yang rajin dilakoninya. Kata dia, lihat kendaraan orang, maka bisa membantu kita mengenal seseorang. Orang yang kendaraannya kotor, tidak pernah terawat, memarkir secara sembarangan, sering lupa menaruh kunci, tidak menyervis secara berkala, dan semacam itu, sehingga kendaraan itu kotor, tak prima mesinnya, tidak enak dikendarai, maka sesungguhnya kurang-lebih begitulah kepribadian pemiliknya. Tidak jernih pikirannya, tidak tenang hatinya, kerja berdasarkan suasana hati, tidak punya mekanisme disiplin diri, dan sejenisnya. Pendek kata kotor dan kacau.
Namun setelah saya ingat-ingat, jauh di dalam sejarah hidup saya, orang yang menyatakan hal seperti itu namun dengan bahasa yang berbeda adalah bapak saya. Bapak marah sekali kalau melihat sepeda saya kotor. Dia memaksa saya membersihkannya. Jika dia pergi dari luar dan sepeda motornya kotor, dia tak akan tidur sebelum membersihkan sepeda motornya. Dia rajin mengepel rumah. Cara berpikirnya sistematis, cara bertindaknya gradual. Tapi saya tidak sepenuhnya bisa seperti Bapak.
Saya jarang mencuci kendaraan, tapi saya selalu tepat waktu jika menyervis kendaraan. Saya paling tidak tahan kalau kondisi kendaraan saya kurang prima. Ada hal yang sedikit mengganggu, selalu saya prioritaskan untuk diperbaiki sekalipun berbiaya mahal. Saya selalu memastikan bahan bakar di kendaraan saya selalu cukup, minimal untuk berjalan menempuh perjalanan sejauh 100 km. Dan saya selalu memastikan ada banyak uang receh yang tertata rapi dari mulai receh 500 dan 1000 rupiah, 2.000 rupiah, dan 5.000 rupiah, istri saya paham betul hal tersebut. Di awal kami punya kendaraan roda empat, hal yang selalu saya pesankan kepadanya adalah semua itu, soal bahan bakar dan uang receh di mobil. Soal jadwal servis mobil, jangan tanya. Saya paling disiplin. Tapi soal kebersihan mobil, saya lebih fleksibel. Kalau sempat dicuci, itu pun dicucikan di tempat pencucian mobil, kalau tidak ya tak mengapa. Bagi saya, penampilan jauh lebih tidak penting dibanding performa dan jeroan. Saya bahkan belum pernah sekali pun mencuci mobil saya sendiri.
Jika saya sedang punya pekerjaan di luar kota, dengan jangka waktu agak panjang, dan mesti melibas beragam model jalanan, hal yang saya pastikan dalam melakukan negosiasi adalah kondisi kendaraan dan sopir yang mendampingi saya. Mood saya bisa ambyar kalau sopir saya ugal-ugalan, tidak tahu kondisi jalan, dan membiarkan mobil dalam keadaan bau. Saya bisa menginap di mana saja, makan apa saja, tapi jangan pernah kasih saya sopir yang daya responsnya buruk.
Maklum, di dalam mobil saya mesti berpikir keras, mau bertemu siapa, mau bertanya dan menggali apa, dan sekian hal lain. Bahkan mungkin saya butuh tidur sekian menit di dalam mobil untuk menenangkan diri sebelum mengeksekusi pekerjaan. Mobil adalah “ruang-transit-suci” sebelum saya bertarung dengan beban tugas yang nyata. Demikian juga ketika saya sudah usai melakukan pekerjaan yang melelahkan. Mobil adalah suaka yang menenteramkan. Saya bisa rileks sebelum kemudian makan dan balik ke penginapan untuk kemudian melakukan pekerjaan lain keesokan harinya.
Bukan sekali dalam perjalanan karier saya sebagai peneliti maupun penulis, saya mengganti sopir. Tapi biasanya tidak saya lakukan dengan frontal. Saya hanya meminta sopir yang mungkin sudah ditugaskan oleh lembaga yang meminta jasa saya agar beristirahat, sedangkan praktik sehari-harinya, saya mencari sopir sendiri, dan semua itu saya rogoh dari kocek saya sendiri. Sebaliknya, menjadi berkah yang luar biasa bagi saya jika di suatu proyek saya didampingi sopir yang cekatan, menjalankan mobil dengan nyaman, penuh informasi, dan syukur kalau humoris. Kalau bertemu dengan sopir seperti itu, separuh dari pekerjaan saya, sudah saya anggap selesai.
Jadi jika ada orang bilang, cara seseorang mengendarai kendaraan mencerminkan kepribadian orang tersebut, saya tidak perlu berpikir panjang. Saya percaya.
BACA JUGA Alisson dan Klopp dan esai-esai Puthut EA lainnya di rubrik Kepala Suku.