“Siapa pun yang senang berbuat kebaikan dengan tulus, niscaya Alloh berikan aneka kejutan penambah iman,” demikian isi tweet Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym.
Aa Gym tengah memuji para penjual roti bermerek Sari Roti. Ketika aksi super damai 212 berlangsung, sejumlah pedagang Sari Roti muncul di lokasi dengan gerobak mereka. Yang menarik, gerobak tersebut ditempeli kertas bertuliskan “Gratis untuk mujahid”. Roti cuma-cuma bagi peserta aksi 212.
Kejadian itu berbuntut panjang di media sosial. Ada yang memuji Sari Roti karena dianggap turut mendukung jalannya aksi super damai 212. Hingga kemudian perusahaan roti ini mempublikasikan lima poin klarifikasi mereka, yang intinya: roti-roti yang dibagikan pada aksi 212 dibeli oleh seorang pelanggan, yang kemudian meminta agar para penjual keliling bergerobak tersebut mengantarkan roti-roti itu ke Monas. Dan, tambah Sari Roti lagi, tindakan tersebut di luar kebijakan perusahaan karena Sari Roti “tidak terlibat dalam semua kegiatan politik”. Oh, ini bukan ketulusan yang akan diridai Allah rupanya.
Rilis klarifikasi tersebut segera diserang habis-habisan oleh netizen, terutama karena poin keduanya, yang mana Sari Roti menyatakan “senantiasa berkomitmen menjaga nasionalisme, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Wacana berputar, mengembang, dan kemudian menukik pada sebuah kesimpulan. Produk Sari Roti adalah bagian dari konspirasi orang kafir.
Warbyasa.
Walau begitu, klarifikasi Sari Roti itu, menurut saya, memang blunder—selain menjadi bukti betapa gilanya orang Indonesia pada apa yang disebut konspirasi.
Dalam ilmu hubungan masyarakat, ada dua cara mempromosikan produk: pertama melalui iklan, kedua melalui publisitas. Anda tentu paham tentang iklan dan bagaimana mekanismenya. Perusahaan akan membayar untuk iklan di berbagai media, entah itu televisi, koran, adboard, billboard, hingga medsos. Kemudian, konten yang Anda inginkan dapat dimunculkan di sana. Anda bisa memilih pesan yang hendak ditangkap oleh calon pembeli mereka dan mengklaim sendiri bahwa produk yang Anda jual adalah produk yang bagus.
Cara ini memang mudah. Tapi, memang manusia memiliki kecenderungan untuk tak mudah percaya pada obrolan dari orang pertama. Jika Anda katakan diri Anda ganteng macam Brad Pitt, padahal wajah Anda lebih mendekati kampas rem, orang-orang akan mengatakan: pertama Anda kepedean, kedua Anda humoris, ketiga Anda gila. Sementara, yang Anda butuhkan adalah pandangan orang lain. Saat orang lain mengakui bahwa Anda ganteng, maka Anda ganteng. Dan poin kedua inilah cara kerja publisitas.
Sayangnya, mengontrol hal tersebut tak mudah. Beberapa perusahaan menggelontorkan uang tak sedikit dalam menciptakan event gede-gedean, meng-endorse sosok fenomenal, menjamu kawan media dalam gala dinner agar dicintai konsumen mereka. Itu pun masih sering gagal dan tak mendapat efek yang signifikan karena tidak ada momentum yang tepat.
Sementara Sari Roti sebenarnya sudah naik namanya dengan cara yang sederhana, namun sangat berdampak. Hanya saja, publisitas gratis ini juga yang dalam sekejap membuat citra Sari Roti memburuk. Klarifikasi perusahaan yang menjadi viral tersebut membuat saham anjlok. Buzzer-buzzer dan para pemuka adat di dunia maya yang jumlahnya banyak itu telah berhasil meruntuhkan citra yang telah dinaikkan dalam waktu sekejap.
Roti bukanlah hal pertama yang jadi sumber pertengkaran antara simpatisan pro- maupun anti-aksi. Sebelumnya kita sudah mengoleksi kata kunci “injak rumput” di Google. Tahun 2016, menginjak rumput masuk daftar dosa—hal yang biasanya cuma terjadi di halaman instansi atau universitas dan sering tidak diindahkan. Sesudah rumput, bahan pertengkaran yang muncul lebih absurd lagi: air putih botolan. Kiranya ketiga benda itu disandingkan, sudah pantas menjadi menu baru sebuah restoran kekinian.
Segala riuh tentang roti, rumput, maupun minuman botolan menunjukkan bahwa ini fase politik di mana orang harus punya pilihan dan netral adalah sikap tercela. “Neraka paling panas disediakan bagi mereka yang tetap netral sementara krisis moral sedang terjadi,” demikian kutipan dari Dante Alighieri, sastrawan Italia—saya kutip ini dari novel Inferno Dan Brown. Tampaknya kutipan semacam itulah yang tengah diamini sekarang.
Dan tak hanya manusia, bahkan barang dan tanaman pun harus memilih kepada siapa ia menjadi bagian. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka yang tak ingin dituding karena A dan bukannya B atau sebaliknya ialah dengan diam.
Diwarnai dari Sandy dan Shizuka yang disensor, perdebatan flat earth, hingga roti dan air botolan yang jadi trending topic, saya tak sabar menantikan habisnya 2016, tahun manakala slogan keep calm and stay cool yang sempat hit tahun sebelumnya jadi basi.
Atau jangan-jangan 2017 akan jauh lebih parah?