MOJOK.CO – Gara-gara penabrak pelaku klitih di Jogja divonis penjara, usulan Ketua MPR, Bamsoet, soal hak kepemilikan senjata api warga biasa kayaknya oke juga.
Awan mendung menggelayut di langit Jogja. Dari seminggu yang lalu, baru hari Selasa, 04 Agustus 2020, langit Jogja muram. Saya pikir kemuraman kota ini akan berakhir dengan air yang jatuh dari langit. Menyenangkan. Sayangnya, dugaan saya kurang tepat.
Bibir saya ikut bergetar saat melihat sebuah postingan dari grup Facebook Info Cegatan Jogja. Pagi itu, Mas Irawan, yang sebelumnya terdakwa karena membunuh dua pelaku klitih dengan cara menabrak mereka menggunakan mobil pikap sayur, telah resmi berubah pangkat. Dari warga biasa menjadi terpidana dengan hukuman sembilan bulan kurungan penjara.
Meski perbuatannya cukup diapresiasi oleh masyarakat Jogja karena ikut membasmi pelaku klitih, di mata hukum pandangan itu berbeda. Apresiasi masyarakat tidak cukup, ada hakim yang punya kuasa lebih tinggi.
Ya, suka tidak suka, atau mau tidak mau, di negeri +62, membunuh karena alasan membela diri tidak bisa begitu saja dibenarkan. Akan tetapi, siapa yang bisa mengontrol diri ketika berpapasan dengan dua orang yang menyambit senjata tajam di tengah jalan, lalu memecahkan kaca mobil, dan mengenai tubuh seorang perempuan—istrinya?
Jika saya berada di posisi Mas Irawan, bukan tidak mungkin saya akan melakukan hal serupa. Membalas karena diperlakukan barbar dengan sajam. Jika bisa kontrol emosi, hanya melukai. Agar mereka tahu bahwa perilaku pelaku klitih sudah bertahun-tahun meresahkan warga Jogja. Hih.
Apalagi klitih sendiri bukan lagi ngomongin kasus per kasus, melainkan sudah jadi fenomena. Bahkan, fenomena itu juga udah menjadi budaya. Ya, budaya kota pelajar. Yang suka mengajar namun juga lebih ahli meng(h)ajar.
Tidak bisa dipungkiri, dari masa ke masa, klitih kian mengerikan. Zaman saya, era 2005-2010, klitih dilakukan oleh remaja SMA. Menggunakan tangan kosong. Kalaupun berhadapan dengan calon korban, pol mentok ya dipukul. Bukan dicabik apalagi disabit.
Lah kalo sekarang yang melakukan lebih muda lagi. Remaja SMP. Tidak dilakukan dengan tangan kosong melainkan tangan bersenjata. Tajam. Kadang memakai gir rantai namun lebih banyak dengan pedang katana. Tidak hanya dicabik melainkan juga dibacok hingga bereyang darah.
Jikalau melapor kepada pihak yang berwenang, tentu akan diproses. Namun, masyarakat Jogja sering tidak tahu apakah laporannya benar-benar diproses, karena klitih tetap menjadi teror tiap malam di Jogja.
Melihat fenomena tersebut, saya tentu sangat terenyuh ketika mendengar usulan Yang Mulia Bambang Soesatyo, Ketua MPR, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Bela Diri (DPP Perikhsa), mencetuskan ide warga sipil boleh memiliki senjata api.
Bisa memilih tiga jenis lagi. Senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet, dan senjata api peluru gas. Udah kayak main PUBG aja. Peluru biru, peluru ijo, sama peluru coklat.
Meskipun hanya diperbolehkan menggunakan senjata sipil berkaliber paling tinggi 9 mm, saya pikir kekuatannya lebih dari cukup untuk meledakkan kemaluan para pelaku klitih. Agar mereka punya malu bahwa Jogja istimewa bukan karena pelajar yang sering bertikai. Melainkan pelajar yang sering bertukar pikiran di warung kopi.
Jika warga sipil benar-benar diperbolehkan memiliki senjata api, semakin mudah warga bergotong-royong, tanpa melibatkan pihak yang berwenang, menumpas pelaku klitih. Cukup “dor” ndase atau kuname! Tidak ada lagi ketakutan untuk ngopi dari sore hingga dini hari. Tidak ada lagi ketakutan para pengemudi pikap yang mengantarkan sayuran dan buah-buahan saat pukul dua pagi.
Yang menyedihkan, kita susah memaafkan ketika melihat para pelaku yang ternyata masih bocah. Yang baru bisa ngaceng saja tapi cuma bisa pipis. Yang mau beli cilok saja masih minta duit orang tua. Atau yang-yangan juga masih mengandalkan duit orangtua. Hadehhh.
Tapi adakah cara mengedukasi mereka? Sepertinya belum efektif. Mau ditangkap, dibina atau dijebloskan ke penjara, tetap saja masih melakukan hal serupa. Lalu, apakah berarti ada yang salah dengan sistem pendidikan di Jogjakarta? Bercita-cita menjadi pengajar malah berkelakuan seperti peng(h)ajar.
Tidak ada yang tahu pasti kapan fenomena klitih akan berakhir. Kamu atau saya bisa saja menjadi korban. Sebab, pelaku klitih, saat ini, tidak menargetkan secara pasti siapa yang layak menjadi target. Kamu manusia, siap dilibas. Kamu bukan manusia, hanya bisa diterabas.
Saat tulisan ini diketik, postingan kasus Mas Irawan telah mendapatkan like sebanyak 5,6 ribu dan 121 kali dibagikan. Saya pikir akan terus bertambah. Apalagi melihat komentar dari netizen yang lebih mendukung Mas Irawan daripada keputusan hakim.
Mereka gemas sekaligus cemas. Melihat “pahlawan” Jogja yang terpaksa meringkuk di hotel prodeo.
Hukum memang kejam meskipun kemanusiaan bisa dikedepankan. Tapi, apa boleh buat. Lebih baik mematuhi peraturan di negeri ini ketimbang menuruti hati nurani.
Hari ini, kita akan diminta untuk memeram dendam. Tapi, siapa yang tahu, suatu saat, ketika senjata api dilegalkan, kita boleh sesuka hati untuk melepaskan dendam.
Pandemi memang membuat segalanya tak pasti. Yang pasti hanyalah ketidakadilan. Bukannya tidak mau percaya pada hukum di negeri ini, tapi bolehkah kita menanggalkan keyakinan terhadap hukum di NKRI?
Jika negara sudah tak mampu atasi klitih di jalanan, lalu membela diri pun berisiko kena perkara hukum, mau gimana lagi kita hidup sebagai warga negara yang baik? Berdiam diri ketika datang celurit atau pedang yang sudah melayang mengarah ke leher kita?
Sedia payung sebelum hujan, sedia nyawa cadangan sebelum ke jalanan. Soalnya hidup baik berisiko mati, bertahan hidup berisiko penjara.
Indonesia negerikuh, hukumnya emang kadang lucuh-lucuh.
BACA JUGA Bicara Klitih di Yogyakarta dari Mantan Pelakunya atau tulisan Moddie Alvianto Wicaksono lainnya.