Terombang-ambing di tengah kemacetan selama 2 jam
Imbauan agar masyarakat menggunakan transum bertujuan untuk mengurangi macet. Realitanya, kemacetan tidak dapat diurai meskipun sudah banyak yang beralih ke Transjakarta, MRT, LRT, atau KRL.
Sebagai pejuang transum Karawaci-Jakarta Pusat, saya memilih untuk naik bus umum, entah itu Transjakarta atau Transjabodetabek Damri. Dari segi harga tentunya berbeda. Ongkos Transjakarta sebesar Rp3.500, sedangkan Transjabodetabek Damri Rp15.000. Perbedaan tarif yang signifikan tidak serta merta memiliki jalur khusus tanpa gangguan.
Kemacetan setiap harinya saya alami setiap pulang kerja. Mulai dari kawasan Harmoni, Grogol, dan yang paling epik adalah tol Jakarta-Tangerang. Kita nggak perlu meragukan padatnya jalur ini. Total perjalanan pulang saya memakan waktu kurang lebih 2 jam, apalagi saat hujan tiba.
Saya akan mendapatkan duduk kalau naik bus, meski menghabiskan waktu 2 jam sampai macet selesai. Sudah tidur, scroll medsos dan baca buku, tetap saja jenuh karena kepadatan tak kunjung terurai. Padahal jalan tol seharusnya bebas hambatan, namun yang ini kenapa malah tersendat.
Padatnya KRL jurusan Duri-Tangerang
KRL adalah moda transportasi bagi kaum anti-macet. Jika lewat tol bisa habis 2 jam di jalan, naik KRL hanya butuh maksimal 1,5 jam sampai Karawaci Tangerang. Saya biasanya gambling memilih KRL. Satu sisi saya capek kena macet tetapi di sisi lain saya juga letih terjepit para anker.
Sebenarnya, KRL bukan juga pilihan yang pas. Saya akan menggunakan ojol dari kantor ke Stasiun Tanah Abang lalu ambil KRL ke Stasiun Duri. Setelahnya, saya akan pindah lagi ke peron 5 untuk berkereta ke Tangerang dan turun di Stasiun Tanah Tinggi. Tidak sampai di situ, saya akan menyambung lagi sampai ke Karawaci sekitar 30 menit.
Belum lagi kondisi gerbong jurusan Duri-Tangerang ini selalu padat. Terhimpit oleh lautan manusia dalam KRL bukan masalah bagi penumpang, asal bisa segera sampai rumah. Berlarian di stasiun demi tidak tertinggal merupakan pemandangan yang lumrah di sana.
Intinya, saya terkadang merasakan kebimbangan dalam memilih moda. Naik bus kena macet (tapi tetap duduk), naik KRL kena gencet (tapi tidak macet). Inilah salah satu dilema warga Karawaci seperti saya, yang masih tinggal di rumah orang tua demi hemat biaya kos.
Pada akhirnya, Transjabodetabek Damri jadi pilihan utama
Setelah mencoba semua bus dan KRL, saya menjatuhkan pilihan pada Transjabodetabek Damri untuk menemani rutinitas. Rute yang saya pilih adalah Karawaci-Kemayoran (dan sebaliknya).
Alasannya karena ongkos yang masih terjangkau dan selalu berangkat tepat waktu. Bahkan tim pengelola trayek ini membuat grup khusus untuk membagikan lokasi keberadaan bis.
Eksistensi Transjabodetabek ini memudahkan mobilitas warga Karawaci yang bekerja di Jakarta. Selain tarif yang masih cocok dengan gaji UMR, armada bus ini juga memberikan kenyamanan dan keamanan. Apalagi untuk karyawan Gen Z yang suka cashless, pembayaran bus ini bisa non-tunai dengan uang elektronik atau scan QRIS.
Di samping itu, Transjabodetabek langsung melewati ruas tol Jakarta-Tangerang tanpa transit. Ia langsung mengantarkan penumpang ke Karawaci.
Meskipun banyak kenyamanan yang menggiurkan, saya sebagai pelanggan setia Transjabodetabek masih harus berjuang dengan kemacetan di banyak titik. Istilah “tua di jalan” nyata adanya. Menghabiskan waktu berjam-jam di tengah kemacetan sangat melelahkan.
Begitulah kenyataan hidup warga Karawaci. Kami harus menghadapi pilihan sulit. Mau “siksaan” naik bus kena macet atau naik KRL kena gencet? Pada akhirnya ya cuma bisa menikmati saja.
Penulis: Rachelia Methasary
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mempertanyakan Penumpang KRL yang Ogah Meletakkan Tas Ransel di Bagian Depan Tubuh dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.