Kalau Tidak Diterima PNS Tidak Masalah, Yang Penting Saya Pernah Mencoba

keberanian lelaki

MOJOK.CO – Kamu yang tidak berminat jadi PNS, ya tidak perlu mendeskreditkan kami yang memang ingin jadi PNS. Toh, kami juga tidak melakukan sebuah tindak kejahatan.

Tahun 2015 lalu, saya diwisuda dari sebuah universitas negeri. Otomatis, sejak saat itu saya resmi menyandang gelar Sarjana.

Ketika sudah dijalani, kuliah memang tidak semenarik kelihatannya. Kuliah tidak mudah, tetapi juga nggak sulit-sulit amat.

Saya berhasil lulus dalam kurun 3 tahun 7 bulan 28 hari. Proses skripsi, yang katanya paling sulit, saya rampungkan dalam waktu kurang dari lima bulan. Bukan mau sombong atau apa, tapi memang kenyataannya begitu.

Belakangan, 3 tahun selepas prosesi wisuda saya, pengumuman seleksi CPNS 2018 resmi diluncurkan. Alhamdulillah, gelar Sarjana di belakang nama saya akhirnya akan berguna juga. Setidaknya, dengan gelar itu saya bisa mengikuti seleksi CPNS.

Saya tidak mau naif, menjadi PNS masih menjadi salah satu impian saya. Ada banyak hal yang melatarbelakangi, tentu di sini saya tidak bisa mengungkapkan semuanya.

Kalau sekiranya kamu alergi dengan profesi ini, setidaknya hargailah usaha-usaha kami yang benar-benar menginginkannya. Jangan malah membuat kami tampak seperti orang yang hanya mementingkan diri sendiri, ogah berinovasi, tidak kreatif, merepotkan, dan sebagainya.

Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca tulisan yang dibagikan oleh salah satu pengguna Facebook. Di situ, ada kalimat yang menyatakan bahwa menjadi seorang PNS adalah cita-cita pemuda zaman baheula.

Kira-kira, mereka yang menempuh pendidikan pada era 80-90-an. Sementara untuk orang-orang yang menempuh pendidikan SMA atau kuliah di atas tahun 2010, para generasi millennials, seharusnya tidak memikirkan untuk menjadi PNS.

Katanya, mereka memiliki banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal yang visioner, penuh kreativitas, menjadi seorang pengusaha di berbagai bidang. Tentu saya “seharusnya” masuk kategori itu karena saya adalah pemuda yang kuliah di atas tahun 2010.

Baik, ada bagian dalam diri saya yang mengamini pernyataan tersebut. Sekarang, profesi pekerjaan memang tak terbatas. Tidak melulu harus memiliki kantor, berangkat pagi, pulang petang. Apa pun bisa menjadi profesi, bisa menghasilkan, dan kalau beruntung, pundi-pundi yang diperolah justru akan jauh lebih besar daripada mereka yang menjalani profesi mainstream—pekerja kantoran, termasuk PNS.

Namun, sebentar. Semua profesi itu memang baik. Tapi kenapa muncul stigma buruk kepada orang-orang yang ingin mendaftar jadi PNS ya?

Bagi orang-orang yang terlahir dari keluarga berkecukupan, pilihan profesi mungkin memang bukan perkara penting. Mereka nggak kerja pun nggak masalah untuk beberapa waktu. Pilihan untuk bisa bekerja sesuai passion pun kadang masih bisa dijabanin. Atau kalau mau jadi pengusaha juga bisa, karena punya modal usaha yang lumayan.

Atau bagi mereka yang lahir dengan otak cemerlang, pikiran kreatif, dan punya jiwa petualang, rasanya bisa bebas-bebas saja memilih profesi yang cocok. Bahkan—bisa jadi—jika memang kualifikasi kemampuannya benar-benar kelas wahid, bakal ada banyak perusahaan yang memperebutkannya.

Sudahlah, jangan naif, memang ada kok orang yang lahir dengan otak cemerlang dan otak biasa saja. Mereka yang memang sudah pintar sejak orok, belajar sebentar saja, langsung paham. Sementara yang lahir dengan otak pas-pasan, sudah mati-matian belajar, ya susah. Belum lagi, kalau dalam proses belajar itu mereka selalu dibanding-bandingkan.

Orang sukses dengan usaha ekstra keras—memang banyak. Namun, yang sukses karena dianugerahi kemampuan ingatan kuat dan lahir dari keluarga berkecukupan juga tak kalah banyak. Apalagi yang sudah berusaha keras, tetapi nggak sukses-sukses, wah yang ini jauh lebih banyak lagi.

Saya kebetulan lahir bukan dari keluarga kaya. Sangat pas-pasan. Saya menyebut kebetulan, karena memang manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang mana. Satu hal yang harus digarisbawahi, saya sama sekali tidak menyesal atas kondisi ini.

Kehidupan saya biasa-biasa saja. Kakak-kakak saya, ada empat orang, tidak ada yang sekolah sampai universitas. Sedangkan saya, beruntung bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena saya beruntung bisa dapat beasiswa.

Bagi saya yang punya otak pas-pasan ini, untuk bisa bersaing mendapakan satu di antara beberapa beasiswa yang ditawarkan sungguh berat sekali. Pada akhirnya kursi yang saya raih dalam SNMPTN Jalur Ujian Tulis tahun 2011 lalu adalah kursi pada jurusan yang kurang populer.

Saya sebetulnya juga sama dengan kamu semua, memilih jurusan dengan prospek yang baik di masa depan saat SNMPTN. Namun, nasib berkata lain. Otak saya yang pas-pasan hanya mampu mempersembahkan kursi ini. Jurusan yang cenderung tidak ada peminatnya, tetapi tetap di perguruan tinggi negeri.

Ada kesempatan kuliah yang tidak bisa didapatkan kakak-kakak saya dengan beasiswa, meski bukan jurusan yang benar-benar saya sukai karena bukan jurusan populer dan cenderung dinilai sebagai jurusan madesu, kalau sampai tidak saya ambil ya itu namanya kufur nikmat.

Setelah saya lulus, madesu yang ditakutkan itu benar adanya. Sulit sekali mencari pekerjaan dengan ijazah sarjana yang saya miliki. Saya ikut job fair ke sana-sini. Saya memasukkan lamaran ke sana kemari. Semua nihil. Tidak ada yang melirik. Dipanggil wawancara pun tidak.

Oh ya, kalau kamu bertanya, kenapa saya nggak mencoba usaha kreatif saja? Yak an secara saya ini termasuk generasi milenial gitu.

My Love, Sayangku, usaha kreatif itu nggak mudah. Otak saya ini pas-pasan, duit nggak punya, teman nggak banyak—karena saya cukup introvert. Lagian orang kampung mana sih yang bisa sangat percaya diri saat memasuki kemegahan dunia kampus? Mesti bergaul dengan anak-anak dari keluarga yang nggak perlu mikir besok bakal makan apa?

Ada memang mahasiswa yang kondisinya seperti saya, tapi jumlahnya nggak banyak.

Poinnya, waktu itu saya harus bekerja ke orang dulu agar tahu dulu bidang yang ingin saya geluti sebagai wirausahawan. Jadi bawahan, nggak masalah juga sih sebenarnya. Nggak usah ngomongin bisnis dulu. Hanya saja kondisinya agak sulit karena saya benar-benar nggak punya modal.

Lalu setelah kuping cukup panas mendengar omongan tetangga karena saya tidak kunjung dapat kerja—dan saat itu saya juga sadar bahwa menjadi sarjana itu sulit sekali. Karena nggak hanya berperang dengan diri sendiri karena belum dapat kerja, tetapi juga harus mendengarkan omongan orang yang pedasnya nggak ketulungan, akhirnya saya dapat sebuah pekerjaan.

Tiga tahun setelahnya, saya masih bekerja di tempat yang sama. Sesuatu yang saya dapat dengan susah payah tidak akan dengan mudah saya lepaskan. Sampai saya mendapat ganti yang jauh lebih menjamin hidup saya.

Dan saat ini, seleksi CPNS sudah dibuka. Untungnya, jurusan madesu saya itu nyelip sebagai kualifikasi di beberapa daftar formasi yang ditawarkan.

Ini adalah kesempatan bagi saya. Kamu mungkin tidak tahu, Beibh, betapa akan bahagianya orang tua saya jika saya nanti sampai jadi PNS. Bisa mengangkat ekonomi keluarga saya yang pas-pasan itu.

Apalagi, belum ada sejarahnya dalam anggota keluarga saya jadi PNS, dan kalau saya sampai berhasil, apakah saya nggak mengukir sejarah baru namanya? Sombong sekali kalau saya menyia-nyiakan kesempatan ini. Teman-teman saya bisa jadi mencibir langkah saya untuk daftar PNS, tapi bagi saya keluarga adalah prioritas utama.

Meski begitu, bukan berarti pekerjaan saya sekarang tidak menyenangkan dan jabatan CPNS yang sedang saya usahakan itu belum tentu akan lebih membuat saya lebih nyaman bekerja.

Namun, saya ingin melihat orang tua saya tersenyum karena saya. Karena capaian saya.

Kalau kamu membicarakan soal: kenapa saya nggak menanamkan pemahaman pada orang tua, bahwa profesi seorang sarjana nggak harus melulu PNS.

Saya hanya ingin balik bertanya: apakah kamu bisa membicarakan hal semacam itu pada bapak-ibumu, jika mereka adalah warga dusun, yang setiap waktu menyaksikan, dan merasakan, hidup berdampingan dengan para PNS, yang selalu dihormati dan disegani dalam masyarakat? Maaf, saya tidak pernah sampai hati mendebat orang yang telah membesarkan saya.

Jadi, kamu yang tidak berminat jadi PNS, tidak perlu mendeskreditkan kami, orang-orang yang masih ingin berjuang menjadi PNS. Toh, kami juga tidak merepotkan kalian atau melakukan sebuah tindakan kejahatan yang meresahkan.

Dan, buat kamu yang juga ingin menjadi PNS seperti saya, ya mari kita berjuang bersama-sama. Setidaknya, kalau impian kamu tidak tercapai, kamu sudah mendeklarasikan diri bahwa itu mendaftar jadi PNS itu tidak masalah dan tidak perlu malu karena kita memang menginginkannya.

Saya pun ingin dan akan begitu. Tidak merasa malu, meski ada banyak orang yang mencibir keputusan saya ingin jadi PNS ini. Saya akan berjuang untuk seleksi CPNS 2018. Kalau pun nanti tidak lolos, ya tidak masalah. Toh, setidaknya saya pernah mencoba.

Exit mobile version