MOJOK.CO – Dunia berlomba untuk mengembangkan teknologi menghidupkan orang mati. Dalam perlombaan itu, Cina masih berada di garis terdepan.
Sejak dulu kala, manusia selalu berusaha, bahkan cenderung terobsesi, untuk mengakali kematian. Karena alasan itulah ilmu kesehatan dan kedokteran lahir. Obsesi yang panjang itu membuahkan hasil yang tak main-main. Sampai hari ini, manusia sudah berhasil memukul mundur banyak sekali penyakit mematikan. Pada abad ke-20, manusia bahkan sudah mampu mencatatkan prestasi luar biasa dengan melipatgandakan angka harapan hidup dari 40 ke 70 tahun.
Manusia selalu mati karena kesalahan teknis dalam tubuhnya: jantung berhenti memompa darah, arteri utama tersumbat oleh timbunan lemak, sel-sel kanker menyebar ke organ vital, virus menyerang paru-paru, dan lain sebagainya. Bagi orang-orang modern, kematian adalah sebuah masalah teknis. Dan selayaknya masalah teknis, ia selalu memiliki solusi yang teknis pula.
Dari sudut pandang manusia, kesalahan teknis itulah yang disebut sebagai penyakit. Virus corona yang masuk ke dalam tubuh dan menghuni paru-paru sehingga membuat pemilik paru-paru menjadi kesulitan bernapas itu adalah salah satu contoh kesalahan teknis. Kalau dilihat dari sudut pandang si virus corona, dia sejatinya cuma numpang hidup dan berkembang biak. Ini tak ubahnya seperti manusia yang membabat hutan dengan alasan membuka lahan demi menciptakan ruang bagi manusia untuk hidup dan berkembang biak.
Manusia memang sudah menemukan solusi teknis dari sekian banyak penyakit yang menyerang mereka. Dari kadas dan kurap sampai gangguan jantung hingga kanker. Kendati demikian, tentu saja akan selalu ada penyakit-penyakit baru dan beberapa penyakit lama yang manusia belum punya kesempatan atau kemampuan untuk menemukan solusi teknisnya.
Dalam kondisi yang demikian itulah manusia menampakkan diri sebagai makhluk yang keras kepala dan pantang menyerah. Lahirlah apa yang kemudian dinamakan sebagai teknik cryonics, semacam usaha untuk mengakali ketidakmampuan manusia dalam menemukan solusi teknis atas penyakit.
Cryonics adalah konsep manusia untuk “menghidupkan” kembali orang yang telah mati selayaknya jurus Edo Tensei dalam serial anime Naruto itu.
Teknisnya sederhana. Setelah seseorang dinyatakan mati, dia kemudian dimasukkan ke peti mati super dingin dengan nitrogen cair dengan suhu di bawah minus 130 derajat celsius agar organ-organ tubuhnya tak rusak. Kelak, jika di kemudian hari solusi teknis atas penyakit yang membunuhnya itu ditemukan, dia bisa dibangkitkan kembali dengan cara mengobatinya dari sakit alias gangguan teknis yang menyebabkan dirinya mati.
Terdengar sangat dahsyat dan mengerikan. Bahkan untuk ukuran ketika dunia teknologi sudah sangat maju seperti sekarang. Namun, tak bisa dimungkiri, tindakan cryonics ini telah menjadi sebuah perhatian tersendiri di kalangan para peneliti medis.
Peminatnya pun tak main-main. Saat ini, sudah ada 350 pasien yang dibekukan dan menunggu dibangkitkan kembali dan sudah ada ribuan orang yang menandatangani perjanjian untuk menjalani prosedur cryonics setelah mereka mati nanti. Ada empat tempat yang bisa kamu datangi jika kamu tertarik untuk mengikuti jejak orang-orang yang sudah menandatangani prosedur ini: dua di Amerika Serikat, satu di Rusia, dan sisanya ada di Cina.
Namun, tentu perlu untuk diperhatikan bahwa cryonics tak akan pernah mudah. Apa saja yang berhubungan dengan kematian memang sudah seharusnya rumit dan berbelit-belit. Sama seperti jurus Edo Tensei yang banyak dipermasalahkan oleh para ninja, membangkitkan orang mati dengan prosedur cryonics ini juga terus menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.
“Menghidupkan” kembali orang mati, sekali lagi, bukanlah urusan remeh. Ajal itu urusan Tuhan. Manusia seharusnya tak perlu ikut campur terlalu jauh. Di poin inilah perdebatan tentang cryonics menguar.
Sepanjang sejarah, agama-agama besar di dunia secara tegas menyakralkan sesuatu di luar eksistensi duniawi. Islam, Kristen, Hindu dan banyak agama lain menegaskan bahwa makna eksistensi kita bergantung pada nasib kita di akhirat yang kekal. Kematian adalah jembatan untuk menemukan makna kehidupan sesungguhnya. Mengakali kematian tentu dianggap sebagai bentuk pengkhianatan besar pada Tuhan.
Prosedur cryonics di Amerika Serikat masih terganjal persoalan regulasi, etika dan agama. Begitu juga di Rusia. Sedangkan di Cina, cryonics tampaknya punya masa depan yang cerah.
“Alcor dan Cryonics Institute di Amerika Serikat tidak bermitra dengan fasilitas medis apa pun. Mereka harus mengikuti hukum di bawah industri pemakaman. Setelah tubuh dimasukkan ke dalam nitrogen cair, selesai. Itu hanya fasilitas penyimpanan. Ini seperti orang-orang memiliki kuburan yang beku,” sebut Aaron Drake.
Aaron Drake adalah mantan direktur medis di Alcor, Amerika Serikat yang bergabung menjadi direktur medis di The Shandong Yinfeng Life Science Research Institute (satu-satunya pusat penelitian cryonics di Cina) pada tahun 2016.
Ia menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat Cina jauh lebih mudah menerima konsep ala Edo Tensei ini dibandingkan dengan kepercayaan Barat.
“Pemerintah Cina tidak ingin kami hanya melakukan proyek pembekuan tubuh. Pemerintah Cina ingin proyek ini dapat bermanfaat bagi semua bidang kesehatan. Kami bekerja sama dengan ahli bedah, ahli anestesi, ahli syaraf, dan lain sebagainya. Ini adalah proyek penelitian yang besar dan hal ini yang membuat saya bergabung dengan mereka,” lanjutnya.
Kebudayaan barat memang dipersulit oleh pemikiran bahwa Tuhan memiliki rencana untuk mereka setelah mereka meninggal. Mereka juga ragu apakah agama memperbolehkan mereka untuk dibekukan. Jadi, meskipun Yinfeng memulai penelitian cryonics 50 tahun lebih lambat dari rekan-rekan baratnya, potensi kemajuan teknologi cryonics di Cina jauh lebih besar tanpa hambatan agama.
Jika kelak teknologi cryonics ini benar-benar menunjukkan gelagatnya untuk semakin sempurna, maka bukan tak mungkin Cina bakal menjadi negara terdepan dalam bidang bangkit-membangkitkan orang mati ini.
Negara-negara maju dari kelompok barat seperti Amerika dan Eropa tentu saja juga akan jaya, walau tentu saja, mereka butuh effort yang lebih besar karena faktor agama.
Sedangkan negara yang bakal menjadi yang paling tertinggal tentu saja tak lain dan tak bukan adalah Indonesia. Negara kita tercinta ini.
Ini serius. Dalam urusan per-cryonics-an, Indonesia memang tak punya potensi untuk tumbuh. Selain karena faktor teknologi yang memang tak mendukung, Indonesia juga negara yang sangat religius. Dalam survei The Global God Devide yang dilakukan oleh Pew Research Center beberapa waktu yang lalu, Indonesia diketahui merupakan negara paling religius di dunia.
Adalah hal yang mustahil bagi orang-orang Indonesia untuk “mengkhianati” takdir yang sudah ditetapkan Tuhan di Lauhul Mahfuz. Orang Indonesia tak mungkin berani untuk mengambil alih peran Tuhan. Kapasitas orang Indonesia dalam berlagak seperti Tuhan mentok hanya berada di level mengafirkan orang lain atau mengaveling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki. Selebihnya, mereka tak punya nyali.
Adapun alasan yang paling besar tentu saja adalah urusan biaya. Untuk bisa melakukan prosedur pembekuan seluruh badan, seseorang setidaknya membutuhkan biaya mulai dari 200.000 USD atau setara nyaris 3 miliar rupiah. Itu belum termasuk biaya transportasi dari Indonesia dan biaya pengobatan kalau memang obatnya sudah ditemukan.
Dengan penghasilan per kapita dan UMR yang saking rendahnya sampai kerap membuat orang memilih mati saja, mustahil untuk menghidupkan iklim cryonics di Indonesia.
Di Indonesia, urusan biaya selalu menjadi prioritas. Tak sedikit orang Indonesia yang jauh lebih takut pada biaya berobat, biaya pemakaman, dan biaya tujuh harian ketimbang pada kematian itu sendiri.
Kalau sudah demikian, untuk apa cryonics–cryonics-an segala? Kok kayak orang kurang kerjaan aja.