Menurut The Masolah Institute (TMI) yang berkantor di jalan Dokter Cipto, Sumenep, anak-anak muda Madura lebih mudah mendapatkan pasangan dibanding daerah-daerah lain. Itu tak lepas dari tradisi leluhur Madura yang amat ketat menjaga pergaulan kaum Hawa yang lajang. Bila telah cukup umur, dipertemukanlah (nyonggo’) anak cewek itu dengan calon pasangannya. Dikawal ketat hingga ke pelaminan.
Sangat jarang terjadi ketidakcocokan bila sudah memasuki fase lamaran (epenta-tonggeben). Bukannya tak ada, tapi langka. Sebab harga pembatalannya tidak sesederhana cabe-cabean dan terong-terongan massa kini mengirim wasap “Kamu terlalu baik …” di saat sedang sayang-sayangnya. Risiko ketegangan hubungan antarkeluarga menjadi harga mewah yang tak gampang ditebus begitu saja.
Jika setelah menikah terjadi perceraian (bayangkan bagaimana ketegangannya), semua barang dari pihak lelaki yang dibawakan sejak masa pranikah akan diangkut kembali tanpa tercecer sedikit pun. Kardus yang dilipat sebagai ganjal kaki lemari sekalipun akan turut dikembalikan. Tak boleh ada yang tertinggal, selain kenangan malam pertama ….Â
Sekjen TMI, Ve, menuturkan kepada saya bahwa gelombang modernisme, hedonisme, feminisme, dan akulturasi budaya yang tak terhindarkan memang telah menggeser wajah tradisi tersebut. Sebagian positif, lainnya negatif. Di antara yang negatif ialah merajalelanya populasi jomblo di Madura. Beda jauh sama zaman eppa’-emak dulu.Â
Lunturnya tradisi leluhur tersebut ternyata berbanding lurus dengan melambatnya angka pernikahan di Madura. Bagaimana mau menikah, pada jomblo kok. Maka, tegas Ve, “Cara mengatasi problem Madura kontemporer tersebut harus dilakukan dengan kembali kepada kultur fitri Madura. Niscaya takkan ada lagi anak-anak Madura yang menjomblo.”Â
Ve lalu mendedahkan beberapa argumennya di kantor TMI.Â
Pertama, bapak adalah solusi.Â
Relasi asali anak dan bapak di Madura tidaklah intim macam kecenderungan anak-anak masa kini. Tidak ada ceritanya seorang anak main Salodor sama bapaknya. Mustahil. Jika bapak ada di beranda, anak bisa ada di kamar atau dapur. Jika bapak ada di dapur, anak bisa ada di depan atau kamar. Tidak pernah ada kejadian anak sedang di kamar, lalu bapak ikut masuk.Â
Ini bukan berarti bapak kurang sayangnya kepada anak atau sebaliknya. Mereka menerapkan filosofi “cinta dalam hati”. Cinta tanpa mawar, coklat, dan tiket piknik. Cukup ngerti, saling paham. Simak ilustrasi ini:Â
Seorang anak dari daerah Jadung, yang hendak pergi ke Jogja telah sampai di terminal Bungurasih, Surabaya. Bapaknya menelepon.Â
“Nyampe mana?”Â
“Hati-hati.”Â
“Iya.”Â
“Kapan pulang?”Â
“Apa mau sekarang saja?”Â
“Buwehh …. Reng abit mun acaca ber-nyalaber.” Telepon dimatikan. Seringkas itu ekspresi sayang di antara mereka.Â
Ketidakintiman relasi permukaan ini jelas menunjukkan rasa sungkan. Tingkat nurut anak sangat tinggi. Maka, ketika sudah tiba masanya, bapak dengan mudah mengenalkan anaknya kepada seorang lelaki pilihan bapak. Anak pun menunduk diam, dan sesuai isyarat Nabi, “Diamnya perawan adalah persetujuannya”. Beda memang sama yang tak perawan. Pernikahan pun tak lama digelar.Â
Kedua, karisma kiai.Â
Begitu anak sudah masuk usia SD (ibtida’iyah) atau SMP (tsanawiyah), bapak mengantar anaknya ke seorang kiai untuk nyantri. Mondok.Â
Sejak dini, anak-anak Madura ditanamkan nilai-nilai dan pengetahuan tentang Islam. Silakan buktikan ini: sebajingan apa pun orang Madura, niscaya ia jago tahlilan dan selalu memendam cita-cita naik haji.Â
Sosok kiai otomatis sangatlah karismatik di tengah masyarakatnya. Dalam perkara apa pun. Bukan hanya perihal pengajian, tapi hingga urusan anak sawan, santet, seret rezeki, dan tentunya jodoh.Â
Apa pun titah kiai, haram dipunggungi. Selalu sami’na wa atha’na. Jangankan sampai bersemuka, sekadar melihat tembok rumah kiai saja hati mereka langsung ta’dhim. Kepala sontak tertunduk.Â
Kuatnya kharisma kiai ini menjadi jalan ampuh bagi siapa pun untuk menyongsong jodohnya. Bila ada seorang bapak yang meminta tolong seorang kiai untuk mencarikan jodoh anaknya, dengan mudah sang kiai bisa menunjuk itu atau ini, berikutnya dipertemukan dan menikah. Sesimpel itu sang kiai menolong kaum jomblo yang sudah masak di pohon. Sakti betul.Â
Ketiga, jangan kuliah.Â
Menuntut ilmu setinggi-tingginya memang penting, itu bahkan ajaran Nabi. Tapi bukannya tanpa konsekuensi.Â
Lunturnya tradisi leluhur tadi jelas dipantik oleh semakin banyaknya pemuda-pemudi Madura yang melanjutkan kuliah seusai nyantri. Atau langsung kuliah tanpa nyantri dulu. Pergaulan yang terbuka, akulturasi dengan Drakor, hingga menempelnya isu-isu sekular Barat macam modernisme, hedonisme, dan feminisme, melesatkan perspektif dan sikap baru di kalangan anak kuliahan itu. Ekspresi-ekspresi resistan pun berhamburan.
Makin tinggi kuliahnya, makin jadi pemberontakannya. Salah satunya ialah resistensi terhadap peran sentral bapak dalam urusan perjodohan.Â
Jangankan sampai dinikahkan, sekadar diminta kenalan dulu saja sulitnya bisa segede gaban. Atas nama memperjuangkan chemistry bin suara hati, vitalnya masa penjajakan dan grayang-grayangan, hak untuk memilih, seabrek kriteria pasangan impian, pergeseran paradigma sakinah mawaddah wa rahmah, hingga slogan pura-pura “menikah bukanlah tujuan utama hidupku karena yang utama adalah kebahagiaan”, tertundalah pelaminan itu.Â
Sementara waktu terus berlalu. Via Vallen mulai digantikan Nella Kharisma. Uut Selly tak pernah lelah menguplod dada dan bokong menggantikan Duo Serigala. Drakor menumbangkan kaset-kaset Barry Prima dan Advent Bangun. Hanya Jonru yang terus istikamah ….Â
Kini, putra-putri Madura (baik Madura Negeri maupun Madura Swasta) tidaklah jauh berbeda dengan insan-insan penghuni region-region jomblo lainnya. Populasi jomblo merajalela. Menguasai seluruh sudut jalanan. Suara-suara galau, sepi, dan lelah sangat melimpah ruah.Â
TMI telah melakukan riset di pengujung 2016 soal fenomena ini. Hasilnya, seperti yang diduga, angka jomblo di Madura berbanding lurus dengan angka perkuliahan. Rekomendasi TMI berbunyi begini: “Jangan kuliahkan anak anda agar cepat menikah.”Â
Begitulah faktanya. Dapat disimpulkan bahwa kuliah tidak selalu baik-baik saja buahnya. Lulus niscaya nganggur, jomblo pula.Â
Mahabenarlah TMI bahwa kembali kepada tradisi leluhur menjadi solusi riil-strategisnya. Agar kembali menjadi insan Madura yang kaffah. Pondokin saja, agar ilmu agamanya mantap, fasih tahlilan, yasinan, mauludan, dan patut diajak ke sripahan. Lalu nikahkan. Soal rezeki, kenapa waswas? Itu sudah diatur oleh Gusti Allah.Â
Asal kaffah, tak ada orang jomblo di Madura.