MOJOK.CO – Wacana dengan tajuk Jokowi 3 periode belum juga padam hingga kini. Padahal, wacana ini menyimpan bahaya untuk Indonesia.
Pertama kali wacana Jokowi 3 periode muncul ke permukaan adalah sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, beliau menyikapinya dengan istilah yang sangat keras. Ketika itu, beliau mengatakan bahwa wacana tiga periode identik dengan tindakan “menampar muka saya”. Banyak yang berspekulasi bahwa wacana tersebut akan terkubur setelah pernyataan keras Presiden.
Namun, inti cerita tentang wacana Jokowi 3 periode tak pernah benar-benar padam. Isunya terus bergulir di bawah tanah, walaupun masih muncul dan tenggelam di ruang publik. Bahkan, suaranya tak lagi berasal dari aktivis dan politisi pinggiran, tapi juga dari beberapa intelektual besutan lembaga survei seperti Qodari, misalnya.
Lalu, wacana Jokowi 3 periode pelan-pelan isunya menyusup ke kalangan political establishment sekelas Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan Kepala Badan Penanaman Modal Nasional, Bahlil. Wacana Jokowi 3 periode pun muncul dalam beberapa variasi, melebar menjadi wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu.
Bukan sikap asli Jokowi
Sampai akhirnya, baru-baru ini, terungkap bahwa sikap Jokowi dua tahunan lalu ternyata bukanlah sikap politik yang sebenarnya. Bahkan, dikabarkan, beliau adalah bagian penting dalam upaya memobilisasi wacana Jokowi 3 periode agar menjadi wacana besar dan terkesan menjadi aspirasi publik pada umumnya, padahal tidak begitu.
Sungguh sangat mengejutkan memang. Hasil investigasi salah satu “majalah arus utama nasional” menjawab keheranan saya selama ini tentang mengapa wacana Jokowi 3 periode tidak pernah benar-benar padam.
Ternyata jawaban adalah karena Jokowi, sebagai Presiden, bukan saja ikut memeliharanya, tapi secara tidak langsung berusaha untuk menyamarkannya agar seolah-olah menjadi aspirasi publik. Caranya dengan memobilisasi jaringan aktivis dan politisi untuk tetap menggelorakan wacana tersebut.
Upaya terselubung dari wacana Jokowi 3 periode yang berbahaya tersebut sangat perlu diantisipasi. Baik oleh para politisi mapan maupun oleh pegiat demokrasi dan para intelektual nasional. Karena dalam perspektif global, Indonesia memiliki keistimewaan di Asia sebagai salah satu negara besar dengan konsistensi berdemokrasi yang cukup persisten sejak reformasi digulirkan.
Posisi istimewa Indonesia di Asia
India, yang sejak lama dianggap sebagai raksasa demokrasi Asia, kini terjebak ke dalam populisme akut ala Narendra Modi, yang terus menari-nari di atas fanatisme Hindu dan diskriminasi sistematis atas masyarakat muslim India. Sementara negara-negara Asia tenggara lainnya, selain Filipina, masih betah dengan gaya “demokrasi berbalut autokrasi” ala Singapura atau Malaysia.
Oleh karena itu, Indonesia sangat perlu menjaga keistimewaan tersebut dengan terus secara konsisten menjaga kinerja institusi-institusi demokrasi. Salah satunya mematuhi ketetapan UU tentang masa jabatan presiden dan jadwal pemilu, sembari memperjuangkan kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sosial. Jangan lantas melanggengkan wacana berbahaya dengan tajuk Jokowi 3 periode.
Joshua Kurlantzick, pada tahun 2013 yang lalu menerbitkan buku berjudul Democracy in Retreat. Revolt of Middle Class and Worldwide Decline of Representative Government. Joshua menyoroti rontoknya tatanan demokrasi di beberapa negara berkembang, salah satunya Thailand, akibat ulah populisme Thaksin Shinawatra dan kroni-kroninya, yang berujung kudeta. Ketika itu, Joshua masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara percontohan yang baik yang masih menjaga denyut demokrasi. Namun, wacana Jokowi 3 periode bakal merusak hal itu.
Rontoknya demokrasi
Pada 2015, Larry Diamond dan Marc F. Flatter menjadi editor buku berjudul Democracy in Decline yang menghimpun karya-karya ilmiah yang mereka kelola, yakni “Journal of Democracy,” tentang kemunduran demokrasi di berbagai negara di seluruh dunia.
Kemudian, pada 2016, Joshua kembali menerbitkan buku berjudul State Capitalism. How the Return of Statism is Transforming the World. Lewat buku tersebut, Joshua memasukkan Indonesia ke dalam barisan sistem ekonomi state capitalism, tapi masih bercorak demokratis, yakni democratic state capitalism, setara dengan Brazil. Menurutnya, state capitalism adalah salah satu bentuk alternatif sistem ekonomi yang lahir dari kemunduran gerakan demokrasi global.
Tapi sistem ekonomi seperti ini, jika tak hati-hati, tak jauh jaraknya dari autocracy. Dengan besarnya peran negara dalam mengelola perekonomian dan mengintervensi industri-industri strategis, otot kekuasaan negara membesar di satu sisi dan melemahkan kelompok oposisi dan aktivis demokrasi di sisi lain. Walhasil, hanya butuh satu langkah lagi demokrasi untuk ditaklukan, jika pemimpinnya tak peduli dengan masa depan demokrasi. Salah satunya munculnya wacana Jokowi 3 periode.
Pada 2019 yang lalu, Pippa Norris dan Ronald Inglehart dari Harvard juga menerbitkan buku berjudul The Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism yang membahas menguatnya gerakan kanan dan kiri ekstrem di banyak negara, akibat memburuknya kinerja ekonomi ala kapitalisme yang memuncak pada krisis finansial pada 2008.
Karena perkembangan tersebut, tahun lalu, 2022, Gideon Rachman, menyimpulkan bahwa hari ini, spirit Strongman sudah menjadi jiwa zaman. Pemimpin-pemimpin berwatak autokrat mengakali institusi-institusi demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan kelompok oposisi. Dia memberi judul bukunya The Age of Strongman. Buku Gideon adalah penguatan atas buku yang diterbitkan oleh Eric A Posner, yang terbit 2020 dengan judul Demagogue’s Playbook.
Sindrom pemimpin
Munculnya sindrom pemimpin kuat tentu tak lepas dari ulah Vladimir Putin dan Xi Jinping yang memperpanjang masa jabatan presiden (Putin) dan menambah masa jabatan presiden (Putin) di negaranya masing-masing. Tapi, bagaimanapun, Rusia dan Cina memang bukanlah bagian dari negara-negara demokrasi. Sejak 2004 atau 2005, Rusia sudah tidak lagi dikategorikan sebagai negara demokrasi ideal, terutama sejak Putin mulai memberangus media dan pengusaha-pengusaha kritis.
Filipina juga sempat dihantui sindrom pemimpin kuat setelah populisme Duterte mengejutkan dunia. Tapi, institusi demokrasi di Filipina, terutama pengaruh kuat pihak militer yang masih sangat pro Amerika, membuat Duterte kehilangan nyali untuk mendobrak tradisi pemilihan di sana.
Yang dilakukan Duterte kemudian adalah mendukung dan berjuang memenangkan calon pengganti yang segaris dengannya. Dan itulah yang terjadi. Duterte menjadikan anaknya sebagai wakil presiden di pemilihan mutakhir mendampingi presiden baru yang juga masih di bawah bayang-bayang Duterte. Memang terkesan kurang etis. Tapi, secara politik, sangat bermakna strategis, karena Duterte yang sangat populis pun tidak berani membuka wacana berbahaya seperti Jokowi 3 periode untuk dirinya sendiri.
Jokowi menjilat ludah sendiri
Nah, pada akhirnya, Indonesia yang akan kena getah. Jika dengan sengaja menggelorakan wacana Jokowi 3 periode, Indonesia kalah istimewa dibanding Filipina. Sementara itu, di sisi lain, Jokowi akan kalah demokratis ketimbang Duterte.
Jangan lupa juga kalau Jokowi akan menjilat kata-katanya sendiri. Sebagaimana pernah dikatakan secara lugas di media, Jokowi akan menampar wajahnya sendiri jika wacana tiga periode terus digaungkan.
Untuk itu, semua pihak, terutama Jokowi, harus arif dan bijak. Khususnya untuk kembali kepada ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang secara tegas berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.
Pak Jokowi suka ya menampar muka sendiri?
BACA JUGA Mengungkap Latar Belakang Kemunculan Wacana Tiga Periode Presiden Jokowi dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Jannus TH Siahaan
Editor: Yamadipati Seno