MOJOK.CO – Dari Joko Susilo kita belajar, wibawa guru itu harus dijaga, jangan dijadikan lelucon semata. Apalagi jadi humor slapstik. Nanti kualat, loh.
Beberapa waktu lalu Pak Joko Susilo Bambang Yudhoyono mendadak terkenal. Ini bukan karena namanya dianggap sebagai momentum rujuknya PDI Perjuangan dan Demokrat. Apalagi karena ia menjadi penanda dukungan Demokrat sepenuhnya kepada kubu pertahana setelah konon di-PHP-in Mas Wowo (eh!). Bukan. Toh, Pak Joko Susilo cuma guru biasa di sebuah SMK yang mencoba bercanda dengan murid-muridnya. Namun, sayangnya, gagal.
Kegagalannya disebabkan oleh candaan yang dilakukan Pak Joko Susilo bareng sejumlah murid tersebut justru dianggap sebagai tindak tercela, membikin wibawa guru jatuh ke tingkat paling bawah. Apalagi rekaman video candaan tersebut terlanjur beredar di tengah masyarakat yang kagetan.
Sebenarnya masyarakat yang menganggap lelucuan Pak Joko Susilo dan murid-muridnya itu sungguh nggak lucu, nggak salah-salah banget sih. Dalam video tersebut, jelas-jelas penonton disuguhkan tayangan Pak Joko Susilo sedang menangkis aksi dorong-dorong(an) dan tendang-tendang(an) dengan jurus kunyuk melempar buah sampai sepatu yang dikenakannya lepas. Siapa pun yang menontonnya pasti merasa iba pada Pak Joko Susilo yang tampak dikepung oleh begundal-begundal yang tidak lain adalah murid-muridnya sendiri. Lebih miris lagi karena anak-anak lain ikut tertawa alih-alih menolong Pak Joko Susilo yang sudah tua itu.
Kita yang lekas panik langsung mengeluarkan sehimpun komentar tentang kenakalan remaja saat ini yang nauzubillah songongnya nggak kira-kira. Ada juga yang langsung mengeluarkan banyak analisis tentang bobroknya sistem pendidikan di negeri tercinta. Tak sedikit pula yang justru menyalahkan Pak Joko yang nggak ada wibawa-wibawanya. Komentar terakhir bertambah dramatis manakala Pak Joko diwawancarai sejumlah media dan menyatakan apa yang tampak dalam video yang viral tersebut hanyalah sebuah lelucon yang bukan pertama kali dilakukan bersama murid-muridnya.
“Guru kok bercandanya sama murid. Merendahkan wibawanya saja!”
Mendengar respon-respon semacam itu, saya bertanya-tanya soal hubungan candaan dan wibawa seorang guru. Saya yang pernah belajar di sekolah justru kerap mengidolakan guru yang suka melucu. Bagi saya, guru jenis ini membuat beban belajar yang kadang kala terasa berat, sedikit ringan. Setidaknya saya punya alasan untuk pergi ke sekolah di saat sedang malas-malasnya—tentunya selain alasan bertemu dengan guru rupawan juga.
Biasanya, guru yang suka melucu juga dekat dengan siswa. Mereka tidak mudah terluka hanya karena saya mengejeknya. Ejekan yang kami sampaikan, justru dikembalikan dengan cara yang lebih konyol kepada kami. Lantas, kami malah baku tukar ejekan. Tentu saja hal tersebut kerap mengundang tawa. Fyi, tertawa itu penting, di manapun. Termasuk di sekolah. Percayalah!
Karena jarang tersinggung pula, guru yang suka melucu dan punya sense of humor yang baik selalu terlihat rileks. Aura rileks dan make it simple itu menyebar ke siswanya. Sehingga siswa mudah bahagia di tengah tumpukan soal-soal matematika. Lagian kan cuma soal matematika, bukan pertanyaan dari calon mertua, apalagi pertanyaan Munkar Nakir di alam baka.
Soal adab siswa yang berpotensi untuk melukai wibawa guru, mungkin kita perlu ingat-ingat pesan Gus Dur soal humor. Dalam bukunya Melawan Melalui Lelucon, Gus Dur menyebutkan setidaknya candaan punya fungsi penting sebagai medium protes terselubung, wadah ekspresi politis, sarana menggalang kesatuan dan persatuan, serta kritik terhadap keadaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri.
Saya ingat-ingat, justru guru-guru yang punya selera humor dan menanggapi biasa saja candaan muridnya adalah guru-guru menyenangkan yang senantiasa terbuka akan kritik dari siapa pun, termasuk dari murid-muridnya. Mereka tidak sungkan mengakui diri tidak sempurna dan memposisikan diri sebagai manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.
Jenis guru macam inilah yang mampu melebur batas-batas yang kerap mengkotak-kotakkan manusia ke dalam berbagai hal, termasuk status dan profesi. Guru-murid. Beberapa guru masih menganggap mereka adalah sumber belajar utama di sekolah. Pikiran macam ini yang kerap menutup ruang diskusi antara dua makhluk yang harusnya saling mengisi. Sumber informasi dan komunikasi masih selalu satu arah. Padahal kalau kata Phil Collins di lagu Son of Man mah gini kan; in learning you will teach, and in teaching you will learn.
Jadi, menurut saya humor dan canda dalam praktik belajar mengajar di sekolah enggak ada urusannya sama wibawa guru atau label murid yang songong dan nggak punya adab. Yakinlah, siswa itu selalu ingin dekat dengan gurunya. Ada yang caranya elegan. Nggak jarang yang cari perhatiannya eskrim, eh ekstrem, maksudnya.
Kembali ke kasus Pak Joko Susilo dan humornya yang nggak mudah kita terima, lantas, apa yang salah? Jika memang benar humor justru melepas sekat-sekat antara guru dan siswa, apakah siswa tidak bisa serta merta belajar tentang nilai-nilai menghargai dan toleransi lewat canda?
Jawabannya tentu bisa. Tapi, candaan yang bagaimana?
Candaan—kalau benar itu candaan—yang diperlihatkan dari video Pak Joko Susilo dan murid-muridnya adalah candaan fisik. Kita kerap menyebutnya dengan humor slapstik. Konon, inilah jenis humor paling primitif yang dikenal manusia. Humor slapstik juga mudah dipahami dan konon sifatnya universal.
Ada banyak contoh humor slapstik atau candaan fisik yang bisa ditertawakan di sekitar kita. Melihat teman terjatuh mengenaskan sebelum menolongnya, terpingkal-pingkal karena aksi Raffi Ahmad yang melumuri wajah Opie Kumis dengan bedak, atau melihat banyolan Sule, Andre Taulani, Parto dan Nunung yang gebuk-gebukan properti panggung berbahan stereofom. Atau terbahak-bahak sekadar menanggapi Rowan Atkinson si Mr. Bean yang kesulitan membuka pintu rumah hingga terjungkal jatuh.
Humor slapstik tidak hanya hadir pada tontonan orang dewasa. Sejak kecil, lewat acara hiburan, kita sudah dimanjakan dengan komedi slapstik ini. Kita senang menertawakan kemalangan Tom yang mengejar musuh bebuyutannya; Jerry si tikus kecil. Atau pada generasi yang lebih kekinian, ada si Oggy (kucing juga) yang kerap dijahili parah oleh trio kecoa; Joey, Dee Dee, dan Marky (yang mungkin hasil reinkarnasi dari tiga personil band punk legendaris Ramones) dalam serial animasi asal Perancis; Oggy and the Cockroaches.
Semua yang saya sebut di atas punya satu kesamaan; kita tertawa saat menontonnya. Kita menertawakan penderitaan, kemalangan pihak-pihak yang kalah, atau ketertindasan seolah orang yang kesusahan atau tertimpa kesialan adalah hal yang lucu. Deritamu, bahagiaku. Oalah.
Karena sifatnya fisik, humor slapstik memang cenderung mempertontonkan gesekan non-verbal yang bisa kebablasan sebagai tindak kekerasan. Contoh, pukul-pukulan, dorong-dorongan, toyor-toyoran kepala. Kita pun sepakat bahwa tayangan humor yang sarat dengan tindak kekerasan fisik tersebut meresahkan kita semua.
Mungkin, menertawakan diri sendiri, menertawakan kesalahan, menertawakan kegetiran hidup, bahkan menertawakan ketertindasan yang dilakukan penguasa, masih dapat dinikmati sebagai sebuah lelucuan. Namun, menertawakan tindakan kekerasan seperti tampak pada video “pengeroyokan” Pak Joko Susilo oleh murid-muridnya, tentu jadi sesuatu yang “krik-krik” alih-alih lucu.
Keresahan saya saat menonton video “candaan” Pak Joko Susilo yang mengeluarkan jurus kepret bangau untuk menghadapi murid-muridnya lebih pada potensi “humor” tersebut bukan lagi berfungsi sebagai peluruh sekat antara guru dan murid yang biasanya kaku. Tapi, legitimasi pada tindakan kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, pada siapa saja. Hal ini tentu mengerikan. Apalagi terjadinya di pranata sosial semacam sekolah.