MOJOK.CO – Banyak pekerja Jakarta yang masih memandang Jogja itu segalanya murah dan menyenangkan. Eits, nanti dulu, mari kita hitung kenyataannya di sana.
Seperti layaknya circle pertemanan pekerja Jakarta, di antara kami minimal ada 1 orang yang saking ngota-nya sering membicarakan Jogja. Sedikit demi sedikit bilang, “Aduh jadi pengin bakpia.” Walau maksudnya bolu kukus yang terkenal itu. Di satu kesempatan kadang mengumpat, “Sial gue jadi pengen Gudeg Bromo.” Lalu secara impulsif mengajak liburan ke Malioboro sekadar untuk nongkrong di angkringan.
Tanpa perlu menyepakati, anggapan orang-orang Jakarta soal Joga masih berkisar 2 hal: serba-murah dan serba-menyenangkan. Meski begitu, saya akui, jika saja saya mendengar kalimat ini ketika sedang minum kopi, mungkin kopinya bakal nyembur.
Sebagai lulusan UMR Jogja dan kaum mendang-mending Kabupaten Sleman, Jogja memang tampak serba-murah dan serba-menyenangkan. Hanya, dan hanya jika, melihatnya dari sudut pandang yang keliru.
Sungguh seribu maaf kalau argumen saya bakal mengacaukan rencana kamu menghabiskan pensiun di Jogja. Masalahnya, kota ini (harus kita akui bersama-sama), punya banyak banget PR.
Sebab, orang-orang yang tinggal di sana justru merasa makin ke sini kebutuhan semakin mahal. Dan, semakin brengsek, ketika hidup suka tak masuk akal. Misalnya, dengan menerawang gaji pekerja, kita bisa tahu bahwa hunian yang lumayan dengan akses mudah tak terjangkau pekerja Jogja.
Nah, untuk menjelaskan terma ini ke orang Jakarta dan sekitarnya, mari kita berkaca pada beberapa poin sederhana.
Menyepakati soal UMR/UMP
Sebelum masuk ke poin-poinnya, kita sepakati dulu UMR terkini, yang sekarang lebih tepat disebut UMP, dari kedua kota ini. Kenapa saya cuma pakai kota Jogja dan Jakarta? Selain saya pernah tinggal dan bekerja di kedua kota ini, keduanya juga saya rasa representatif buat mendefinisikan apa itu paradoks. Bukan, bukan karena huruf awalnya J. Saya nanti gatal pengin masukin Jember.
UMP Jogja (DIY) per Maret 2024: Rp2.125.897
UMP Jakarta (DKI) per Maret 2024: Rp5.067.381
Kebutuhan tempat tinggal, kalau dipikir-pikir, bisa jadi lebih murah Jakarta
Rata-rata kamar kos di Jogja bisa disewa dengan harga Rp500.000. Ini angka yang saya rasa standar bawah, lah ya. Sayangnya ada aturan “kamar kosongan” di sana yang artinya si pemilik kos hanya menyewakan ruangan kosong tanpa perabot, tanpa kasur, dan lainnya. Ya pokoknya cuma sepetak kamar.
Nah, di daerah Condongcatur, Sleman, jika cukup jeli, kamu bisa dapat kamar dengan harga Rp500.000. Harga segitu sudah lengkap dengan perabot, tapi tentu saja kamar mandi luar. Biar enggak ngawang, saya lampirkan beberapa daftar harga kos di sekitar Condongcatur dari sebuah platform sewa kos di sini.
Perbandingannya di Jakarta, dengan fasilitas yang hampir mirip (tanpa AC dan kamar mandi luar), kamu bisa mendapatkannya di rentang harga Rp850.000. Tapi di lokasi tertentu ya, seperti Palmerah, Jakarta Selatan, dan Grogol, atau Slipi. Itu saja, rata-rata kamar kos sudah menyediakan perabotan berupa lemari, kasur, kipas angin, dan bisa langsung huni ketika itu juga.
Tapi, supaya lebih adil, anggap saja harganya Rp1.000.000 untuk mendapat tempat tinggal dengan lokasi yang cukup layak dan nggak banyak maling. Bahkan kalau mau cari lebih jauh, harga kurang lebih 1 juta sudah bisa dapat yang ber-AC pula. Biar enggak ngawang, daftar harganya di sini.
Kamar kos Jogja: 23,5% gaji UMR
Kamar kos Jakarta: 19,7% gaji UMR (bonus perabot siap pakai dan AC)
Baca halaman selanjutnya: Jogja adalah daerah survival bagi para pekerja yang bergelut dengan UMR.
Kebutuhan makan sehari-hari di saat pekerja Jogja perlu berlatih survival
Semua makanan di Jogja murah? Nnggak juga. Makanan warteg memang lebih murah daripada warteg di Jakarta. Sayang, perbandingannya enggak signifikan dengan besaran UMR atau UMP.
Sebagai insan yang kadang tergoda lauk-pauk duniawi, wajar jika dalam beberapa hari ingin protein lebih banyak. Misalnya berupa ayam, sosis, atau sambal goreng ati. Kalau melihatnya lebih jauh, kebutuhan makan Jogja dan Jakarta memang jelas lebih murah Jogja. Tapi nggak sekontras itu.
Biar berimbang, harga berikut saya dapatkan dari price list budget meal yang ada di layanan pesan antar. Tentu exclude dengan pajak dan biaya antar.
Nasi ayam geprek di Jogja: Rp25.000
Dua kali makan sehari dalam sebulan: Rp25.000 x 2 x 30 = 1.500.000
Biaya makan sebulan boncos karena 70,5% UMR, artinya pekerja Jogja harus hemat sejak dalam pikiran. Misal, nggak beli online setiap hari, masak sendiri sesekali, dan kalau bisa cari kerja yang kasih budget makan siang. Sebab, mustahil setiap hari beli online, mahal bro.
Nasi ayam geprek di Jakarta: Rp32.000 x 2 x 30 = 1.920.000
Dua kali makan sehari dalam sebulan: Rp32.000 x 2 x 30 = 1.920.000
Biaya makan sebulan 37,8% UMR. Masih cukup, buat sekali sebulan makan di cafe asal kuat tiap hari makan nasi ayam tanpa tergoda All You Can Eat.
Sebentaaar, saya tahu nih mulai banyak yang protes soal harga makanan. Pak Menteri aja bilang Rp15.000 sudah bisa dapat makanan bergizi di Jogja. Olive Chicken sepaket juga enggak sampai Rp20.000.
Baik. jika ingin menyamai persentase biaya makan “normal” di Jakarta yang 37,8% UMR itu, setidaknya pekerja kota pendidikan harus irit dengan hanya menghabiskan Rp803.589 per bulan untuk biaya makan. Mustahil? Nggak juga kok, pekerja Jogja bakoh-bakoh. Tunggu sampai kita menghitung biaya selanjutnya.
Kebutuhan dasar lain yang sialnya, di seluruh Pulau Jawa harganya nggak beda
Saya selalu berusaha kasih penjelasan ke teman-teman yang menyebut Jogja serba-murah sehingga pekerjanya layak dapat UMR/UMP dengan angka demikian kecil. Banyak orang kerap melupakan kebutuhan ini dalam percakapan karena dianggap nggak penting, padahal….
Tidak lain dan tidak bukan kebutuhan itu adalah keperluan sanitasi seperti sabun mandi, sampo, deodoran, sikat dan pasta gigi, detergen, dan kalau boleh nambah dikit beli pelembab wajah dan parfum.
Belinya pun bisa sama-sama di marketplace yang official store. Artinya harganya sama. Beberapa poin di bawah ini saya sengaja kumpulkan dari merek-merek standar yang harganya juga masih masuk akal (harga kisaran bervariasi tiap toko). Berikut estimasinya untuk gambaran.
Sabun mandi batangan Dettol: Rp5.500 x 2 = Rp11.000 (penggunaan sebulan).
Shampoo Head & Shoulders: Rp20.000
Sikat gigi Formula: Rp3.500 (model standar)
Pasta gigi Pepsodent 75g: Rp5.000
Deodorant Rexona: Rp12.000
Pelembab wajah Pond’s: Rp20.000
Parfum Axe: Rp30.000
Total: Rp101.500
4,7% UMR Jogja
2% UMR Jakarta
Dengan catatan, nggak beli kebutuhan dasar lain seperti lotion, conditioner, toner, serum, dan sederetan makeup yang mungkin dibutuhkan para pekerja di mana saja mereka berada. Ya Allah, kapan pekerja Jogja bisa glowing kalau begini. Menangis.
Ada nggak ada uang, tagihan ini bakal jadi hantu di siang bolong
Sudah seharusnya kita memperhitungkan listrik, air, sampai pulsa sebagai kebutuhan dasar juga. Tanpa 3 komponen ini, hidup serasa di Mars. Mari kita coba hitung.
Listrik per bulan pekerja jomblo: Rp100.000
Air per bulan pekerja jomblo: Rp50.000 (meski ada juga yang pakai air sumur)
Pulsa per bulan: Rp100.000 (kuota 8GB untuk scroll IG, TikTok, dan timeline Twitter, sesekali streaming YouTube dan film ilegal).
Total: Rp250.000
11,7% UMR Jogja
4,9% UMR Jakarta
Waktunya merenung dan menyadari bahwa Jogja memang salah urus
Baiklah saatnya menjumlahkan persentase kebutuhan dasar di atas. Semoga aja margin of error-nya nggak gede-gede amat dan lebih berpihak pada pekerja Jogja ya. Silakan berdoa menurut kepercayaan masing-masing….
Yak, cukup.
Perhitungan dimulai.
Kebutuhan dasar pekerja Jogja versi orat-oret saya:
Papan + pangan + sanitasi + tagihan dasar
23,5% + 70,5% + 4,7% +11,7% = 110,4%
Sisa Gaji: NGGAK ADA, minus 10,4% atau Rp221.093
Kebutuhan dasar pekerja Jakarta versi orat-oret menurut saya:
Papan + pangan + sanitasi + tagihan dasar
19,7% + 37,8% + 2% + 4,9% = 64,4%
Sisa Gaji: 35,6% atau Rp1.803.987 bisa lah party tipis dan beli sepatu New Balance setahun sekali.
Mari mencari alasan biar nggak ngenes amat
Jika sudah cukup menangis tertampar kenyataan, tenangkan diri dulu. Tentu di Jakarta kebutuhan transportasi bakalan lebih mahal. Eh, tapi transportasi umum sudah mulai terintegrasi, ding. Bebas bensin, pajak kendaraan, dan nggak ribet biaya parkir.
Oke cari alasan lain. Jakarta punya pergaulan yang banyak menuntut gengsi, nongkrong sana-sini, dan pergi ke mal itu sebuah tradisi. Eh, tapi harga baju-baju branded di Jakarta dan Jogja itu nyaris sama juga ya? Harga kopinya juga nggak beda jauh, kok.
Sabar, sebentar saya mikir dulu, cari alasan lain yang memberatkan bahwa UMR Jakarta dan Jogja sudah apple to apple, atau mungkin ada yang mau bantu nggak? Kalau ada, kabarin.
Penulis: Ajeng Rizka
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja Tidak Pantas Lagi Menyandang Kota Wisata dan Kota Pendidikan karena Tidak Bisa Dinikmati oleh Warganya Sendiri dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.