MOJOK.CO – Tak mudah menjadi seorang pencinta Jokowi, utamanya ketika dia sering kepleset lidah.
Taruh kata, kita adalah pencinta Jokowi. Lalu pada sebuah acara, Jokowi mengucapkan sesuatu di hadapan publik yang mengundang reaksi yang sangat keras dari masyarakat (misalnya seperti insiden bipang beberapa waktu yang lewat itu). Apa yang akan kita lakukan?
Sebagian dari kita pasti akan menjadi sangat reaktif. Ghirah ke-Jokowi-an kita langsung berkobar hebat. Kita akan langsung pasang badan di berbagai kesempatan, mencoba mengklarifikasi apa pun yang menurut orang lain telah salah diucapkan oleh Jokowi.
Kita akan menjadi ahli dadakan di tema itu. Kalau yang dikatakan oleh Jokowi adalah tentang mesin, maka kita bisa langsung memosisikan diri selayaknya seorang insinyur yang paham nglothok tentang mesin apa pun, dari mesin kapal sampai mesin bubut. Kalau yang dikatakan oleh Jokowi adalah tentang ikan, maka kita bisa langsung menjelma menjadi seorang ahli bahari yang, saking ahlinya, sampai seolah kitalah ikan itu sendiri. Kalau yang dikatakan oleh Jokowi adalah tentang film, kita bisa langsung berlagak selayaknya orang yang sudah belasan tahun bergaul dengan Anwar Fuady.
Semua itu kita lakukan semata agar bisa memberikan klarifikasi terbaik bagi Jokowi. Itulah bukti cinta. Dan itu manusiawi.
Tapi, sebelum kita melanggengkan kebiasaan seperti itu, mari kita renungkan dua hal kecil. Dua hal yang sebenarnya sudah sangat jelas dan sangat-sangat kita pahami, namun sering terlupa karena sifat kita sebagai manusia yang memang mudah khilaf dan alpa.
Pertama, Jokowi adalah politisi dan pejabat publik. Tak usahlah kita romantisir dia sebagai ‘tukang mebel yang ingin mengabdikan diri pada bangsa.’ Dia politisi yang sedang mengemban jabatan publik. Titik.
Sebagai pejabat publik, setiap napas Jokowi dibiayai oleh para pembayar pajak. Bukan hanya udara yang keluar dari mulutnya tiap kali ia menguap, namun juga deretan nomor NPWP kita.
Oke, kita mungkin tidak rajin-rajin amat membayar pajak penghasilan, kendati demikian, tetap saja ada banyak ragam pajak lain yang pasti kita turut membayarnya. Seberapa kecil pun bagian dalam pajak itu, tetap saja kita semua adalah rakyat yang telah ikut urunan untuk apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh Jokowi.
Jokowi bukan hanya pejabat publik biasa, lebih dari itu, ia adalah presiden RI. Cakupan kegaduhan yang bisa dia timbulkan (juga cakupan manfaat yang dia bawa) adalah seluruh Indonesia. Jadi jangan baper kalau salah ucap Jokowi kok terasa riuh rendah dibahas orang-orang di seluruh negeri. Dia bukan lurah Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY, yang cakupan manfaat dan kegaduhannya ya cuma di desa ini, eh itu.
Kalau ada kegaduhan atas kesalahan ucap dan tindakan yang dilakukan oleh Jokowi, jangan bandingkan hal serupa dengan yang dilakukan oleh, misalnya, Iqbal (ini nama random saja), yang bukan pejabat publik. Kita tak perlu membandingkan keduanya: “Halah, kalau Jokowi gini dikit, kok pada ribut. Kemarin Iqbal gitu, pada diam saja.” Ya iyalah, polah dan ucapan Iqbal tidak dibiayai oleh para pembayar pajak.
Kedua, Jokowi mengurus banyak hal tentang negeri ini. Untuk itu, dia dibantu oleh tim yang mumpuni, tim yang pastilah gemar memakan bangku sekolah dengan amat lahap. Tim itu terdiri dari orang-orang pilihan yang dibayar mahal oleh negara –sangat mahal kadang-kadang. Bayaran itu pun datang dari pajak kita. Tim itu digaji resmi, diberi fasilitas, memperoleh akses pada informasi penting, dan seterusnya. Kerap di luar gaji pun, mereka masih diberi bonus kedudukan sebagai komisaris di BUMN. Di sini mereka mendapat gaji besar, untuk memastikan mereka sejahtera dan bisa fokus membantu presiden.
Ini penting, sebab presiden sangat sibuk. Dia menghadiri banyak acara setiap hari, menandatangani banyak surat setiap hari, meresmikan ini-itu, dadah sana dadah sini, dan yang pasti, merespons banyak persoalan publik setiap hari. Tak mungkin dia bisa memikirkan semua hal itu dengan tuntas. Karena itulah, fungsi orang-orang yang memberikan masukan kepadanya menjadi sangat penting. Merekalah yang memberi saran pada presiden, apa yang harus dikatakan dengan tepat dan taktis.
Bayangkan Anda jadi presiden Indonesia. Pagi hari Anda harus membuka acara jalan sehat lansia. Apa yang akan dikatakan di acara itu? Sebuah tim kecil akan mem-briefing Anda dan menyerahkan draf naskah pidato untuk dibaca, entah secara tekstual, atau inti-intinya saja. Tim kecil itu harus memberi info akurat pada Anda, termasuk bahwa lansia adalah singkatan dari ‘lanjut usia’ bukan ‘lanjutkan Indonesia’. Misalnya lho ini.
Siang hari Anda ke mana? Mungkin ada acara penerimaan duta besar baru dari negara sahabat. Akan ada tim kecil juga yang bakal mem-briefing Anda tentang apa dan siapa dubes yang harus ditemui ini. Tim itu harus benar-benar akurat memberikan informasi sekecil-kecilnya. Jangan sampai Anda sebagai presiden RI mengira bahwa Tunisia itu di Eropa karena tim itu tidak memberi informasi yang tepat, misalnya. Misalnya lho ini.
Maka dari itu, jika kita cinta Jokowi, dan dia melakukan salah ucap di depan publik, kita justru harus ikut tersinggung. Bukan, bukan tersinggung pada Jokowi, tapi pada tim yang seharusnya memberikan informasi yang benar-benar akurat kepadanya. Ketika tim itu tak melakukan tugasnya dengan baik, maka Jokowi yang kita cintai itulah yang kemudian dianggap kepleset melakukan kesalahan.
Sekarang mari kita simpulkan. Pertama, kalau Jokowi yang kita cintai itu salah ucap, dan banyak orang seantero negeri ribut, maka beryukurlah. Mengapa? Sebab orang-orang itu masih memperlakukan Jokowi sebagai presiden RI, bukan lurah Sardonoharjo.
Kedua, kalau Jokowi salah ucap, perlakukan itu sebagai indikator adanya masalah di tim sekitarnya. Kita yang mencintai Jokowi perlu menegur tim itu, sebab mereka telah menjerumuskan tokoh yang kita cintai.
Inilah jalan cinta yang seharusnya kita tempuh. Jalan pedang yang tak semua orang sanggup dan mau menitinya.
Nah, setelah ini, silakan Anda copas tulisan ini ke Microsoft Word, lalu simpan. Nanti di tahun 2024, bukalah file tulisan ini, lalu gunakan fungsi find dan replace all pada nama Jokowi dengan nama siapapun yang terpilih sebagai Presiden (Ganjar, Anies, Khofifah, Emil, Aldi Taher, Nassar, siapa pun). Yakinlah, isi tulisan ini akan tetap berlaku.
BACA JUGA Syiah Garis Lucu, Emang Ada? dan tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.