MOJOK.CO – Sulitnya nikah beda aliran walau masih satu agama nggak hanya terjadi di Islam.
Sebagai tukang bikin baju nikah partikelir, saya paling suka momen konsultasi bersama klien. Biasanya selain ngobrol soal desain baju, kami akan ngerumpi dalam rangka mempererat chemistry antara desainer-klien. Konon ini penting agar desain yang dibuat mempunyai sentuhan personal. Tapi buat saya ini penting sebagai momen menghimpun cerita cinta hehe.
Dari daftar klien sejauh ini (biar kesannya banyak), saya pernah menemui pasangan pejuang pernikahan beda usia, beda suku, bahkan beda kewarganegaraan. Tapi belum ada yang beda agama. Jangankan beda agama, beda aliran alias jemaat keagamaan saja nggak ada. Bahkan ada klien yang perjuangan cintanya justru “harus dengan dia” karena dia yang satu aliran, tidak bisa yang lain. Saya pikir mungkin klien saya belum progresif, tapi ternyata pernikahan beda aliran kepercayaan terkadang memang lebih ribet daripada pernikahan beda negara di bangsa kita.
Biasanya tradisi pernikahan sesama jemaat ini dikarenakan nilai atau tradisi kelompok itu dianggap berbeda dengan kelompok lain. Tradisi atau anjuran ini utamanya ditujukan untuk anggota jemaat perempuan karena dalam banyak tradisi agama, perempuan adalah umat yang semestinya mengikut imam. Nah bagaimana mau ngikut kalau jalannya beda?
Kalau secara kultural, yang cukup kita kenal misalnya tradisi pernikahan sesama santri Nahdiyin. Sebenarnya tantangan umat Nahdiyin hari ini nggak se-drama Kambing dan Hujan, apalagi belakangan NU dan Muhammadiyah makin sohib. Tapi bukan berarti aliran penghalang itu sepenuhnya hilang. Justru lebih sulit kalau ternyata santri NU jatuh cinta sama pejuang khilafah.
Jika perempuan pengikut jamaah secara kultural saja sulit menembus aliran kepercayaan berbeda, akan jauh lebih sulit bagi mereka yang terlibat secara struktural dalam jamaah. Tradisi ini bahkan nggak cuma berlaku buat umat Islam yang memang suka insecure sama isu jamaah.
Seorang teman penganut Kristen karismatik misalnya, bercerita kalau menjadi pelayan altar membuatnya lebih dipantau oleh gereja atau pemimpin jemaat perihal dengan siapa dia akan menikah. Kalau ternyata doski beda aliran, ada proses diskusi panjang dan berulang sampai si calon berkenan dibaptis sebagai jemaat mereka.
Teman lain aktivis Hindu juga mengamini tradisi pernikahan sesama aliran ini. Mereka bahkan harus sudah selesai dengan kesamaan aliran. Dengan sendirinya penganut Hindu yang memiliki aliran akan memilih pasangan yang sealiran karena ada tantangan kesamaan lain yang harus dilewati: kasta. Dan tradisi Hindu ini jauh lebih ribet karena melibatkan banyak aspek.
Bahkan teman dari kelompok yang dikenal progresif dengan love for all hatred for none, Ahmadiyah juga mengalami tradisi ini. Anggota jemaatnya sangat dianjurkan menikah dengan sesama Ahmadi. Kalaupun ternyata dia jatuh cinta dengan non-Ahmadi dan ingin menikahinya, boleh saja asalkan si calon bersedia berbaiat sebagai anggota jemaat terlebih dahulu. Kalau belum punya calon sesama Ahmadi, jemaat akan memfasilitasi melalui perjodohan internal.
Meskipun dalam aliran apapun pada akhirnya keputusan kembali ke pilihan personal alias kamu tidak akan dikeluarkan dari jemaat sekalipun keukeuh menikahinya yang berbeda, kebanyakan teman tetap memilih merelakan cintanya dan memilih cinta jemaat.
Bukan berarti mereka ini nggak cinta. Mereka hanya sadar akan kekuatan hati masing-masing. Sebab meskipun saling cinta dengan pasangan, seseorang harus benar-benar kuat kalau mau bersanding dengannya yang menempuh jalan juang berbeda.
Misal nih, si istri pamit mau ikut aksi demo, langsung diceramahi suami soal haramnya demokrasi. Atau si suami golput pas pemilu, si istri langsung ceramah soal mudharat golput di jaman now. Kapan mau berjuang kalau persepsi berdua saja belum selesai? Itu belum sengketa kecil macam salah naruh baju kotor atau menu masakan yang itu-itu saja.
Saya kadang suka geli-geli pedih kalau mendengar cerita cinta teman-teman lintas iman ini. Geli karena ternyata seaneh-anehnya mereka ternyata punya loyalitas komunal yang tinggi. Tapi pedih juga ketika para pejuang persatuan bangsa itu justru gagal meraih persatuan hati mereka. Dalam dialog lintas iman mereka berhasil mengedepankan kesamaan untuk perdamaian dunia, tapi tidak untuk perdamaian hati sendiri. Tapi ya nggak usah naif sih. Toh dalam banyak pertaruhan hidup seringkali perasaan lah yang pertama kali kita ajukan di altar pengorbanan.
Meski begitu bukan berarti pernikahan beda jemaah nggak bisa dilakukan. Hanya saja biar nggak dibilang naif apalagi bucin alias budak cinta, kuncinya adalah nggak usah bawa-bawa perkara hati.
Bilang saja pernikahan beda jemaat seperti itu bagus dalam rangka menguatkan persaudaraan. Toh masih satu agama, kan? Teman-teman PKS dan HTI yang dulu sering sindir-sindiran saja sekarang akur dengan bersahabatnya Ust Salim dan Ust Felix. Sementara para asatidz itu baru bisa buat ikatan persahabatan untuk ukhuwah, kenapa kamu tidak bikin ikatan pernikahan?
Kalau alasan persaudaraan masih belum kuat, pakai saja alasan politik, eh perjuangan. Coba bayangkan, berapa besar kekuatan dakwah umat yang bisa terhimpun dari persatuan dua jamaah? Jika saat pemilu koalisi PKS dengan PDI saja bisa sah, kenapa hubungan simpatisan PKS dengan simpatisan PAN tidak bisa disahkan?
“Tapi nanti nggak beneran love conquers all dong?”
Hmm. Nikah beda jamaah yang karena cinta gitu bukannya nggak mungkin, sih. Hanya saja perlu ada perasaan yang kuat sekali untuk mendobrak tembok-tembok penghalang itu. Dan saya belum punya referensi soal cinta sebesar itu di zaman sekarang.
Mungkin kalau Akhi Agus beneran jadi caleg PKS lalu menikah sama Ning Kalis, akan ada banyak umat yang meneladani jejak pernikahan berkah atas nama cinta demi ghirah dakwah dan ukhuwah islamiyah itu. Masyaallah tabarakallah.