MOJOK.CO – Bandung menyimpan banyak potensi dan pesona. Nikmat dan bikin mabuk. Tapi awas, “jangan sampai kamu jatuh cinta” di sini.
Baca kisah sebelumnya di sini: “Bandung dan Magis Saritem”.
Bandung tidak hanya punya Saritem. Ada wanita-wanita freelance yang biasanya ada di stasiun, budget hotel di sekitar Braga, Paskal, atau Pasar Baru. Kamu juga bisa mencari alternatif ke salon plus yang sudah buka sejak siang. Pada tahun itu, WeChat dan BeeTalk masih sangat membantu kalau kamu merasa tempat-tempat tadi belum ada yang cocok.
Sore itu saya tiba di Bandung pukul empat sore. Saya memilih menginap di sekitar Pasteur, dekat Universitas Maranatha. Keesokan harinya saya akan pulang ke Jogja menggunakan pesawat. Oleh sebab itu, saya memilih hotel yang dekat dengan Bandara Husein Sastranegara.
Secara kebetulan juga saya membuat janji membicarakan proyek media sosial dengan seorang influencer. Namanya Oki, seorang plane spotter yang sedang ada jadwal foto hari itu di Bandara Husein Sastranegara.
Sejak siang sebelum berangkat ke Bandung, saya sudah membuat janji dengan seorang teman. Namanya Doni. Kami membuat janji untuk makan malam di Warung Bu Imas, lalu ke Saritem. Oki, yang sejak pertama kali berkenalan dengan saya, menaruh curiga malam harinya saya menolak ajakannya untuk kopdar dengan beberapa plane spotter di Bandung.
“Mas Irul mau ke Saritem, ya?”
“Hahaha. Kok nebak langsung ke situ?”
“Itu ikonik, Mas. Udah ketebak kalau seorang bujang datang ke sini, capek habis kerja dari luar kota, dan cuma mau menghabiskan malam hanya makan lalapan di warung Bu Imas. Diragukan itu tujuannya.”
“Ya, nggak papa. Urat-urat udah nggak lentur, aliran darah nggak lancar karena kerja terus.”
Doni dan Warung Bu Imas
“Sudah janjian sama Pak Didi?” Tanya saya kepada Doni, sesaat setelah saya sampai di Bandung.
“Sudah tadi sore, Mas.”
“Dia bisa, kan?”
“Aman. Eh, tapi aku nemenin aja ya nanti.”
“Loh, kenapa? Udah, tenang aja. Tinggal masuk kamar.”
“Ojok, Mas. Nggak penak, aing.”
“Halah, wis, santai. Makan dulu, bakal lama kita di sana nanti. Aku cuma semalam soalnya.”
Entah karena tidak makan sedari siang atau karena hawa nafsu mulai muncul sejak di travel, saya menghabiskan dua piring nasi, seporsi jeroan, dan tahu-tempe-telur di Warung Bu Imas. Sambalnya bisa sangat berbahaya kalau setengah jam kemudian kita mau bercumbu di Saritem. Bisa diprotes PSK karena bau terasi. Belum lagi kalau ada embel-embel pete.
Saya kemudian mengajak Doni untuk mampir ke Indomaret. Kami akan membeli rokok untuk Pak Didi, permen mint dan minuman rasa buah untuk menghilangkan bau mulut sebelum menginjakkan kaki di Saritem.
Para PSK yang bekerja di Saritem Bandung itu juga seorang manusia yang berharap tamunya wangi, bersih, perlakuannya baik, dan enak diajak ngobrol. Percayalah, itu juga akan berimbas terhadap perlakuan mereka terhadap kita. Ya tidak hanya sekadar bertemu-peluk-tempel-lap. Saya sudah mencobanya berkali-kali dan terbukti. Soal kemudian mereka lebih baik lagi ketika kita memberikan tips itu sudah beda urusan.
Wanita dari Sukabumi
Kami berdua sudah merebahkan badan. Saya menghadap ke langit-langit kamar yang terlihat kusam. Sebuah AC buluk dengan suara yang sedikit kasar di atas bilik bilas menguasai kusam kamar itu. Sementara itu, Gilda memeluk saya menghadap kaca besar di samping kami.
“Aku dari Sukabumi. Di Bandung ngekos, tapi nggak pernah menerima tamu di luar.”
“Kenapa? bukannya malah lebih banyak duitnya?”
“Takut aja, kalau nggak bener-bener dikenalin sama orang yang kita kenal. Pak Didi misalnya, atau teteh, “mami” di tempatku, tapi jarang banget, masih takut.”
“Emang pernah kejadian nggak enak?”
“Pernah, mainnya minta diiket gitu di tempat tidur. Aku tolak terus cemberut gitu. Kesel kali orangnya.”
“BDSM maksudmu?”
“Nggak tahu. Iya kali. Dia bawa tali gitu buat diiket ke tangan katanya. Katanya teh nggak usah takut, tapi kan aku nggak pernah kayak gitu, Bang.”
Makin lama nada bicara Gilda semakin terdengar manja dan lembut. Suara melenguhnya tadi yang membuat semangat seorang laki-laki di atas tempat tidur tidak terkontrol mendadak lenyap berubah. Saya yakin, bada bicaranya yang sedikit manja mampu membuat semua laki-laki di Bandung berlaku lembut kepadanya.
“Sejak kita lewati bulan purnama itu, masih terasa jejak tanganmu gerayangi tubuhku. Kita telanjang di bawah sinar bulan, peluhmu bercampur dengan air lautan.”
Lirik “Fullmoon Blues” milik Slank mendadak melintas di kepala saya. Sebenarnya kurang pas, sih. Saya mengira yang muncul lagu lainnya lagi: “Reaksi”.
“Reaksi kimia, di dalam dadaku, terasa mengalir deras, desah-desah nafas semakin memburu, menuju kenikmatan. Aku ingin bercinta, ingin sekali bercinta, lepaskan semua tegangan.”
Saya mengharapkan lirik itu yang muncul. Ya karena ini cuma urusan seks. Tidak lebih dan malah jangan sampai lebih dari seks. Jangan pokoknya. Jangan sampai muncul lagu selanjutnya dari Slank: “Kosong Sama Kosong”. Tapi malam itu berbeda, ini pengalaman berbeda.
Sebuah sensasi yang belum pernah saya temui sebelumnya. Berbahaya, sekaligus menyenangkan. Namun, saya harus tegas kepada diri sendiri. Jangan jatuh cinta di Bandung.
Luka batin yang saya pahami
Saya cukup hafal dengan sikap seorang perempuan yang mungkin memiliki “luka”. Dia akan merasa sendiri. Biasanya menikmati hangatnya obrolan dan membalasnya dengan gesture tubuh. Nada bicara serta perlakuannya akan menjadi sangat menyenangkan.
Gilda membalas sikap hangat saya dengan perlakuan layaknya seorang pasangan. Saya seperti tidak peduli bahwa malam itu sedang berada di Saritem Bandung. Mungkin ini salah satu alasan munculnya kisah-kisah asmara dengan seorang PSK yang sering saya dengar, yang kemudian menjadi sebuah ejekan di tongkrongan. Ketahuilah, hal itu ditakuti banyak laki-laki.
Sekali lagi saya sudah berada di atas tubuh Gilda. Saya mendengar lagi lenguhan dan beberapa permintaan darinya. Semisal: duduk di pinggir tempat tidur, bersandar di kaca, berdua melihat diri di kaca, hingga beberapa posisi tubuh yang tidak semua PSK mau menyanggupinya.
Gilda meng-iya-kan beberapa permintaan saya untuk menata letak, layout, yang beberapa di antaranya belum pernah dia coba. Menurutnya, saya termasuk “arsitek” yang berpengalaman.
Lecet dan linu
Tidak terasa sudah belasan posisi, puluhan gerakan, dan lembaran tisu kami habiskan malam itu. Saya keluar dari kamar yang rasanya berada di dunia lain. Udara yang datang ketika pintu dibuka seketika membuat nafas saya tidak terasa sesak karena asap rokok dan lembab di dalam kamar selama berjam-jam. Kaca di dinding yang terlihat tertutup uap di beberapa bagiannya perlahan memudar.
Dari balik celana jeans, terutama di bagian lutut, terasa sedikit perih. Sepertinya karena beberapa gesekan yang membuat kulitnya memerah. Sementara pinggul saya rasanya bergeser ke kanan dan ke kiri. Pokoknya tidak sesuai tempatnya karena sendinya habis bergerak terlalu sering selama beberapa jam.
Saya tidak langsung beranjak dari duduk saya di pinggir tempat tidur. Saya hanya melihat Gilda yang membuka pintu. Sesaat sebelum meninggalkan saya, dia menoleh seraya berkata.
“Kenapa, masih kurang?”
“Haha. Nggak. Bentar. Agak pegal.”
“Makasih ya, udah dilebihin.”
“Iya. Sama-sama.”
“Trus, ini mau langsung balik?”
“Sini, aku minta kontak kamu. BBM atau WhatsApp.”
Gilda terdiam beberapa saat, lalu memberikan hape Android miliknya. Dia menunjukkan Pin BBM. Sekilas saya melihat foto profilnya. Sederhana, tanpa menggunakan filter atau bergaya duck face, cantik. Tidak istimewa, tapi cantik.
Kami berdua lalu meninggalkan kamar bersama-sama. Sesaat sebelum saya menghampiri kasir Bok-Bok di bagian belakang rumah, Gilda mencium pipi saya. Dia mengelus pelan lengan kanan saya pertanda kami akhirnya berpisah.
“Ini, Aa, tagihannya. Yang sama Aa tadi bayar langsung ke ceweknya, kan?”
“Iya, kubayar langsung tadi.”
Ada tagihan sekitar Rp1 jutaan yang tercatat di nota Bok-Bok. Isinya tagihan empat botol Bir Bintang, Teh Kotak, rokok, Fanta, kamar milik Doni serta PSK yang bersamanya malam itu.
Saya meninggalkan Saritem dan menuju sebuah warung yang terkenal dengan perkedel Bondon-nya. Sepanjang jalan, saya dan Doni bercerita tentang wanita yang bersama kami. Sepertinya Doni juga menemukan sesuatu yang spesial. Ah, jangan sampai kami berdua jatuh cinta dengan Bandung.
Chat seks
Saya berdiri di lobi hotel, melihat Doni dengan motornya perlahan menghilang meninggalkan saya. Sebuah momen sentimentil kembali terjadi malam itu, menemani saya melangkah ke lantai dua hotel sambil tersenyum.
Setelah mandi air hangat, saya merebahkan diri di kasur. Hanya berbalut handuk, jendela kamar saya biarkan terbuka. Terlihat di kejauhan cahaya lampu dari bangunan yang ada di sekitar hotel.
Sekilas saya melihat ada Indomaret yang tidak terlalu jauh lokasinya dan masih buka. Rasa senang dan lega membuat saya ingin membeli sesuatu di sana. Saya ingin jalan kaki menikmati sejuknya Bandung.
Saya mengirimkan sebuah pesan pendek kepada Gilda sebelum keluar hotel. Setelah bertanya kepada karyawan hotel, saya mendapat petunjuk jalan untuk menuju Indomaret agar tidak terlalu jauh kalau berjalan kaki.
Saya menyusuri jalanan Bandung yang sepi dengan pohon-pohon dan rumah-rumah hunian yang terlihat bersih. Rasanya jalanan basah setelah diguyur hujan. Bau sambal Bu Imah, bir dingin, Perkedel Bondon seperti terus mengiringi bergantian dengan bau parfum Gilda yang masih menempel dan bisa saya cium di dekat saya.
“Eh, Bang, hai. Sori aku rebahan bentar tadi, nggak buka hape,” balasan chat Gilda muncul di layar hape saya.
“Nggak ada tamu lagi emang?”
“Enggak, ntar aja jam 12an baru keluar lagi. Mau mandi dulu, tadi keringetan banget ih.”
“Haha. Maaf. Terlalu berapi-api.”
“Iya ih, kelamaan di dalam kamar juga.”
“Kan kutanyain tadi? Kata kamu gpp.”
“Iyaa, gpp. Jarang juga bisa ngerasain ngilu-ngilu aneh gitu pas lagi sama tamu! :D”
“Orgasme maksudmu? Kamu?”
“Ih, naon sih dibahas. Abang di mana?”
“Lagi jalan ke Indomaret. Habis mandi tadi di hotel.”
Chat kami tidak berhenti sampai saya kembali ke kamar hotel. Saya menghabiskan dua batang rokok dan merasakan mata yang mulai mengantuk. Namun, badan saya terasa rileks.
Rasanya saya ingin kembali ke Saritem untuk menunggu waktu meninggalkan Bandung. Tapi mengurungkan niat itu.
Pendatang dari Surabaya
Tahun 2016, saya kembali ke Bandung, bersama seorang teman yang baru saja ketiban rejeki pembebasan sebuah lahan yang sangat luas. Dia kawan lama yang saya kenal sekitar tahun 2004-2005. Kami sama-sama aktif di komunitas motor. Kita sebut saja namanya Waluyo. Bersama saya saat itu ada dua orang teman lagi yang berangkat bersama dari Jogja: Miko dan Dharma.
Seminggu sebelum kami sampai di Bandung, saya sudah membuat janji dengan Doni. Secara kebetulan Waluyo juga kenal dengan Doni sejak lama. Dari Doni juga kami semua akhirnya berkenalan dengan Pak Didi.
Singkat cerita, kami tiba di Saritem Bandung dan bernostalgia bersama Pak Didi dan Doni. Pak Didi dengan penuh semangat bercerita tentang banyaknya pendatang baru di Saritem selama tiga bulan terakhir. Bahkan sebagian alumni Dolly banyak yang pindah ke Saritem. Namun, para guide tidak menyebutnya terang-terangan beberapa pendatang baru itu alumni Dolly. Mereka menyebutnya orang-orang Surabaya.
Malam itu kami berlima yang ditemani Pak Didi mau gila-gilaan dengan berniat datang sejak pukul tujuh malam dan tidak hanya bercinta dengan satu PSK saja. Satu per satu kami hilang dari ruang tamu belakang Bok-Bok, masuk ke kamar masing-masing setelah bertemu dengan PSK yang cocok.
Hubungan segitiga saya, Cika, dan Miko
Sedikit kisah konyol di Bandung malam itu ketika saya dan Miko disahkan sebagai “saudara” oleh teman-teman kami. Awalnya saya menyewa salah seorang PSK bertubuh mungil dengan paras cantik seperti wanita-wanita dari Jawa Tengah. Saya lupa nama panggilannya, jadi mari kita sebut saja Cika. Sikapnya baik dan hangat kepada tamu.
Saya menghabiskan waktu selama dua jam bersama Cika malam itu karena sikap ramahnya. Setelah selesai, saya kembali ke ruang tamu Bok-Bok, berkumpul bersama Dharma, Waluyo, dan Doni. Sementara Pak Didi dan Miko kembali berkeliling wilayah Saritem. Mereka mencari PSK kedua untuk Miko.
Sekitar 15 sampai 20 menit kemudian, Miko akhirnya kembali lagi ke Bok-Bok bersama Pak Didi. Bersama mereka seorang wanita berjalan di belakang Miko. Dia langsung berjalan menuju kamar tanpa memperkenalkannya kepada kami. Saya kaget, wanita kedua yang dipilih Miko malam itu ternyata Cika!
Sebenarnya tidak ada masalah. Sah-sah saja. Hanya sedikit merasa konyol melihat selera Miko ternyata sama dengan saya. Saya hanya diam melihat wajah Cika yang kaget melihat saya yang melongo melihat dia berjalan bersama Miko. Seperti nggak ada yang lain saja di Bandung.
Dharma dan Doni yang sempat melihat saya dan Cika keluar dari kamar memandang saya. Kami saling bertatapan. Mereka seperti berkata, “Itu bukan yang sama kamu tadi?” Saya hanya diam, senyuman saya seperti menjawab pertanyaan mereka berdua.
Miko akhirnya keluar dari kamar, wajahnya semringah. Sementara itu, Cika menyusul di belakangnya, memandang saya sambil tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan kami. Sementara kami sedang menunggu Waluyo yang sedang sibuk threesome di agenda bercintanya yang kedua malam itu, saya, Dharma dan Doni hanya terdiam mendengarkan kisah yang dialami Miko bersama Cika.
Kenapa nggak threesome aja
Hampir 30 menit kami mengobrol, saya akhirnya memutuskan untuk bercerita kepada Miko tentang Cika. Miko kaget, wajahnya mendadak masam dan berkata.
“Ngentot lu, Rul. Kenapa nggak bilang tadi? Si anjinggg!”
“Lah, gimana, Mik, kamu udah kadung jalan ke kamar dan nggak mungkin kucegat, kesian Cika kehilangan pelanggan.”
“Iya, tapi kan baru banget selesai sama lu, kan? bangsatt!”
“Yaudah sih, Mik. Toh sebelum kami keluar tadi dia bersih-bersih dulu, sampai pake Listerine segala.”
“Ya tetep aja anjing, dia baru banget dijamah dan dicium sama lu! Bangsat, sama aja gue ciuman sama elo. Hahahhahaa! Kenapa ga sekalian threesome aja asuu!”
Kami tertawa geli malam itu, ditemani berbotol-botol bir putih dan dan bir hitam. Pak Didi jadi “goyang” karena tidak terbiasa minum bir terlalu banyak.
Malam pertama kami tutup dengan masing-masing dari kami menyewa dua orang PSK menggunakan uang saku dari pembebasan lahan. Kami menginap dekat Saritem, di Serela Waringin, yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari lokalisasi terkenal itu. Malam pertama di Bandung kami tutup dengan makan malam di warung Bu Imas lalu kembali ke hotel dan berenang malam sebelum kami istirahat.
Malam-malam selanjutnya adalah pertaruhan untuk tidak jatuh cinta dengan Bandung. Ah, sial.
BERSAMBUNG….
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Seks dan Horor: Teror yang Mengiringi Panasnya Berahi dan kisah menegangkan lainnya di rubrik ESAI.