MOJOK.CO – Kalian-kalian yang gemar baca buku sejak jaman sekolah mungkin pernah mengalami hal sama.
Ketika SMP, saya punya teman berambut keriting bernama Agung. Ternyata Agung tidak hanya punya rambut keriting, dia juga punya banyak koleksi komik. Sewaktu main ke rumahnya bersama teman sekelas yang lain, saya kalap melihat tumpukan komik yang ditaruh di rak sepatu di dekat kamar mandi. Saya heran, komik kok ditaruh di rak sepatu, mungkin sepatunya ditaruh di rak buku.
Sementara teman-teman sibuk dengan PlayStation di kamar Agung, saya asyik baca komik di depan kamar mandi dengan menyender di pintunya. Membuat ibunya Agung susah keluar dari kamar mandi. Saya merasakan sensasi bahagia ketika membaca hal-hal baru, sampai lupa keadaan sekitar.
Ketika pamit, saya memohon kepada Agung untuk pinjam beberapa judul komiknya, setelah sebelumnya saya memasukkan dua lusin komik ke tas saya. Waktu itu saya benar-benar mabuk. Sudah dikasih pinjam dua lusin, minta tambah satu kilogram lagi. Tepat hari itu punggung saya makin bungkuk karena membawa beban berat. Tapi, sampai rumah, saya bahagia. Saya baca komik dengan senyum terkembang.
Sejak itu, saya suka baca. Saya makin kenal dengan Doraemon, Kungfu Komang, Dragon Ball, dan majalah komik Shonen Magz. Ternyata sensasi nonton dan baca itu beda. Ketika baca, entah kenapa saya merasa dekat dan berempati dengan para tokohnya. Saya seperti diajak berjuang bersama karakter dalam komik untuk mencapai sebuah tujuan.
Dari kesukaan saya membaca komik, saya jadi ikutan bikin komik juga. Dengan mencontoh artwork di komik-komik yang saya baca, saya menghasilkan komik amatir yang dibaca secara keliling di kelas. Dari sini, saya paham, seseorang bisa menjadi apa yang dia baca.
Ketika SMK, saya kenal dengan Agus yang punya hobi baca koran di perpustakaan daerah di kota kami. Dari perkenalan dengan Agus itu saya jadi kenal perpustakaan dengan segala isinya. Hobi baca saya naik tingkat, yang semula hanya gemar baca komik, jadi getol baca novel-novel tebal. Bersama perpustakaan, saya tumbuh menjadi pelajar SMK yang manis dan tidak suka tawuran (karena yakin bakal jadi pihak yang kalah). Saya kerap menenteng novel Ayat-Ayat Cinta di dalam angkot sepulang sekolah. Dan saya bisa menangis sendirian di kamar ketika menekuni Ketika Cinta Bertasbih.
Dari sekian banyak genre buku yang saya pinjam dari perpustakaan, yang menjadi favorit saya adalah genre komedi dan parodi. Karena buku-buku humor bikin saya tertawa tanpa alasan. Dari tawa yang berderai itu saya bisa melupakan segala masalah hidup dan utang-utang negara.
Dari hobi pinjam buku, saya naik tingkat menjadi pembeli buku. Bajet saya untuk beli buku setiap bulannya bisa mencapai ratusan ribu. Dari hobi baca buku, saya kepengin nulis buku juga. Saya ingin menjadi penulis. Pikiran saya waktu itu, jika saya menjadi penulis, saya bisa dapat royalti. Royaltinya bisa dipakai untuk beli buku.
Tentu tidak hanya itu benefit yang didapat menjadi penulis. Dalam bayangan saya, menyenangkan sekali menjadi penulis. Bisa talkshow keliling Indonesia, menyapa antrean pembaca setia dan menanda-tangani halaman pertama buku mereka, lalu menampilkan wajah semringah ketika foto bersama. Tambah keren ketika satu per satu buku diangkat menjadi film dengan band pop favorit ketika SMP mengisi original soundtrack-nya. Belum lagi, bisa mandi di bath tube berisi tumpukan uang yang didapat dari royalti penjualan buku yang mega best seller.
Sampai sini saya bingung, sebenarnya saya ingin jadi penulis atau jadi Firaun abad 21.
Di kalangan pertemanan, orang yang suka baca buku hanya saya. Kalaupun ada yang suka baca, paling mentok baca SMS-SMS mesra dari mantan kekasih yang sudah lalu. Saya mencoba menularkan semangat baca dengan menulis. Saya menuliskan cerita sehari-hari di mana ada mereka yang dicatut di dalamnya. Dengan harapan, setelah suka baca kisah tentang mereka, mereka bisa menjamah buku-buku yang menampilkan kisah orang lain.
Minat baca masyarakat Indonesia memang masih belum tinggi. Mungkin karena kesadaran membaca masih rendah. Dan dua kalimat barusan tidak menyelesaikan masalah. Salah satu faktor mengapa anak Indonesia tidak doyan baca adalah harga buku yang tidak murah dan sama sekali tidak ramah dengan kantong pelajar. Lebih baik traktir pacar jajan bakso daripada jajan buku yang mahal-mahal, mungkin begitu pikiran anak muda. Walaupun kenyataannya buku adalah barang jualan yang membuat pembelinya makin kaya.
Seharusnya buku itu disubsidi, bukan dibebani dengan PPN yang tinggi. Semoga pemerintah sadar akan hal ini. Lingkaran penerbit juga bisa membantu permasalahan ini dengan tidak membandrol harga buku di atas limapuluh ribu rupiah. Apalagi bukunya cuma setipis tubuh model pengidap anoreksia. Buku tipis harga mahal? Pembelinya bisa ikut tipis. Dompetnya!
Yang saya sarankan untuk mereka yang tetap ingin traktir pacarnya jajan bakso tapi juga ingin membaca buku adalah mengunjungi perpustakaan. Tapi di perpus jangan pacaran, apalagi sampai berisik, nanti dilempar pulpen oleh Rangga AADC. Kartu perpus adalah tiket menuju dunia yang lebih cerah secara gratis. Lagi-lagi peran pemerintah diperlukan untuk update buku-buku di perpustakaan.
Entah kenapa, hobi baca buku identik dengan perempuan. Kalaupun ada cowok yang suka baca, wataknya judes, tertutup, dan hanya mau berteman dengan bapak-bapak penjaga sekolah bernama Pak Wardiman. Iya, maksud saya Rangga. Kaum perempuan memang punya minat baca lebih tinggi dibanding para lelaki. Sampai-sampai ada penerbit buku perempuan, Stiletto Book. Mungkin kalau ada penerbit buku laki-laki, namanya Pantofel Book.
Semoga ke depannya, banyak cowok-cowok seperti Rangga, yang menjadi keren dengan membawa buku sebagai pegangan. Sebab cowok juga bisa menjadi seksi dengan baca buku. Sekarang sudah banyak buku yang menampilkan kejantanan dan keromantisan laki-laki, contohnya novel Dilan 1 dan Dilan 2. Bahkan ada novel yang menggambarkan kemaskulinan, sportivitas dan kemauan keras seorang laki-laki dalam memperjuangkan passion. Judul novelnya Wrecking Eleven.