MOJOK.CO – Bagi driver ojol, protes adalah bagian kebutuhan bertahan hidup, baik untuk sendiri maupun demi keluarga. Taruhannya sangat nyata.
Beberapa orang menggambarkan protes menentang DPR yang lalu sebagai aksi massa terbesar di Indonesia sejak era reformasi 1998. Siapa sangka, sejak kehadirannya 10 tahun lalu, ojol kini berada di baris terdepan sebagai salah satu pengusung aspirasi warga.
Aplikasi Gojek meluncur pada 2015 yang lalu. Meskipun menciptakan peluang kerja, saya ingat berita beberapa driver Gojek baru digebukin tukang ojek pangkalan. Ojol dianggap merebut lahan rezeki tukang ojek pangkalan.
Saya juga ingat ketika tiba di stasiun kereta atau bandara. Kalau mau pesan ojol, saya mesti jalan kaki dulu keluar bandara. Ini mungkin masih berlaku sampai sekarang.
Kakak sepupu saya dulu jadi salah satu driver Gojek pertama di Jogja. Saingan belum banyak, poin masih besar. Lama-lama, “saingan” sesama driver tambah banyak, poin malah makin sedikit.
Tapi di balik berkurangnya poin para driver, ada elemen lain yang tumbuh semakin kuat: solidaritas sesama driver ojol.
Saya lihat sendiri solidaritas ini ketika, sedihnya, kakak sepupu saya itu meninggal pada pertengahan 2019. Dia terkena serangan jantung di suatu malam saat cari penumpang, lalu meninggal esok paginya di RS Bethesda. Rombongan pelayat berjaket hijau Gojek datang ke pemakamannya.
Algoritma menentukan hidup ojol
Dari sudut pandang bisnis, ojol itu startup. Mereka fokus ke growth (pertumbuhan) karena investor mau laba berlipat. Meskipun mendapatkan status mitra, driver pada dasarnya adalah pekerja yang didikte algoritma dan AI. Algoritma menentukan driver mana mendapatkan pelanggan siapa, rute mana yang ditempuh, estimasi waktu, dan tarif. Bila algoritma dilanggar, driver ojol bisa kena suspend.
Algoritma bergantung pada peta, berasumsi bahwa peta di aplikasi itu update dan akurat untuk kemudian menentukan rute tersingkat. Setelah perjalanan selesai, driver diharapkan bisa dialokasikan ke pelanggan lain.
Meskipun ada variasi, algoritma ini kurang lebih berlaku di semua platform serupa. Di mana-mana. Tidak hanya taksi atau ojek online seperti Gojek, Grab, Uber dan Lyft di luar negeri, tapi juga platform antar makanan seperti GoFood, Shopee Food, Deliveroo, Uber Eats dan Door Dash juga di luar negeri.
Realitanya, algoritma tidak selalu benar. Contoh riilnya bisa dilihat di negara kita. Mulai dari peta yang tidak update, situasi di jalan (kemacetan, perbaikan jalan, keramaian massa) yang tidak diakomodasi, hingga tambahan waktu yang tidak diperhitungkan untuk mengambil pesanan di dalam mall, cari tempat parkir, dan sebagainya.
Melawan kendali algoritma
Ada studi mendalam tentang ojol di Jakarta pada 2022 lalu. Peneliti Rida Qadri di jurnal MIT Technology Review berjudul “The gig workers fighting back against the algorithms” memaparkan betapa uniknya para driver ojol Jakarta dalam melawan kendali algoritma itu. Modal dasarnya: solidaritas sesama mereka tadi.
Sekilas terdengar klise. Tapi jangan salah, sense of community yang kuat ini tidak kita temukan di pekerja algoritma di negara-negara lain.
Base camp bermunculan, grup komunikasi dibentuk. Ojol berbagi informasi jalan pintas, rute mana yang aman, mana yang perlu diwaspadai, dan seterusnya sambil menunggu atau ambil orderan. Di kota metropolitan macam Jakarta, informasi ini krusial.
Yang lebih kompleks, mereka saling bantu melatih algoritma supaya paham preferensi driver. Misalnya, hanya ingin terima pesanan mengantar penumpang, bukan makanan. Ada juga semacam “terapi akun” untuk memulihkan akun-akun driver yang bermasalah, dan yang dulu populer, aplikasi tuyul. Ini abu-abu, tapi bisa digunakan misalnya saat driver ojol sedang sakit supaya mitra tahunya dia masih aktif sehingga tidak kena suspend.
Kompetisi yang terjadi
Kamu lihat, sebenarnya algoritma aplikasi ojol itu bertujuan mendorong driver untuk saling berkompetisi. Sifat dari mitra atau “kontraktor independen” (atau gig worker seperti pada platform freelancer) sebagai bentuk kerja sama antara perusahaan dan driver itu adalah menjauhkan pekerja satu dan lainnya.
Gimana caranya mereka tidak saling kenal dan hanya memikirkan kinerja masing-masing sehingga akhirnya, tidak berserikat supaya posisi tawar mereka lemah. Terlihat jelas tujuan itu tidak tercapai di sini.
Bicara posisi tawar, sikap driver taksi online dan kurir makanan algoritma mana-mana itu serupa. Mereka menuntut upah dan kondisi kerja yang lebih layak. Tuntutan itu disampaikan baik melalui pemerintah maupun langsung ke perusahaan entah Gojek, Grab, Uber, Deliveroo, Door Dash, atau lainnya. Ini terjadi di seluruh dunia.
Bedanya, berkat solidnya komunitas driver ojol kita, mereka mampu menyampaikan aspirasi dengan posisi tawar yang lebih tinggi baik ke perusahaan maupun pemerintah. Dan baru-baru ini, solidaritas terbesar driver ojol kita saksikan saat pemakaman Affan Kurniawan. Lautan hijau ribuan driver memenuhi jalanan menuju TPU Karet Bivak memberikan penghormatan terakhir.
Siapa sangka, setelah eksis di Indonesia selama 11 tahun terakhir, solidaritas driver ojol membawa mereka menjadi salah satu garda terdepan perjuangan rakyat. Jaket ojol kini bersanding dengan jaket almamater mahasiswa dalam protes demi menuntut pemerintah yang lebih baik. Lagi-lagi, fenomena ini tidak ada di negara lain.
Taruhan besar para driver ojol
Dibanding mahasiswa, protes oleh barisan driver ojol menurut saya lebih nyata. Taruhannya lebih besar.
Buat mayoritas mahasiswa, protes merupakan sebuah fase. Mahasiswa, ketika menjadi mahasiswa, boleh jadi idealis. Tapi, begitu lulus dan masuk jadi bagian struktur pemerintahan, idealismenya rentan luntur. Tahu sendiri kan, beberapa yang vokal saat protes 1998 kini sikapnya bagaimana.
Mereka yang berkarir di perusahaan pun semakin ke atas akan semakin individualis. Sebaliknya, bagi driver ojol, protes adalah bagian kebutuhan bertahan hidup, baik untuk sendiri maupun demi keluarga.
Kembali ke naluri manusia
Sebagai penutup, di zaman yang semakin maju ini, kadang kita memandang kebersamaan dan gotong-royong yang notabene adalah budaya kita itu berlebihan. Buang-buang waktu. Lambat. Ibaratnya, kalau mau cepat maju, harus jadi individualis. Tidak melulu seperti itu.
Kamu lihat, berbagai isu besar melanda warga di seluruh dunia sekarang. Pemerintah yang korup, korporasi yang bertindak semaunya, krisis iklim, AI, Gaza, dan seterusnya.
Ambil contoh AI. Ribuan musisi di Inggris dan Amerika Serikat kini beraliansi menentang penggunaan lagu-lagu mereka untuk melatih AI. Kalau berhasil, aksi mereka ini akan berdampak positif juga ke musisi-musisi lainnya. Karya mereka akan dihargai lebih layak.
Di kita, seharusnya, aksi kolektif seperti itu lebih mudah dilakukan. Kebersamaan dan solidaritas warga kita itu keunggulan kompetitif dibanding warga negara-negara lain. Fenomena ojol membuktikan bahwa kita bisa memanfaatkan, mengkapitalisasi kebersamaan itu demi kebaikan bersama yang lebih luas, kalau kita mau.
Bisa jadi, kunci dasar berbagai perubahan besar yang kita perlukan sekarang, di tengah gempuran kemajuan teknologi, justru kembali ke naluri dasar manusia: keinginan berkumpul dan berinteraksi dengan manusia lainnya seperti ojol.
Don’t take it for granted.
Penulis: Suryagama Harinthabima
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 10 Potret Menyedihkan dan Memprihatinkan Sehari-hari Driver Ojol Zaman Sekarang dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












