MOJOK.CO – Sudah sejak lama Jakarta Selatan menjadi simbol ketamakan. Di sana, kaum elite menjadi eksklusif, sementara rakyat harus melarat.
Tampak dari jauh kawasan padang rumput yang hijau dan indah. Di tengahnya terdapat danau yang dari luar terlihat begitu bening, memancarkan pantulan dari teriknya matahari pagi.
Pohon-pohon palem berderet di sekelilingnya, menjadi pagar dan penanda bahwa kawasan ini harus steril dari tangan-tangan kotor yang tak punya materi. Area hijau dan asri yang seolah dibuat rahasia dan tertutup.
Hanya mereka yang berkemeja polo dan celana chinos yang boleh mengakses kawasan tersebut. Konon, di sanalah tempat berkumpulnya kalangan elite, menyepakati bisnis dan ide-ide lain untuk mengeruk keuntungan materil semaksimal mungkin.
Begitulah suasana kawasan elite lapangan golf yang ada di Jakarta Selatan. Di sana, seperti oasis yang dibuat tak kasat mata, di dalamnya berkumpul para pejabat, pengusaha, hingga selebritis berlalu-lalang di clubhouse, bercengkrama sambil menyeruput kopi panas sebelum memulai ronde pertama.
Kadang, obrolannya tentang strategi tee shot, kadang tentang proyek properti di BSD, dan lebih sering tentang siapa yang bisa diundang ke pesta ulang tahun anaknya di hotel bintang 5.
Ironi ketimpangan sosial
Sebagai orang yang pernah hidup di Jakarta Selatan, keberadaan lapangan golf ini adalah gambaran ironi ketimpangan sosial yang dilumrahkan oleh warga Jakarta hingga saat ini. Saya bilang lumrah, karena warga di sana tak punya pilihan selain memaklumi keberadaannya yang begitu luas di tengah kondisi Jaksel yang kian hari kian sempit dan ruwet.
Tercatat, terdapat 4 lapangan golf berskala besar di kawasan Jakarta Selatan. Mereka adalah Pondok Indah Golf Course, Senayan National Golf Club, Matoa Nasional Golf Course, dan Cilandak Golf Course.
Selain keempat lapangan golf tersebut, ada beberapa golf skala kecil yang tersebar di beberapa titik. Kalau menghitung semuanya, luas dari keseluruhan lapangan golf tersebut bersamaan dengan seluruh area di sekitarnya, bisa mencapai 200 sampai 250 hektare. Itu saja masih ada wacana pengembangan beberapa lapangan golf di kawasan elite seperti proyek Podomoro Golf View (PGV).
Masalah tentang sempit dan padatnya Jakarta Selatan memang dipicu oleh beberapa aspek. Tapi, mengesampingkan keberadaan lapangan golf sebagai salah satu penyebab yang memperparah situasi tersebut adalah naif.
Keberadaan lapangan golf nyatanya tidak proporsional apabila dipaksakan eksistensinya di kawasan seperti Jakarta Selatan. Pasalnya, hal itu membuat lahan-lahan yang pada dasarnya bisa dibuat inklusif bagi warga, malah jadi eksklusif sehingga memicu banyak persoalan.
Jakarta Selatan itu kawasan padat penduduk
Jakarta Selatan adalah salah satu kawasan di Pulau Jawa yang tergolong memiliki kepadatan penduduk tinggi. Dengan luas 141,27 kilometer persegi dan total penduduk 2,36 juta jiwa, Jaksel memiliki kepadatan penduduk mencapai 16.700/km2.
Lapangan golf yang berdiri tanpa memperhatikan aspek sosial ekonomi membuat lahan yang bisa tersedia untuk membangun pemukiman layak jadi terbatas. Inilah yang membuat Jaksel memiliki banyak kawasan penduduk yang padat, kumuh, dan tidak layak huni.
Data Kementerian ATR/BPN tahun 2019 menyebutkan kalau 18% dari total daerah kumuh DKI Jakarta berada di kawasan Jakarta Selatan. Data itu diperkuat oleh BPS tahun 2022 yang mengatakan terdapat 90 Rukun Warga (RW) yang masuk dalam kategori kumuh.
Sebaran RW kumuh ini ada di 10 kecamatan, seperti Tebet, Pasar Minggu, dan Manggarai. Kondisi ini tentu jadi potret nyata kelompok miskin atau yang berpendapatan rendah dipaksa hidup dalam kondisi yang memprihatinkan karena keterbatasan ruang hidup.
Baca halaman selanjutnya: Wujud ketimpangan di ibu kota.
Sebuah ketimpangan sosial yang mengenaskan
Bayangkan mereka harus hidup dengan kondisi rumah yang melekat satu sama lain, gang-gang kecil, ruang hidup yang tidak sehat, dan selokan atau sanitasi air yang alakadarnya. Sebut saja kawasan seperti Kampung Melayu, Bukit Duri, Manggarai, dan Pasar Manggis.
Ketika melewati permukiman tersebut, rasanya dada begitu sesak dan pengap karena susah sekali bernafas. Sementara itu, di sisi lain, ada sebuah area luas, hijau, asri, dan penuh udara segar. Namun, hanya segelintir orang yang menikmati dan memanfaatkan area dan fasilitas tersebut. Sebuah ketimpangan sosial yang mengenaskan.
Bayangkan, dari 200an hektare lahan golf itu dikonversi jadi permukiman yang layak seperti rusun. Kita bikin asumsi 4 orang per kamar dan 50 kamar per rusun. Kemudian, dibangun total 200 rusun. Hasilnya, bisa menampung sekitar 40.000 penduduk.
Tapi, realita memang tak selalu berpihak pada yang tak punya materi. Semua hanya imajinasi. Pemerintah selalu berpihak pada yang punya modal, bukan? Dalilnya, toh pajaknya juga untuk kepentingan warga Jakarta!
Tapi pada akhirnya, pemukiman yang padat di beberapa titik kemudian menciptakan persoalan kemacetan lalu-lintas di Jakarta Selatan. Memang, masalah kemacetan ini tidak hanya di Jaksel, semua daerah di DKI dan Kota Penyanggah juga mengalaminya.
Tapi percayalah, persoalan macet ini erat kaitannya dengan kepadatan penduduk, minimnya infrastruktur jalan (jalan yang kurang lebar), dan membludaknya warga yang mengarah pada titik-titik tertentu yang kategorinya adalah permukiman padat penduduk.
Teman saya yang orang Jaksel harus sering berdesak-desakan di dalam transjakarta, menahan emosi ketika macet, dan harus bersabar dengan segala tumpahan amarah dari pengguna jalan lainnya.
Simbol ketamakan di Jakarta Selatan
Dengan lahan yang terbatas karena sebagian besar digunakan untuk kepentingan eksklusif, seperti lapangan golf, pembangunan fasilitas umum yang mendukung kehidupan penduduk jadi kian utopis. Lapangan golf yang besar justru menjadi tempat yang kurang produktif dan simbol dari ketamakan.
Selain perkara permukiman dan kemacetan, yang nggak kalah penting adalah terbatasnya ketersedian Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang bisa diakses publik. Lah, Jakarta Selatan kan sudah punya taman terbuka seperti Tebet Eco Park?
Yah, nggak bisa dong hanya mengandalkan 1 atau 2 RTH saja. Kalau mengacu pada UU nomor. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebuah kawasan atau perkotaan harus memiliki minimal 30% RTH dari luas wilayahnya.
Sementara itu, Jakarta Selatan hanya punya 24,91% RTH dari total keseluruhan wilayah. Ingat ya, 30% itu minimal. Toh kalau kondisinya sepadat Jaksel, harusnya luas RTH yang disediakan bisa lebih luas lagi untuk menjaga kualitas hidup warganya tetap baik.
Pasalnya di tengah kondisi yang serba kompetitif dan penuh depresi, kehadiran RTH sangat membantu warga Jakarta Selatan untuk mengambil jeda. Mereka setidaknya bisa menghirup segarnya udara sebelum nantinya harus berkutat lagi dengan macetnya Jakarta dan sempitnya kos-kosan mereka yang luasnya seperti sebuah kandang!
Mereka tentu nggak punya materi yang cukup untuk memasuki dan menikmati kopi sambil menikmati sore hari di kawasan elite golf itu. Lagi-lagi, mereka harus rela berebut RTH gratisan yang kadang sudah nggak jadi RTH. Hal itu karena kondisinya pun penuh sesak dengan warga daerah lainnya yang juga butuh ruang untuk mengambil jeda.
Persoalan ketimpangan sosial yang akut
Sekali lagi, Jakarta Selatan yang selalu diasosiasikan sebagai kawasan modern, kekinian, dan glamor, ternyata menyimpan persoalan ketimpangan yang akut. Keberadaan lapangan golf memang bukanlah sumber masalah utama, namun ia tetap menjadi simbol ironi yang menggambarkan ketidakadilan sosial yang meluas.
Lapangan golf itu seperti berada di dimensi lain meski dalam satu kawasan. Di sana berisi segelintir orang yang bisa menikmati kenyamanan duniawi. Sementara itu, di sisi lain, warga pinggiran harus rela hidup berdesak-desakan di gang-gang sempit, kumuh, dan penuh polusi di tengah tumpukan sampah.
Lapangan golf yang eksklusif itu seperti menegaskan bahwa di ibu kota, mereka yang miskin harus merelakan ruang hidupnya dipersempit. Dan ruang hijau dan udara segar hanya diberikan kepada mereka yang mampu membeli.
Penulis: Muhammad Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rasanya Jadi Orang Miskin di Kemang Jakarta Selatan, Kawasan Elite yang Isinya Kaum Berduit Sepelekan Perantau Melarat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
