Sebuah ketimpangan sosial yang mengenaskan
Bayangkan mereka harus hidup dengan kondisi rumah yang melekat satu sama lain, gang-gang kecil, ruang hidup yang tidak sehat, dan selokan atau sanitasi air yang alakadarnya. Sebut saja kawasan seperti Kampung Melayu, Bukit Duri, Manggarai, dan Pasar Manggis.Â
Ketika melewati permukiman tersebut, rasanya dada begitu sesak dan pengap karena susah sekali bernafas. Sementara itu, di sisi lain, ada sebuah area luas, hijau, asri, dan penuh udara segar. Namun, hanya segelintir orang yang menikmati dan memanfaatkan area dan fasilitas tersebut. Sebuah ketimpangan sosial yang mengenaskan.
Bayangkan, dari 200an hektare lahan golf itu dikonversi jadi permukiman yang layak seperti rusun. Kita bikin asumsi 4 orang per kamar dan 50 kamar per rusun. Kemudian, dibangun total 200 rusun. Hasilnya, bisa menampung sekitar 40.000 penduduk.Â
Tapi, realita memang tak selalu berpihak pada yang tak punya materi. Semua hanya imajinasi. Pemerintah selalu berpihak pada yang punya modal, bukan? Dalilnya, toh pajaknya juga untuk kepentingan warga Jakarta!
Tapi pada akhirnya, pemukiman yang padat di beberapa titik kemudian menciptakan persoalan kemacetan lalu-lintas di Jakarta Selatan. Memang, masalah kemacetan ini tidak hanya di Jaksel, semua daerah di DKI dan Kota Penyanggah juga mengalaminya.Â
Tapi percayalah, persoalan macet ini erat kaitannya dengan kepadatan penduduk, minimnya infrastruktur jalan (jalan yang kurang lebar), dan membludaknya warga yang mengarah pada titik-titik tertentu yang kategorinya adalah permukiman padat penduduk.Â
Teman saya yang orang Jaksel harus sering berdesak-desakan di dalam transjakarta, menahan emosi ketika macet, dan harus bersabar dengan segala tumpahan amarah dari pengguna jalan lainnya.
Simbol ketamakan di Jakarta Selatan
Dengan lahan yang terbatas karena sebagian besar digunakan untuk kepentingan eksklusif, seperti lapangan golf, pembangunan fasilitas umum yang mendukung kehidupan penduduk jadi kian utopis. Lapangan golf yang besar justru menjadi tempat yang kurang produktif dan simbol dari ketamakan.
Selain perkara permukiman dan kemacetan, yang nggak kalah penting adalah terbatasnya ketersedian Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang bisa diakses publik. Lah, Jakarta Selatan kan sudah punya taman terbuka seperti Tebet Eco Park?Â
Yah, nggak bisa dong hanya mengandalkan 1 atau 2 RTH saja. Kalau mengacu pada UU nomor. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebuah kawasan atau perkotaan harus memiliki minimal 30% RTH dari luas wilayahnya.Â
Sementara itu, Jakarta Selatan hanya punya 24,91% RTH dari total keseluruhan wilayah. Ingat ya, 30% itu minimal. Toh kalau kondisinya sepadat Jaksel, harusnya luas RTH yang disediakan bisa lebih luas lagi untuk menjaga kualitas hidup warganya tetap baik.
Pasalnya di tengah kondisi yang serba kompetitif dan penuh depresi, kehadiran RTH sangat membantu warga Jakarta Selatan untuk mengambil jeda. Mereka setidaknya bisa menghirup segarnya udara sebelum nantinya harus berkutat lagi dengan macetnya Jakarta dan sempitnya kos-kosan mereka yang luasnya seperti sebuah kandang!
Mereka tentu nggak punya materi yang cukup untuk memasuki dan menikmati kopi sambil menikmati sore hari di kawasan elite golf itu. Lagi-lagi, mereka harus rela berebut RTH gratisan yang kadang sudah nggak jadi RTH. Hal itu karena kondisinya pun penuh sesak dengan warga daerah lainnya yang juga butuh ruang untuk mengambil jeda.
Persoalan ketimpangan sosial yang akut
Sekali lagi, Jakarta Selatan yang selalu diasosiasikan sebagai kawasan modern, kekinian, dan glamor, ternyata menyimpan persoalan ketimpangan yang akut. Keberadaan lapangan golf memang bukanlah sumber masalah utama, namun ia tetap menjadi simbol ironi yang menggambarkan ketidakadilan sosial yang meluas.Â
Lapangan golf itu seperti berada di dimensi lain meski dalam satu kawasan. Di sana berisi segelintir orang yang bisa menikmati kenyamanan duniawi. Sementara itu, di sisi lain, warga pinggiran harus rela hidup berdesak-desakan di gang-gang sempit, kumuh, dan penuh polusi di tengah tumpukan sampah.
Lapangan golf yang eksklusif itu seperti menegaskan bahwa di ibu kota, mereka yang miskin harus merelakan ruang hidupnya dipersempit. Dan ruang hijau dan udara segar hanya diberikan kepada mereka yang mampu membeli.
Penulis: Muhammad Iqbal Haqiqi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Rasanya Jadi Orang Miskin di Kemang Jakarta Selatan, Kawasan Elite yang Isinya Kaum Berduit Sepelekan Perantau Melarat dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












