MOJOK.CO – Lagi ramai kalau ivermectin bisa menyembuhkan Covid-19. Duh, jangan gampang percaya sama pesan berantai yang muncul di WhatsApp, ya.
Sebuah pesan dengan keterangan Forwarded Many Times muncul di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti. Sebagian besar anggota grup itu bergelar Apoteker. Namun, sayangnya, yang benar-benar menjalankan praktik kefarmasian hanya sebiji. Sisanya bekerja di pabrik, jadi YouTuber, ada juga yang jadi kontraktor.
Sederhananya, grup itu adalah tempat berbagi pesan-pesan hoaks bijak dari grup keluarga. Mulai dari yang keagamaan hingga kesehatan seperti halnya pesan penting terkait obat COVID-19 yang sepotongnya berbunyi:
“Obat bernama Ivermectin dinilai mampu mengalahkan COVID-19. Sekarang ivermectin 12 mg untuk COVID-19 sudah tersedia bebas di apotek.”
Pandemi COVID-19 ini sudah berjalan lebih dari setahun dan sudah cukup sering kita melihat pernyataan ‘obat COVID-19’ terutama di grup WhatsApp keluarga. Padahal, sampai saat ini belum ada obat yang sepenuhnya disetujui untuk COVID-19. Seluruh obat dan vaksin masih berada pada level izin penggunaan dalam keadaan darurat alias Emergency Use Authorization.
Mengutip dari—ehm—artikel jurnal yang saya tulis sendiri, EUA adalah salah satu bentuk kerja sama apik sektor administrasi publik dan sektor kesehatan modern yang memungkinkan obat-obat dalam pengembangan maupun obat-obat yang sudah disetujui tapi untuk indikasi lain dapat digunakan pada suatu kondisi darurat.
Di awal pandemi, kita mengenal klorokuin dan hidroksiklorokuin yang juga ramai dibagikan di grup-grup WhatsApp. Klorokuin, misalnya, sudah sangat lama ada di pasaran dan disetujui sebagai obat malaria. Namun, dengan berbagai pertimbangan, EUA sempat mengizinkan klorokuin digunakan untuk pengobatan sebelum kemudian dicabut kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Nah, ivermectin ceritanya kurang lebih sama. Ivermectin, di Amerika Serikat, disetujui sebagai agen anti-parasit spektrum luas yang berdasarkan sejumlah penelitian secara in vitro ternyata memiliki aktivitas antivirus. Di Indonesia sendiri sejauh ini baru ada satu produk ivermectin, yakni kaplet 12 miligram dan terdaftar di BPOM untuk indikasi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis). Patut diingat, namanya juga buat kecacingan, jadi dosisnya tunggal dalam rentang 150-200 mcg/kg Berat Badan untuk pemakaian (((SATU TAHUN))).
Potensi ivermectin untuk melawan COVID-19 telah diteliti sejak awal pandemi. Bapak Doktor beneran—bukan panggilan kesayangan—bernama Leon Caly dan teman-teman, mendapati bahwa ivermectin dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2 secara in vitro melalui penelitian di laboratorium. Penelitian tersebut diterbitkan di jurnal Antiviral Research bulan Juni 2020.
Oya, hampir seluruh jurnal kondang di dunia yang biasanya digembok, khusus untuk COVID-19, membuka aksesnya lebar-lebar, termasuk jurnal-jurnal yang disebutkan di tulisan ini. Kesempatan ini tentunya baik bagi kita untuk belajar tentang COVID-19 dari beragam perspektif atau ya setidak-tidaknya belajar bahasa Inggris.
Penelitian Bapak Leon tersebut mendasari banyak riset lanjutan perihal ivermectin yang dibuktikan dengan begitu banyaknya penelitian lain yang mengutipnya. Salah satu penelitian lanjutannya adalah yang dikerjakan Bapak Carlos Chaccour dan rekan-rekannya dan dipublikasikan di The Lancet. Penelitian Pak Doktor dari Venezuela yang sudah melanglang buana di berbagai negara tersebut cukup penting karena dilakukan pada manusia alias merupakan uji klinik.
Pada penelitian tersebut, dilakukan pengamatan terhadap dua kelompok pasien. Satu kelompok memperoleh ivermectin, satu lagi tidak. Terlihat jumlah virus yang lebih sedikit pada kelompok yang diberikan ivermectin, dibandingkan yang tidak. Walau demikian, terdapat sejumlah catatan lain yang mengarah pada kesimpulan penting bahwa studi tersebut bersifat pilot dan dapat dieksplorasi lebih lanjut pada uji klinik yang lebih luas, termasuk dengan melibatkan pasien dengan faktor risiko maupun penyakit yang lebih parah.
Beberapa hari lalu, melalui akun Twitternya, Bapak Doktor Carlos membagikan tulisan pakar penemuan obat, Bapak Derek Lowe. Dalam artikelnya Ivermectin As a COVID-19 Therapy, Bapak Lowe menekankan bahwa penemuan obat itu bukanlah tentang Prayit, cupang legendaris dari Mojok, yang menderita suatu penyakit, lalu mencoba terapi baru X terus membaik dan kita bisa berteriak ‘eureka… eureka…’ karena obat dari penyakit tersebut sudah ada.
Penemuan obat adalah tentang serangkaian penelitian dengan desain uji yang mantap, besaran sampel yang memadai, jumlah data yang adekuat, serta metode statistik yang mampu disimpulkan. Jadi, ketika ivermectin yang adalah obat untuk kecacingan itu hendak digunakan sebagai obat COVID-19 dan potensinya secara in vitro sudah terbukti, maka uji klinik yang baik adalah kunci keberlanjutannya.
Sejumlah negara memang telah menggunakan ivermectin untuk terapi COVID-19. European Medicines Agency (EMA) menyebut Republik Ceska dan Slovakia sebagai dua negara yang mengizinkan penggunaan ivermectin untuk COVID-19, walau begitu Uni Eropa secara umum masih belum menerapkan hal yang sama. Setidaknya demikian pernyataan pada Maret 2021 yang belum diperbaharui sampai saat tulisan ini diketik.
Di Indonesia sendiri, BPOM menyebut bahwa akan dilakukan uji klinik di bawah koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan bersama sejumlah rumah sakit. Uji klinik ini menjadi bagian penting baik untuk Indonesia maupun secara global agar semakin banyak data yang tersedia untuk bisa menyimpulkan bisa tidaknya ivermectin digunakan sebagai terapi COVID-19.
Eh tapi, kok Bapak Moeldoko, yang ketua tani itu, sudah menginstruksikan ivermectin supaya diedarkan secara luas, terutama ke Kudus, di mana lagi gawat-gawatnya di sana. Padahal BPOM baru mau uji klinis.
Artinya, kalau sudah beredar luas, BPOM sudah kasih izin, dong? Pusing, kan. Ini saya enggak dapat beritanya dari grup-grup WhatsApp, lho. Sudah banyak media yang memberitakan.
Satu hal yang pasti, ivermectin yang beredar dengan indikasi kecacingan itu adalah obat dengan nomor izin edar DKL. Jika ada huruf ‘K’ berarti obat keras yang seharusnya tidak dapat diperoleh tanpa indikasi medis maupun tanpa resep dokter. Apalagi, konsumsi ivermectin dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek samping nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit diare, sampai sindrom Stevens-Johnson.
Jangan lupa, pada awal pandemi COVID-19, ratusan orang di Iran dan puluhan orang di Turki meninggal gara-gara mengonsumsi baik ethanol maupun methanol dengan tujuan mencegah diri terinfeksi SARS-CoV-2. Bayangkan bahwa seseorang itu takut kena COVID-19 tapi malah meninggal gara-gara melakukan sesuatu yang ditujukan untuk mencegah penularan COVID-19 itu sendiri. Pada akhirnya mereka memang nggak ketularan COVID-19 karena keburu meninggal.
Demikianlah pula dengan obat-obat, baik yang sudah berlalu seperti klorokuin, sekarang sedang hits seperti ivermectin, maupun kelak akan bermunculan dengan keterangan obat COVID-19.
Sampai obat yang beneran diindikasikan untuk COVID-19 hadir dan dinyatakan dapat dibeli untuk swamedikasi, kita hendaknya hanya mengonsumsi ‘obat COVID-19’ kalau memang dikasih oleh fasilitas pelayanan kesehatan saja. Kalau kemudian membeli sendiri atas kehendak sendiri dengan tujuan pencegahan, apalagi hanya gara-gara baca pesan di grup WhatsApp yang Forwarded Many Times, sebaiknya pikir-pikir kembali ya~
BACA JUGA Memahami Klorokuin, Obat yang Diklaim Bisa Sembuhkan Penderita Corona dan tulisan mencerahkan lainnya di rubrik ESAI.