MOJOK.CO – Saya jadi bertanya-tanya, di mana sih emangnya letak poin kebangkitan PKI pada wacana RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP)? Asli, bingung saya.
Meskipun pembahasan RUU HIP dinyatakan ditunda oleh pemerintah untuk meminta masukan dari masyarakat, bukan masukan-masukan tentang haluan dalam berpancasila yang diterima oleh pemerintah, melainkan malah isu kebangkitan PKI yang muncul.
Tentu saja isu kebangkitan PKI yang belakangan ramai bukan disebabkan oleh alasan tunggal dari pembahasan RUU HIP, melainkan juga disumbang oleh hari ulang tahun PKI yang jatuh pada akhir bulan lalu. Ditambah agak berdekatan dengan peringatan hari lahir Pancasila awal bulan Juni.
Dua hal itu amat berkaitan disebabkan oleh pertama, PKI dianggap sebagai partai yang berusaha menjadikan negara tanpa agama—katanya. Kedua, bulan Juni berkaitan dengan pidato Presiden Sukarno yang membawa wacana memeras sila dalam Pancasila.
Dua hal itu mendapatkan momentum kejutannya pada pembahasan RUU HIP di mana dalam RUU itu diletakkan kecurigaan bahwa ada niatan mengubah dasar negara seakan-akan kita tengah berada dalam momentum sidang BPUPKI dan Konstituante.
Sementara pihak yang teriak-teriak soal kebangkitan PKI, menganggap hanya PKI lah partai yang berniat mengubah Pancasila jadi (katanya) komunisme yang (katanya lagi) anti-agama, lewat pasal-pasal pemerasan sila dalam Pancasila. Dari sana kemudian muncul wacana RUU HIP dianggap sebagai momentum menghidupkan kembali ideologi-ideologi PKI.
Padahal kalau mau melek sedikit aja, ada kejanggalan mendasar antara pembahasan mengenai RUU HIP dengan kebangkitan PKI yang dikait-kaitkan dengan sidang BPUPKI dan Konstituante itu.
Dalam sejarah pembahasan mengenai dasar negara yang jamak dipahami, pada mulanya, pergulatan wacana mengenai dasar negara bermula dari apakah kita akan menggunakan dasar salah satu agama mayoritas (yakni Islam) atau kebangsaan tanpa menonjolkan ideologi dari satu agama tertentu. Dan wacana itulah yang diperdebatkan.
Oleh karena itu, harus dipahami bersama kalau pertarungan sengit yang terjadi saat itu bukan wacana komunisme versus Pancasila melainkan wacana antara golongan yang hendak bikin negara Islam (Indonesia mau dibikin macam negara Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, atau Brunei Darussalam) dengan kelompok yang menonjolkan kebangsaan tanpa keistimewaaan satu agama. Udah, sesimpel itu.
Bahkan dari kedua sidang di atas itu pun nggak ada yang wacana yang menolak Pancasila. Semua setuju. Perdebatan yang terjadi adalah munculnya dua kemungkinan dalam tafsir Pancasila. Ingat ya: tafsir!
Yakni menjadikan tafsir sila pertama sebagai konsep bebas dari semua agama (yang diakui di Indonesia) sebagaimana yang berlaku hari ini, atau sebaliknya hanya menjadi tafsir tunggal umat Islam? Udah. Padat, simpel, jelas.
Lalu, dengan merunut sejarah kayak gitu, saya jadi bertanya-tanya, di mana sih emangnya letak poin kebangkitan PKI-nya? Asli, bikin bingung.
Para politisi dan masyarakat yang takut dengan RUU HIP seolah jadi jalan untuk kebangkitan PKI itu seperti pura-pura tak menyadari bahwa sudah lama Pancasila menjadi teks yang dingin bagi bangsa kita. Dibacakan berkali-kali, dihapal, tapi tak pernah benar-benar direalisasikan.
Gimana mau bisa direalisasikan? Lah wong baru mau dibahas aja udah buanyak banget yang mempersoalkan. Kalau mempersoalkannya perkara elemen isi RUU sih tidak masalah ya, lah ini udah main tuduh soal kebangkitan PKI segala.
Ketidaksepakatan itu mbok ya berdasar, misalnya karena draft RUU-nya ada yang kurang ini, kurang itu, atau karena sumbernya kurang kuat, gitu. Bukan yang pakai narasi dikit-dikit PKI, dikit-dikit PKI.
Hal yang mengkhawatirkan jika sikap konservatif macam begini dipertahankan, Pancasila justru bakal membeku dalam teks doang. Dan hanya akan membara dalam perdebatan-perdebatan kayak gini.
Perdebatan yang sudah muncul—bahkan—hanya dalam konteks…. “Ini kalau dibahas pasti ada kaitannya sama PKI ini!”
Padahal, kalau kita mau lihat ke belakang, kita ini sering memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya nggak kita kerjakan pula kok. Bahkan sebenarnya kita sadar betul, kalau perdebatan ideologi macam gini sebenarnya cuma ajang untuk memamerkan buah pikiran doang. Realisasinya sih ya kapan-kapan aja.
Misalnya, pemerintah bilang hendak menekan kemiskinan hingga 0 persen (misalnya doang ini), lah kan ya nggak terus kita ngarep banget negara hendak menekan angka kemiskinan sekecil-kecilnya dengan sekuat tenaga. Kita juga biasa aja tuh kalau target itu meleset.
Soalnya, bagi rakyat kere kayak kita, kata-kata itu cuma ungkapan lamis politisi buat menyejukkan hati rakyatnya doang kok. Nggak lebih. Dan—uniknya—kita tahu betul formula itu dari jaman jebot, bisa tetep cuek dan masih aja hidup tuh sampai sekarang.
Lucunya, begitu mulut manis yang berkaitan dengan ideologi negara macam keributan mengenai RUU HIP belakangan ini muncul—apalagi dengan isu bangkitnya PKI, hal itu udah bisa bikin kita semua kebakaran jenggot. Seolah-olah perut kosong rakyat nggak lebih penting dari ideologi negara.
Lantas, dari sana muncul ketakutan-ketakutan yang lebih mengerikan daripada kemiskinan: seolah-olah jika Pancasila dimaknai secara sekuler, negara ini akan diubah menjadi negara komunis dan bikin rakyat jadi semakin menderita terus mati semua.
Begitu pula sebaliknya, jika Pancasila kembali ke Piagam Jakarta, seolah-olah negara ini betul-betul akan berjalan sesuai syariat Islam dan rakyatnya otomatis langsung akan hidup sentosa.
Padahal, kemungkinan-kemungkinan itu semua dikembalikan sama yang ngelola. Mau ideologinya apa juga, kalau rakyatnya nggak sejahtera ya bukan berarti otomatis ideologinya yang salah, yang ngatur aja mungkin yang ngelantur.
Mau Pancasila dikembalikan ke Piagam Jakarta kek atau mau sekuler kek, selama kepemimpinan dan cara meraih jabatan bergantung pada kekuatan modal, selama struktur politik masih dikuasai oligarki, selama yang berada di lingkungan kekuasaan orangnya itu-itu aja, ya Indonesia bakal tetep begini-begini aja.
Jadi, Pak, Buk, plis deh. Rakyat itu kenyangnya pakai nasi, bukan cuma modal dicekoki ideologi.
Tuh.
BACA JUGA A-Z RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila): Tidak Jelas dan Ditolak Banyak Kalangan atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.