MOJOK.CO – Bulan ini, doktrin pemakaian Bahasa Indonesia yang efektif dan efisien itu, pemakaian bahasa yang hemat itu, diterjang sejadi-jadinya oleh bahasa hukum.
Sebaiknya, sastrawan dan para sarjana Bahasa Indonesia galur murni menyingkir sejenak dari peringatan “Bulan Bahasa” tahun ini. Paling nggak, peringatan kali ini saja. Momentum tidak sedang berpihak kalian.
Ini bulan memang bulan bahasa, tetapi bukan bahasa yang selama ini dikaji sarjana bahasa, seperti yang dipahami para sastrawan pada umumnya. Ini bulan bahasa hukum yang muncul dari tiga peristiwa terbesar secara berkesinambungan dalam sejarah hukum (kriminal) Indonesia: Fredy Sambo, Kanjuruhan, dan Narkoboy.
Yang menggegerkan adalah semuanya diotaki kaum yang sehari-harinya hidupnya dituntun oleh sebuah kitab bernama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Milik mereka yang hukum-hukum itu
Ya, Oktober tahun ini, pemilik sah halaman depan koran, layar televisi, dan penguasa tren di media sosial adalah hamba-hamba, adalah pembaca, adalah penghafal kitab bernama KUHP. Yang merasa penghafal kitab suci, pengunyah kitab sastra dunia, dan linguis penyembah KBBI Bahasa Indonesia, tolong, menyingkir ke pinggir dulu.
Bahkan, saat esai ini ditulis, di antara 20 topik yang paling dicari manusia Indonesia di jagat alam kara ini, frasa “putusan sela” tiba-tiba menyeruak. Ia dicari di belantara pencarian apa saja soal Liga Champions (bahasa sepak bola).
Orang ingin tahu “putusan sela” itu apa karena ia frasa aneh. Seperti bukan bagian Bahasa Indonesia sehari-hari. Sudah nggak akrab, mendominasi lagi. Seperti itulah bahasa hukum. Seperti itulah dunia para pengunyah KUHP.
Tak terbayang, misalnya, Nikita Mirzani, alumni santri Pondok Pesantren Modern Gontor, tiba-tiba mesti berakrab-akrab lagi menjadi penyimak kitab aneh ini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan, Nikita membacanya di ruang khalwat sangat khusyuk, di antara kaum yang bernasib sama, sama-sama kebebasannya ditebas oleh kitab (pidana).
Ini kitab tidak sembarang kitab, ini buku bukan sembarang buku
Belanda si kolonial keparat itu mewariskannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pihak Indonesia memakainya begitu saja. Dimodifikasi beberapa kali dengan ongkos tidak main-main. Miliaran duit habis mereparasi buku keluaran kolonial ini.
Walau dibikin dengan sangat mahal, tetapi sesungguhnya buku satu ini adalah kitab yang menolak dibaca oleh publik. Ia dihindari sedemikian rupa untuk dibaca, bukan saja karena minat baca anjlok, tetapi isinya melulu ancaman, butir-butirnya melulu ancaman.
Secara isi dan substansi, KUHP sesungguhnya Buku Doa Mengancam. Isinya penjara melulu. Kalau begini, penjara. Kalau begitu, penjara. Barang siapa begini, penjara. Barang siapa begitu, penjara.
Siapa mau berdekatan dengan kitab seperti itu. Coba, periksa rak kalian, ada nggak kitab satu ini, KUHP ini berada di deretan buku-buku babon penting, sekelas dengan babon-babon tebal lainnya. Dideretkan di rak buku dengan posisi yang gagah. Ayo, periksa.
Atau, periksa juga riwayat Story atau postingan IG kalian, pernah nggak dengan penuh kebanggan dan ketakjuban berfoto bersama KUHP? Kalau nggak, mengunggah halaman KUHP sambil ngasih kepsyen: “Bestie, saya sudah sampai di halaman 765, ya, Allah isinya pasal ini dan pasal itu.”
Kaidah yang dihantam
Selain menolak untuk dibaca, bahasa hukum punya kaidah sendiri. Tidak seperti yang dituntunkan oleh kamus pembaku Bahasa Indonesia umumnya.
Kita, misalnya, sejak di bangku sekolah awal sudah diajari, kalau menulis itu, pakailah kalimat yang efektif dan efisien. Hindari kalimat bertele-tele. Pengulangan yang tidak perlu. Di kepala kita terpatok doktrin itu. Baguskah? Jelas bagus, kata pihak penerbitan dan percetakan. Dengan kalimat yang efektif dan efisien, paragraf sama yang tidak diulang-ulang, ratusan lembar kertas bisa dihemat.
Kalau bukan karena keefektifan dan doktrin penghematan dalam bahasa, tulisan seperti ini tak pernah muncul dalam belantika Bahasa Indonesia: “bapak2”, “ber-sama2”, “men-cari2”.
Bulan ini, semua doktrin pemakaian Bahasa Indonesia yang efektif dan efisien itu, yang sangkil dan mangkus itu, pemakaian bahasa yang hemat itu, diterjang sejadi-jadinya oleh bahasa hukum. Kalau bisa bertele-tele, kenapa harus efektif dan efisien, sangkal bahasa hukum.
Kalau bisa dengan kalimat panjang, kalimat majemuk bertingkat belasan, mengapa memakai kalimat lempang, sanggah bahasa hukum. Kalau bisa bikin paragraf yang 10 kali lebih panjang dari panjangnya lapangan sepak bola, ngapain menghormati pembaca yang membacanya pakai layar gawai, bantah bahasa hukum.
Memang begitu watak hukum
Seperti itulah watak bahasa hukum: ngeyelan dan keras kepala. Ia tidak mau berbahasa seperti bahasa publik. Ia punya cara dan sistem berbahasa sendiri yang bahkan aturan EYD Bahasa Indonesia tidak berkutik menghadapinya.
Celakanya, bahasa ngeyelan dan keras kepala model ini yang mendominasi di jagat tontonan kita di Bulan Bahasa di bulan Oktober kali ini. Beberapa televisi pemakai saluran publik berjam-jam menayangkannya dengan status “LIVE”.
Kita dipaksa menonton pemakaian bahasa hukum seperti yang sudah saya uraikan itu. Semua orang seperti sedang mendapatkan hukuman saja karena dipaksa mendengarkan kata demi kata dibacakan secara verbatim.
Pada 19 Oktober jelang siang itu, saya hanya bisa tahan mendengarkan pembacaan nota dakwaan Polri Brigjen Pol. Hendra Kurniawan terkait kasus penghalangan penyidikan. Pembacaan enam nota lagi saya betul-betul tumbang. Mental saya nggak kuat.
Penderitaan saya
Pertanyaan saya, apa sebegitu bakunya cara berbahasa hukum ini ketika disajikan, apalagi disajikan ke hadapan publik seperti ini?. Baiklah, KUHP itu bahasanya memang seperti itu. Tradisi penulisan dan bahasa kitab memang sudah begitu. Udah dari sononya.
Apakah bahasa “bertendens” seperti itu juga mesti sama dalam hal-hal lain, seperti dalam penulisan berita acara pemeriksaan, nota dakwaan, eksepsi, amar putusan, dan seterusnya.
Bayangkan, KUHP itu sendiri sudahlah kitabnya mengancam, disajikan pula dengan kalimat-kalimat persidangan yang membikin mual dalam segi-segi keindahan berbahasa yang selama ini dipuja manusia, kalangwan.
Dalam bahasa hukum, publik perindu bahasa indah seperti saya ini ditusuk berkali-kali.
Sudah seberjarak inikah para pemuja keindahan bahasa, kaum terpelajar sastra (mahasiswa sastra), dengan kaum terpelajar hukum (mahasiswa hukum). Kalaupun berhubungan, sedingin inikah hubungan mereka? Bukan saja saling membelakangi, melainkan berjalan saling menjauh.
Dari sisi sifat, bahasa keduanya sudah bersilang jalan. Bahasa sastra menghangatkan, bahasa hukum mendinginkan. Bahasa sastra mempertautkan, bahasa hukum memisahkan. Bahasa sastra memerdekakan, bahasa hukum memenjarakan. Bahasa sastra membuai hayalan, bahasa hukum melambungkan ratap sesal.
Jika Oktober adalah simbol persatuan dan di sana, Bahasa Indonesia dikerek sebagai “bahasa persatuan”, tidakkah bahasa sastra dan bahasa hukum bisa didamaikan, bisa ditetanggakan kembali?
Jawaban saya: BISA BANGET. Ada asalnya tapi.
Baca halaman selanjutnya
Hadirkan Muhammad Yamin ke mimbar