MOJOK.CO – Inferiority complex adalah bagian dari eksistensi akademisi. Kita akan selalu minder atas karya orang lain yang bukan bidang kita.
Minggu lalu (24 Oktober 2021), Wasisto Raharjo Jati menulis untuk Mojok. Tulisannya diberi judul: “Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia”. Tulisannya mendapat beragam respons. Salah satunya dari saya sendiri, yang menulis komentar di tulisan Wasis. Nah, tulisan ini adalah pengembangan dari komentar saya tersebut.
Tulisan ini ingin menegaskan bahwa inferiority complex atau perasaan minder itu jangan-jangan diterjemahkan lain karena kita hanya berpikir dalam sekat negara ketika membahas dunia keilmuan yang lintas batas.
Saat kuliah master di Crawford School, di kampus yang sama dengan Wasis, saya langsung dihadapkan pada suasana internasional di kampus ANU. Teman-teman di kelas saya bervariasi dan umumnya berasal dari negara yang kondisi pembangunannya mirip dengan Indonesia walaupun tak sedikit juga dari beberapa negara maju, termasuk Australia sendiri. Sahabat saya setidaknya berasal dari Kamboja, Vietnam, Thailand, Kenya, Vanuatu, Sri Lanka, Filipina, Bangladesh, India, Cina, Bhutan, dan Mongolia.
Pada minggu-minggu pertama 2009, saya kesulitan memahami apa yang disampaikan dosen yang beraksen kental Australia. Saya pikir saya sendirian, atau paling tidak, hanya dialami oleh teman-teman dari Indonesia. Ternyata, apa yang saya pahami lebih baik dari teman-teman dari Asia lainnya.
Model-model diskusi kelompok selama masa persiapan studi membuat saya paham dan hilanglah inferiority complex itu. Ternyata, yang membedakan bukan apa modal bahasa, seperti yang dikeluhkan Wasis, tetapi apa yang harus kita lakukan ke depan.
Pilihannya pun cuma satu: belajar sekeras-kerasnya dan berlatih berbicara dan mendengar sebanyak-banyaknya! Saya juga belajar satu hal penting: bahwa aksen Bahasa Inggris itu tidak penting!
Anda mau pilih aksen apa? British seperti Harry Potter atau Amerika seperti Morgan Freeman? Aksen itu juga tak mudah dimengerti oleh penutur Australia, Singapura, Kenya, Vietnam, Vanuatu, atau Jawa. Saya menjadi percaya diri dengan aksen Jawa Inggris saya setelah kawan dari Cina menggunakan Bahasa Inggris dengan gaya aksen kental naik turun seperti Bahasa Mandarin. Pendeknya, tidak ada aksen Bahasa Inggris universal. Selama pesan kita sampai dan kita bisa menangkap pesan lawan bicara baik dalam penuturan dan tulisan, bahasa menjalankan fungsinya dengan sempurna.
Saya kembali lagi ke ANU di akhir 2012 untuk PhD. Pada kesempatan yang sama, di awal bimbingan tesis yang saya selesaikan hampir enam tahun setelahnya, pertanyaannya juga kurang lebih sama dengan pertanyaan yang diajukan ke Wasis itu, “Tell me what we don’t know about Indonesia.” Tetapi bukan kesan arogan Edward Aspinall yang saya belum pernah temukan sekalipun dalam proses intensif selama enam tahun, seperti terkesan dalam artikel Wasis. Saya memaknai pertanyaan itu sebagai rasa rendah hatinya yang ingin belajar ke saya, yang datang jauh-jauh ingin belajar dari dia.
Dari Marcus Mietzner, sebagai pembimbing utama dan bimbingan Edward Aspinall dan Robert Cribb, saya belajar banyak tentang dunia akademik di luar negeri. Kalau mengingat masa-masa itu, saya selalu gundah setelah mendapat komentar-komentar dari draft yang saya setorkan. Saya ingin menangis sekencang-kencangnya dan memprotes Tuhan, mengapa saya diberi otak sebodoh ini? Mengapa saya tidak memperhitungkan apa yang dikomentari para pembimbing itu?
Pembimbing memang memberi alternatif solusi atas seluruh persoalan itu. Tetapi detail dan pilihan-pilihan tetap ada di mahasiswa, karena itu adalah karya kita. Saya harus membaca ribuan artikel dan menentukannya. Proses penjelajahan akademik itu yang menarik.
Pernah terlintas, mengapa saya memilih anggota pembimbing terbaik di bidangnya sesuai penelitian saya? Mengapa saya tidak memilih pembimbing medioker atau kampus medioker saja agar tidak membuat hidup saya semakin susah?
Mengapa membentangkan tembok di depan jalan yang sedang saya buat dan meminta saya membongkar tembok itu jika ingin terus maju? Seolah sambil berkata, “Tembok ini adalah pembeda master dan doktor, hancurkanlah!” Pilihannya juga jelas: berhenti, atau terus berusaha menghancurkan tembok itu walaupun dengan sendok. Saya memilih menggunakan sendok saya.
Sampai pada akhirnya di tahun ketiga, saya menemukan pola dan model kerja. Saya tahu bahwa meraih doktor hanya persoalan waktu walaupun bukan berarti jalan menuju akhir menjadi mudah. Saya bangun optimisme itu dengan hanya sendok dalam gengaman. Apakah saya mengalami inferiority complex setelah disiksa delapan tahun selama studi master dan doktor?
Oh ya, saya sebagai akademisi selalu merasakan inferiority complex atau minder kepada siapa saja. Saya inferior kepada ahli tata negara yang bisa menjabarkan kondisi Indonesia secara struktural. Saya inferior kepada ahli pemilu yang bisa merekam dan meramal pemilu mendatang serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan politik yang mungkin terjadi jika system pemilu berubah.
Bahkan, saya juga merasakan inferiority complex pada para peneliti perilaku kucing yang bisa tahu apakah kucing menuruti perintah kita atau tidak. Menurut mereka, kucing sebenarnya tahu apa yang kita perintahkan, tetapi memutuskan untuk mengabaikannya. Kurang ajar!!!
Inferiority complex adalah bagian dari eksistensi akademisi. Kita akan selalu inferior atas karya orang lain yang bukan bidang kita. Di sisi lain, kita menghargai karya siapa saja yang mirip atau sama dengan bidang keilmuan kita. Inferiority complex dan penghargaan adalah nyawa bagi akademisi untuk terus belajar.
Persoalan dari tulisan ini adalah bahwa inferioritas atau minder itu dibatasi dalam sekat rasisme yang kuat, antara kita, dan mereka: para peneliti asing. Inferioritas itu sama sekali tidak didasarkan pada lokasi dan ras, tetapi pada karya yang dihasilkan. Saya merasakan inferiority complex kepada Usep Ranawidjaja, penulis yang saya yakin Anda semua belum pernah dengar. Di tahun 1950an, dia menulis dengan sangat detail tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia yang bertahan dan mati.
Selain itu, dunia akademik adalah dunia lintas batas yang tak serta merta dapat dibatasi oleh garis-garis nasionalisme seperti ketika kita bersorak timnas Indonesia berhasil membawa pulang Piala Thomas. Salah satu buku Geertz, The Interpretation of Cultures, yang dikutip ratusan ribu kali, dikutip bukan karena Geertz orang Amerika tetapi karena karyanya memang diakui. Selain itu, penulis juga tidak peduli apakah Geertz warga negara Amerika atau Zimbabwe ketika memutuskan untuk mengutipnya setelah membaca.
Inferiority complex, yang saya definisikan sebagai rasa mengagumi karya orang lain untuk berkarya lebih baik, adalah capaian tertinggi dari seluruh proses pendidikan yang saya jalani.
Oh ya, saya juga merasa minder kepada Paidi, pemulung yang telah menginspirasi ribuan orang menanam Porang lewat Youtubenya, Paidi Porang Official.
BACA JUGA Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.